Inputnya Kebenaran,Outputnya Kebaikan,Hasilnya Keindahan. Bentuk Transaksi kita dengan Sesama Manusia , Kanjeng Nabi Muhammad SAW, serta ALLAH SWT adalah CINTA
Brakodin tertawa. “Aslinya ada keinginan besar diam-diam di dalam hati saya untuk sesekali menjadi Khatib shalat Jumat.…”
“Waduh”, Tarmihim tertawa sangat keras.
“Tentu itu andaikan saya punya ilmu, kefasihan, dan ilmu untuk
berkhotbah”, Brakodin melanjutkan, “bukan karena saya ingin menasehati
orang, dengan anggapan bahwa saya punya kedudukan keIslaman yang
selayaknya punya hak menasehati. Apalagi menganggap para jamaah adalah
orang yang saya anggap belum begitu Islam, sementara saya sudah sangat
Islam sehingga layak berkhotbah”
“Lantas untuk apa berkhotbah, Pakde?”, Toling bertanya.
“Untuk semacam latihan. Serta saya ingin menguji diri saya berapa persen mampu melakukan anjuran Allah”
“Anjuran apa, Pakde?”
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. [1](Ali ‘Imron: 159).
Brakodin mengulangi Iqra` ayat yang disebut Tarmihim tadi secara lengkap. Dan Tarmihim menyambutnya dengan tertawa lagi.
“Pakdemu ini melafalkan beda antara dho’ dengan dlot dan dzal saja selalu kebingungan atau terbalik-balik”, katanya, “lidahnya terlipat-lipat kalau mengucapkan tho`, tsa`, sin shod, syin…. baru mulai kalimat-kalimat awal khotbah, pasti Jamaah berdiri minta Khatibnya diganti”.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Giliran Brakodin yang sekarang tertawa. “Pakdemu Tarmihim ini
melankolik, agak cengeng dan lebay. Ternyata sampai setua ini tidak
kunjung sembuh”, katanya. Tarmihim jadi korban Iqra`nya Brakodin.
“Dia bilang tidak mau dekat-dekat pada Islam dan Al-Qur`an. Alasannya
bagus, seolah-olah ia tidak mau mengotori Islam, dan diam-diam ia
merasa menjadi orang yang baik karena tidak mau mengotori Islam. Padahal
sebenarnya itu strategi Pakdemu untuk menutupi dan memaafkan
keawamannya yang abadi tentang Islam dan Al-Qur`an”
“Lho gimana sih. Islam itu suci, dan kesuciannya kekal abadi. Islam
tidak bisa dikotori oleh manusia. Yang kotor adalah manusianya itu
sendiri. Pakdemu tidak bisa mengotori Islam, karena yang ia kotori
adalah dirinya sendiri. Islam dengan Al-Qur`an adalah alat pembersih
manusia, penyelamat manusia di hadapan Maha Penciptanya. Lha Pakdemu itu
malas membersihkan diri, terus alasannya tidak mau mengotori Islam”
Tarmihim kembali tertawa. “Sebenarnya yang dikatakan oleh Pakdemu
Brakodin itu adalah dirinya sendiri. Sejak dulu, setiap kali mau
berangkat Jumatan, dia selalu gelisah. Karena kawatir akan
dimarah-marahi oleh Khotibnya. Khotib shalat Jumat pasti orang bersih,
sehingga mungkin karena itu dia sering marah-marah karena dirasakannya
banyak jamaah Jumat yang kotor hidupnya. Terutama Pakdemu Brakodin.
Lantas ia cari-cari alasan dengan mengutip ayat ‘Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”. [1](Ali ‘Imron: 159). Padahal dia sendiri yang menjauh, takut melihat wajahnya yang kotor di cerminan kata-kata Khotib yang suci….”.
Rupanya Junit memang sedang tekun ber-Iqra`membaca
Al-Qur`an. Entah apa jadinya nanti. Ia memang cukup terpelajar, tetapi
tidak punya pengalaman santri. Tidak pernah secara khusus mengalami
pembelajaran segala sesuatu yang membuatnya pantas membaca Qur`an.
“Pakde Tarmihim”, katanya, “terus terang saya memang sedang mengalami
semacam rasa bercinta dengan Al-Qur`an. Tidak tahu apakah hal seperti
itu wajar dilakukan, berhubung saya tidak memiliki perangkat pengetahuan
dan ilmu yang cukup. Ada kesan umum bahwa Al-Qur`an itu seperti milik
para Ulama, Kiai atau Ustadz. Siapa tahu memang Allah mewahyukan
firman-firman itu untuk beliau-beliau, dan bukan untuk saya. Tetapi saya
tidak bisa menahan diri untuk menikmati Qur`an, padahal katanya sangat
berbahaya kalau tidak punya bekal untuk itu. Ketika Pakde menyebut ayat
tentang hidup di dunia hanya main-main dan senda gurau, saya jadi
ketakutan jangan-jangan kita termasuk orang yang menjadikan Agama
sebagai permainan dan senda gurau. Hati saya jadi kecil dan minder
membaca ‘orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka’[1](Al-A’raf: 51). Jangan-jangan saya, juga Pakde Tarmihim, sedang berada di wilayah ancaman Tuhan itu.…”
Kali ini Tarmihim ternyata tidak tertawa. Wajahnya sangat serius, bahkan malah seperti menuju situasi menangis.
“Junit”, katanya, “sudah puluhan tahun saya mengalami kengerian
seperti yang kamu alami. Pakdemu ini selalu merasa diri Pakde ini kotor,
bodoh, dan tidak punya kelayakan untuk berdekatan dengan Al-Qur`an.
Terkadang muncul pikiran ‘Ah, saya jangan dekat-dekat Islam. Islam itu
sangat suci, sedangkan saya sangat kotor.…”.
“Maaf, maaf…”, Tarmihim hampir terbatuk-batuk menghentikan tertawanya
dengan setengah paksa, “Mudah-mudahan saya tertawa ini semata-mata
karena jenis adonan perasaan atau formula kejiwaan saya berbeda dengan
kalian semua”. Ia meng-Iqra` dirinya.
Tertawanya nongol lagi. “Maaf saya sedang merasa geli kepada diri
saya sendiri. Kalau tidak salah ada ayat Allah, saya lupa surat dan ayat
berapa, tapi intinya ”dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian
yang lain”.[1](An-Nisa: 32).
Bagaimana mungkin saya tidak mentertawakan diri saya sendiri? Atas
dasar sejarah keilmuan dan pengalaman yang mana saya kok menyebut ayat
Al-Qur`an….”
Setelah agak lama diam, Brakodin terdengar suaranya: “Tapi maaf saya
tidak ikut tertawa. Jenis perasaan dan nasab kejiwaan saya berbeda”
“Asal tidak melarang yang lain tertawa”
“Saya tidak pernah melarang. Hanya kaget dan belum paham”
“Saya tertawa ini sungguh-sungguh”, Tarmihim membela diri, “Tertawa
itu suci, ia keluar apa adanya dari perasaan melalui mulut. Tertawa itu
bukan bermain-main. Tidak semua tertawa itu bergurau.
Tertawa itu murni
sebagai akibat dari suatu sebab. Hubungan antara sebab dengan akibat
yang berbentuk tertawa itu serius dan nyata. Bukan permainan. Bukan
cengengesan. Bukan senda gurau”
“Saya juga tidak menuduh kamu main-main dan senda gurau”
“Meskipun Tuhan berfirman bahwa “tiadalah kehidupan dunia ini selain dari main-main dan senda gurau”, tetapi hidup saya sangat sungguh-sungguh. [2](Al-An’am: 32). Entah siapa yang main-main dan senda gurau. Tapi saya tidak. Saya hanya tertawa karena bersyukur”.
etelah bisa menguasai perasaannya dan menghentikan tertawanya,
Tarmihim menerangkan: “Tertawa itu sebuah gagasan. Ia bagian dari
fenomena ekspresi manusia. Di seluruh dunia manusia melakukan tertawa,
dan tertawa mereka sama. Tidak ada jenis tertawa yang berdasarkan
kebangsaan atau kesukuan. Mungkin ada semacam ciri-ciri kecil atau
tonjolan-tonjolan suara tertentu yang berbeda-beda dalam suara tertawa,
tetapi secara mendasar dan menyeluruh tertawa semua manusia di dunia ini
sama”
“Jadi, tertawa itu makhluk ciptaan Tuhan”, Tarmihim memberi kesimpulan, seolah-olah itu hasil ber-Iqra`,
“Tertawa itu bagian dari ide Allah dalam menciptakan kelengkapan
manusia. Tertawa bukan hasil karya manusia, bukan kreativitas budaya
manusia. Junit yang akhir-akhir ini getol membaca Al Qur`an, tentu bisa
menemukan ayat yang berkaitan dengan apa yang saya kemukakan ini….”
“Kalau begitu kamu yang menuntaskan penjelasan Pakde, karena bagi Pakde rasanya sudah tuntas”
“Kalau hati manusia tergetar kan biasanya terus terenyuh atau terharu, dan ungkapannya biasanya lantas mengucapkan Kalimah Thayibah,
atau menangis, atau sekurang-kurangnya meneteskan airmata. Itulah tanda
bahwa kita ini manusia, bukan batu, pohon atau hewan. “dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. [1](Al-Isra`: 70).
“Kok malah menjadi-jadi tertawamu, Him?”, Brakodin agak tegang mendengar Tarmihim malah tertawa sesudah Junit membaca ayat.
“Saya tertawa karena gembira”, jawab Tarmihim, “saya bukan menertawakan. Saya kagum dan bersyukur”
“Tapi kalau ada orang lain yang mendengar, kamu dianggap menertawakan ayat Tuhan. Hati-hati Iqra`mu”
“Lho kan ayat itu tentang Allah memberi karunia dengan menggembirakan
hamba-hambaNya yang beramal saleh. Sejak awal pembicaraan kita yang
berasal dari cerita tentang Mbah Sot kan penuh ayat-ayat Qur`an. Kan
tidak biasanya begitu. Ini kan kurang lazim dalam lingkaran kita. Tetapi
ini semua menggembirakan. Ini anugerah Tuhan kepada kita yang awam
Islam dan setengahnya buta huruf Qur`an. Bagaimana saya mampu tidak
bersyukur dan bergembira mendengar ayat-ayat Allah mengalir dari bibir
anak-anak kita. Dan bagaimana cara yang paling mudah dan spontan untuk
bergembira selain tertawa…”
“Tapi tadi kamu bilang geli”, Brakodin mengejar.
“Kalau gembira kita tertawa. Kalau lebih bergembira kita malah
menangis. Dan kalau tangis kegembiraan sudah lewat, bisa malah merasa
geli. Apalagi kalau dilihat sejarah kita ini kan bukan seperti sejarah
para ‘Alimuddin dan Shalihul’amal’. Kita bukan lingkaran orang yang
mengerti Agama dan berperilaku penuh amal saleh. Jadi wajar kalau aliran
ayat-ayat dalam perbincangan kali ini membuat saya tergetar. Tapi rasa
tergetar itu tidak membuat saya menangis. Sudah sangat lama saya tidak
menangis….”
Junit mengutip ayat lagi: “Orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka” [1](Al-Hajj: 35).
Dan tertawa Tarmihim meletus lagi.
Uraian Brakodin dan respon lainnya mendadak terhenti karena suara
tertawa Tarmihim. Terpingkal-pingkal tapi ditahan. Kedua tangannya
menutupi mulutnya. Tapi desakan tawanya sedemikian kuat sehingga semua
tahu.
“Ada apa, Him?”, Brakodin bertanya. Agak kaget campur sedikit terganggu, bahkan ada unsur tersinggung.
“Maaf, maaf….”, Tarmihim menjawab sambil mencoba menghentikan
tawanya, “saya ini sedang sangat bergembira, tapi campur geli, karena
lucu, benar-benar lucu”
“Kok geli? Lucu? Apa yang bikin geli? Apa yang lucu?”
“Ya semua ini”, Tarmihim agak reda tertawanya, “tetapi yang utama tetap gembira dan bersyukur”
Jitul nyeletuk nakal: “Saya sedang banyak mempelajari perilaku
Kanjeng Nabi Muhammad, dan yang saya banyak temukan adalah beliau sangat
murah senyum, tapi hemat tertawa. Tidak ada kabar bahwa pernah tertawa
keras, terbahak-bahak, atau terpingkal-pingkal, terkekeh-kekeh, apalagi
cekikikan seperti Pakde Tarmihim”
“Benar sekali, Tul”, Seger menimpali, “akhir-akhir ini saya sering
mendengar ceramah yang melarang kita melakukan apa yang tidak dilakukan
oleh Rasulullah, contohnya yang tertawa cekikikan seperti Pakde Tarmihim
itu. Tidak mungkinlah seorang Nabi tertawa cekikikan, dan kita kan
wajib ittiba’ Rasul”
Junit mengutip firman: “Itulah karunia Allah, menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh”. [1](As-Syuro: 23). Junit memang sedang rajin Iqra`.
Tetapi mendadak Tarmihim tertawanya meledak.
Tetapi menurut Brakodin, di samping kebanggaan bertemu dengan
anak-anak muda Mujahidin, para pekerja keras dan para penekun ibadah
kepada Allah di Negeri yang secara tradisi tidak mengenal Allah – Mbah
Sot juga bercerita tentang kesedihan yang membuatnya berduka.
“Di antara para Mujahidin yang sangat mengharukan dan membesarkan
dada itu”, demikian kata Mbah Sot, dikisahkan oleh Brakodin, “ada
sekelompok anak-anak muda yang sangat merepotkan kehidupan di dunia dan
menyusahkan orang Islam”
Junit, Jitul, Tuling, dan Seger penasaran apa maksudnya ini.
“Mereka ini menyebut Negara di mana mereka bekerja sebagai Negara
Kafir, tetapi mereka makan nasi dan menerima gaji dari Bos-bos Kafir
Perusahaan-perusahaan Kafir. Mereka mengabdi kepada majikan-majikan
sambil mengafirkan mereka di belakang punggung”
“Sementara mereka selalu bersikap sangat sombong, bermulut kejam, dan
tiap hari menyakiti hati sesama Muslim. Sejak dulu Kiai dan Ulama
pengabdi Tuhan dan penyayang manusia berjuang menambah jumlah orang yang
mengislamkan dirinya. Sementara jenis Kiai yang ini setiap hari ribut
mengafirkan saudara-saudaranya sendiri sesama Muslim, serta sibuk
mengurangi jumlah Kaum Muslimin, hanya karena berbeda pandangan dengan
mereka. Mungkin metode Iqra` tingkat tertinggi dari para Masyayikhul-Ulama yang mereka pakai”.
Junit menyahut: “Mereka seperti tidak mendapat rahmat dari Allah. ’Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka’[1](Ali Imron: 159).
Yang ini bilang asal orang bersyahadatain ia menjadi Islam, yang di
sana sudah menjalankan Rukun Islam masih dikafir-kafirkan”.
[1]
ۖ فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
“Mbah Sot kemudian mengobrol panjang dengan anak-anak muda yang gagah
perkasa itu, dan sesudahnya mereka berteman sangat akrab. Bahkan mereka
hadir di beberapa tempat di mana Mbah Sot mengobrol dengan cucu-cucunya
Mujahidin. Dua kalangan ini menjadi tersambung dan bersahabat, padahal
bertahun-tahun sebelumnya mereka dipisahkan jauh oleh kondisi batin di
antara mereka”
Kata Brakodin, ketika menceritakan itu Mbah Sot menyebut dua ayat
yang menyangkut anak-anak muda tiang-tiang masa depan Negara itu. Yang
pertama, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain Dia.” [1](Ar-Ro’d: 11). Kedua, ”Dan
orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti
Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan
sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka
mengetahui.” [2](An-Nahl: 41). Gaya Iqra`nya Mbah Sot seperti Ustadz.
Mbah Sot, kata Brakodin, sangat bangga kepada Kaum Muda Mujahidin itu
seluruhnya. Sebab mereka sudah membuktikan secara nyata dan penuh
keberanian untuk mengubah nasib mereka. Mbah Sot mendoakan semoga Allah
tidak menghendaki keburukan apapun atas hidup mereka yang penuh
pengorbanan itu.
Bahkan dalam banyak segi, Mbah Sot menemukan dan membuktikan dengan
mata, telinga, hati, dan akalnya sendiri bahwa berkat keikhlasan hijrah
mereka, sejauh ini Allah benar-benar memberikan “tempat yang bagus”
kepada mereka.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain
Dia. [2]
Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka
dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di
dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau
mereka mengetahui.
Mbah Sot, demikian Brakodin menceritakan, sebenarnya sudah sangat
kelelahan untuk menjelaskan kerusakan-kerusakan Negerinya sendiri yang
sangat menyedihkan hatinya dan amat menguras tenaga batinnya. Satu Iqra` saja sudah tak ada habisnya. Tapi rupanya masih sempat sekilas dua kilas menyampaikan sejumlah inti permasalahannya.
“Kalian tidak harus mencari dan membaca informasi Tuhan ini: ‘Maka
bagaimanakah halnya apabila mereka orang-orang munafik itu ditimpa
sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian
mereka datang kepadamu sambil bersumpah: ‘Demi Allah, kami sekali-kali
tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang
sempurna’.’ [1](An-Nisa: 62).
Kalian sangat berhak meremehkan saya, karena saya orang tua renta ini
memang bukan faktor apa-apa di Negeri kalian. Tapi kalau beberapa waktu
yang dekat di depan kita ini nanti kalian mendengar apa yang Tuhan
bilang ‘kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah’ – kalian tidak
perlu heran, karena sekarang saya sudah menyampaikan kepada kalian”
“Sejak puluhan tahun silam pekerjaan saya adalah memperbaiki truk yang
rusak, meskipun saya tidak ikut merusaknya. Membersihkan rumah yang
kotor penuh tinja, padahal saya tidak ikut buang air besar. Memperbaiki
bangunan rumah yang tiangnya patah, atapnya bocor, temboknya retak, atau
hama tikusnya merajalela. Mendamaikan penghuni rumah itu yang tak
habis-habisnya bertengkar. Baik bertengkar di antara mereka sendiri
maupun berantem dengan tetangga-tetangganya. Alhasil pekerjaan saya
adalah mendirikan kembali bangunan yang roboh, tanpa saya pernah
merobohkannya. Menata hati dan pikiran maling yang akan dipenjara,
padahal ketika akan mencuri tidak bilang saya…”.
Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik)
ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri,
kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami
sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan
perdamaian yang sempurna".
“Kalau tipu daya nasional yang sedang diselenggarakan dan dipacu
dengan menghalalkan segala cara ini gagal”, kata Mbah Sot, dikisahkan
Brakodin, “maka sejumlah raksasa akan jatuh bergelimpangan. Pertama
Partai Raksasa yang mengangkut pemimpin tertinggi dan anak buahnya itu
akan kehilangan legitimasi dan akan seperti aki mobil mendadak lenyap
stroomnya….”
Anak-anak muda yang dendam kepada keadaan Negaranya yang membuat
mereka terbuang sangat jauh ke seberang laut, semakin lama semakin
terserap oleh penjelasan-penjelasan Mbah Sot.
“Raksasa-raksasa Pengembang yang sudah terlanjur menanamkan ratusan
trilyun rupiah akan tersungkur di tengah jalan. Dan itu memperlambat
proyek penguasaan para Raksasa itu atas Indonesia di bidang kekuasaan
politik, militer, kebudayaan, bahkan ideologi dan Agama. Sebab selama
berpuluh-puluh tahun mereka hanya diizinkan bergerak di bidang
perniagaan saja”
“Maka si anak buah itu harus menang di pengadilan hukum maupun di
pemilihan kepenguasaan politik di wilayahnya, yang merupakan pusat
Negeri dan tempat penggumpalan mayoritas uang, serta tempat bertumpuknya
semua perangkat kekuasaan ekonomi dan politik”
“Kalau sempat dan pas menganggur di tempat indekos kalian, coba ada yang baca ayat Tuhan: ‘Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan’. [1](An-Naml 48). Kemudian saya yakin kalian juga percaya kepada Maha Penguasa Yang Sesungguhnya atas kehidupan ini, yang berjanji: ‘Dan mereka merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari’.” [2](An-Naml 50).
“Negara kalian semakin rusak oleh kelakuan pengurusnya sendiri”, Mbah
Sot melaporkan kepada anak-anak muda yang hatinya merasa terbuang itu,
sebagaimana dikisahkan Brakodin, meng-Iqra` situasi
Negerinya, “Mereka terjebak di dalam jebakan yang mereka ciptakan
sendiri. Mereka terjerumus ke dalam ranjau yang mereka gali sendiri.
Kaki mereka terserimpet oleh tali-tali yang mereka rajut sendiri. Mereka
kebingungan oleh pukat ambisi mereka sendiri”.
“Pemimpin tertingginya sedang suntuk bekerja, berstrategi, dan
mengatur-atur bagaimana melindungi seorang bawahannya. Yang posisinya
sangat penting dibanding ribuan bawahannya yang lain. Yang juga
merupakan kunci keselamatannya sendiri, serta kunci sukses atau gagalnya
pelaksanaan berbagai perjanjian antara pimpinan tertinggi itu dengan
sekumpulan orang kaya yang membiayai dan merekayasanya untuk menjadi
pimpinan tertinggi”
“Dilindungi bagaimana? Dilindungi agar menang dalam dua perkara.
Pertama, peradilan yang bisa menyeretnya masuk penjara. Kedua, pemilihan
kepala daerah yang wajib dimenangkan oleh anak buahnya itu, apapun
caranya, kalau perlu dengan mengubah neraka menjadi surga dan
sebaliknya.”
“Saya butuh waktu tujuh hari tujuh malam untuk menguraikan semua itu”,
kata Mbah Sot, diceritakan Brakodin, “tapi cobalah salah seorang dari
kalian membuka Al-Qur`an. Carilah firman Tuhan: “Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu
Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang murah, mereka itu sebenarnya
tidak menelan ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan
berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan
bagi mereka siksa yang amat pedih”. [1](Al-Baqarah 174).
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah
diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang
sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke
dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada
mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka
siksa yang amat pedih.
“Berarti Mbah Sot merdeka dari dendam itu”, kata Seger, “kan Mbah Sot
bukan pejabat dan pakaiannya ampun-ampun: sangat orang bawahan, wong
cilik, meskipun tidak sampai kumal atau kumuh”
Brakodin membantah. “Mbah Sot juga dipelototi oleh mereka dengan
pandangan penuh kebencian. Mereka sama-sama sedang makan di sebuah
Warung Indonesia. Biasanya kapan orang Indonesia bertemu, selalu saling
menyapa satu sama lain. Tapi kepada Mbah Sot mereka buang muka, bahkan
menghindar ke sudut yang jauh. Sesekali mereka melirik ke Mbah Sot
dengan sorot mata api….”
“Terus Mbah Sot gimana?”, Toling penasaran.
“Mbah Sot tidak bereaksi apa-apa meskipun agak heran. Sesudah mungkin melakukan Iqra`
dan berpikir beberapa lama, Mbah Sot berdiri dan berjalan menemui
mereka. Menyalami mereka satu persatu. Reaksi mereka sangat dingin dan
terpaksa. Mbah Sot duduk di dekat mereka. Kemudian mencari peluang untuk
omong kepada mereka”
“Omong gimana, Pakde?”
“Untung Mbah Sot ingat pernyataan Allah: ”Allah tidak menyukai
ucapan buruk, yang diucapkan dengan terus terang kecuali oleh orang yang
dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [1](An-Nisa: 148),
“Maaf saya sengaja datang untuk berkenalan dengan kalian”, begitu kata
Mbah Sot, diceritakan oleh Brakodin, “Saya ini sudah tua dan penakut.
Saya cemas dan sedih jangan-jangan kalian membenci saya. Kalian marah
dan memusuhi saya. Mungkin kalian merasa teraniaya di tanah air, dan
menyangka bahwa saya adalah bagian dari yang menganiaya kalian.
Bagaimana kalau saya laporkan kepada kalian bahwa saya juga teraniaya?
Bahkan lebih teraniaya dibanding kalian?”.
Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus
terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.
“Tidak semua dari 50 ribuan pekerja kita di Negeri itu memiliki watak
dan tujuan hidup seperti sebagian yang Mbah Sot berjumpa dengan mereka.
Junit pasti berkesimpulan seolah-olah ada di antara mereka yang tidak
tergolong dari informasi Tuhan: ”Bagi manusia ada malaikat-malaikat
yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka
menjaganya atas perintah Allah”. [1](Ar-Ro’d: 11).
“Saya belum pernah tahu ayat itu, Pakde”, Junit mengelak.
“Tapi semua mereka Mujahidin tho Pakde?”, Seger bertanya, “kan mereka
semua kerja keras, berkorban meninggalkan kampung halaman, menyeberang
sekian lautan, demi menghidupi keluarga mereka di tanah air. Saya tidak
tega menyebut mereka bukan Mujahidin”
“Jangan memancing-mancing Iqra` Pakde Brakodin untuk menafsir-nafsirkan arti Mujahidin….”, potong Toling.
Brakodin tersenyum dan meneruskan. “Banyak di antara mereka yang
hatinya dipenuhi dendam kepada Indonesia. Tentu bukan kepada Indonesia
sebagai tanah air dan Negara. Mereka marah, geram, dan tampak benci
kepada yang mengelola Negara. Karena kacaunya pengelolaan itulah mereka
terlempar jauh ke Negeri orang demi mencari sesuap nasi”
“Kok Mbah Sot bisa berkesimpulan begitu?”
“Katanya suasana batin itu sangat terpancar di sorot mata dan
penampilan wajah mereka. Kalau ada orang dari Indonesia datang dengan
pakaian agak bagus atau necis, apalagi bergaya seperti pejabat, mereka
langsung buang muka dan sama sekali tidak mau berkenalan. Kata Mbah Sot,
andaikan mereka menjadi teroris, tidaklah mengagetkan”.
“Kok bisa mereka dibutuhkan dan dilindungi oleh Perusahaannya?”
“Ada beberapa sebab yang sangat mendasar”, jawab Brakodin, “Pertama,
mereka sangat cepat belajar mengerjakan sesuatu yang diperlukan,
meskipun mereka tidak punya latar belakang pendidikan yang sesuai dengan
tugas pekerjaannya. Secara alamiah dan otodidak mereka adalah putra
dari bangsa yang memang terampil dan punya pengalaman peradaban yang
panjang dan tua”.
Semua mendengarkan dengan seksama. Jitul nyeletuk, “Para buruh Muslim dilindungi oleh Majikan-majikan Kafir ya Pakde….”
“Jangan usil dulu”, kata Brakodin, “Kedua, karena etos kerja mereka
berbeda dengan para pekerja dari Negara-negara lain. Mereka tidak hanya
sangat rajin bekerja, tapi juga dalam keadaan darurat, mereka mau dan
ikhlas mengerjakan pekerjaan lain yang sebenarnya bukan bagiannya, tanpa
menuntut imbalan. Perusahaan mana yang tidak riang gembira oleh
karakter seperti itu?”
“Ketiga, sebagai manusia, mereka jauh lebih ramah, banyak tersenyum,
pandai bergurau, dibanding para pekerja dari Negara-negara lain. Mereka
adalah pekerja favorit di Negeri itu. Sesudah mereka baru anak-anak
Vietnam, Filipina, India, Bangladesh, Dagestan, Azerbaijan, dan
lain-lain. Kalau 50 ribu Mujahidin itu pergi dari Negeri itu, akan
terjadi guncangan serius pada perekonomian mereka”.
“Mereka seolah-olah diajari langsung oleh Tuhan”, Tarmihim menyambung, “seolah-olah mereka mengalami langsung ‘allamal insana ma lam ya’lam….”. [1](Al-’Alaq 5).
Jitul memotong, “Lho kok Pakde Tarmihim ikut-ikut menafsirkan. Seperti sudah khatam Iqra` saja. Nanti sesat lho Pakde….”.
[1]
عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
“Begitu mereka bekerja di Negeri orang itu, Paspor mereka dipegang
oleh Lembaga Tenaga Kerja yang mengurusi proses sehingga mereka bekerja
di situ. Gaji mereka sepenuhnya diambil oleh Lembaga itu sampai jangka
waktu yang menurut para Mujahidin ini terlalu rakus, mengandung
pemerasan dan penghisapan”, Brakodin bercerita.
“Setiap pekerjaan kan memang dilaksanakan dengan transaksi, setiap transaksi ada aturan hisab atau hitungannya”, kata Junit.
“Tetapi hisab jangan sampai menjadi hisap….”, celetuk Jitul, “huruf ‘b’ dengan ‘p’ beda Iqra`nya”
“Kaum muda Mujahidin itu mendapat rizki yang sangat lumayan di Negeri
orang, bisa lima sampai sepuluh kali lipat dibanding pendapatan jika
mereka mengerjakan hal yang sama di Negara mereka sendiri”
“Itulah sebabnya mereka disebut Pahlawan Devisa”, sahut Sundusin.
“Itulah sebabnya juga mereka diperas, dihisap, diporoti, dilintahi,
baik di Penampungan, maupun setiap mereka pulang ke tanah air. Baik oleh
sejumlah petugas di Bandara, terkadang juga di kampungnya sendiri”
“Maaf ya Pakde”, Junit memotong, “Kalau hal itu membuat saya jadi ingat firman Tuhan ‘dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil…” [1] (Al-Baqarah: 188), apakah saya menyalahi aturan dan prinsip Tafsir?”
Tarmihim tertawa. “Pakdemu Brakodin itu baca Turutan saja ndak bisa-bisa sampai setua itu. Jangan ditanya soal Tafsir”
“Yang jelas anak-anak muda Mujahidin itu memilih tinggal di Negeri orang
dalam posisi fisabilillah, karena kalau mereka pulang, sangat sulit
prosesnya untuk kembali lagi bekerja di sana. Apalagi meski pekerja
gelap, mereka dibutuhkan dan dilindungi oleh perusahaan-perusahaannya”.
“Kalau tidak salah Mbah Sot punya saudara yang anggota Majelis Umana’
yang tugasnya menjaga Bahasa Arab di dunia”, tiba-tiba terdengar suara
Paklik Sundusin.
“Majelis Umana’?”, Seger bertanya.
“Itu semacam Dewan Bahasa Arab Dunia”, jawab Sundusin, “anggotanya
Sembilan orang. Enam dari Negara-Negara Timur Tengah yang bahasa
nasionalnya Bahasa Arab. Satu dari Afrika, satu dari Eropa, dan satu
lagi dari Asia, ya kakaknya Mbah kalian Markesot itu”
“Hebat ya…”, Toling menyahut, “berarti beliau sangat menguasai Bahasa Arab. Mestinya Mbah Sot ya kecipratan….”
“Nanti dulu”, jawab Ndusin, “Menguasai Bahasa Arab tidak berarti
memenuhi syarat untuk menjadi Ahli Tafsir Al-Qur`an. Ada banyak syarat
untuk menafsirkan Qur`an. Tidak hanya menguasai Bahasa Arab”
“Tapi Mbah Sot kan juga sering mengemukakan ayat-ayat Qur`an”
“Itu tidak berarti Mbah Sot adalah Mufassirul-Qur`an. ‘Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya’. [1](An-Nisa: 58). Iqra` jangan sembrono”.
“Begini”, Tarmihim memotong, “sebaiknya kita jangan terjebak untuk
mendiskusikan tafsir Qur`an dan Ahli Tafsir. Kita semua tidak memenuhi
syarat untuk itu. Yang berhak menafsirkan Al-Qur`an adalah Mufassir. Dan
yang berwenang menilai Ahli Tafsir adalah para Ahli Tafsir itu sendiri.
Dan kita sama sekali bukan beliau-beliau”.
“Tapi yang jelas anak-anak muda para pekerja yang Mujahidin itu”, kata
Brakodin, “memilih fisabilillah bukan tidak ada alasannya. Semua pilihan
ada sebab akibatnya. Mereka tidak punya niat mencampur-adukkan antara
kebenaran dengan kebatilan”.
Jitul, Seger, dan Toling nimbrung. Tak bisa dielakkan. “Jadi
maksudnya fisabilillah itu tinggal di Negara orang tanpa visa izin
tinggal. Penduduk gelap atau tidak legal di Negeri orang? Apakah itu
tidak berarti mencampur-adukkan antara yang haq dengan yang batil,
Pakde?”
Jitul tertawa. “Akhir-akhir ini Junit agak rajin buka-buka Al-Qur`an,
Pakde”, katanya, “dia khawatir disalahkan Tuhan kalau mencampur-adukkan
kebenaran dengan kebatilan….”.
Brakodin tersenyum. “Wah, hati-hati kalau baca Al-Qur`an, Nit. Baca
hurufnya pakai mata, tapi baca kata-katanya kan pakai otak, untuk
memahami maknanya harus pakai akal. Nanti jadi terjebak untuk
menafsirkan. Padahal kamu kan bukan Ahli Tafsir”
“Siapa di antara kita yang Ahli Tafsir, Pakde?”, tanya Junit.
“Tidak ada”, jawab Brakodin.
“Mbah Sot?”
“Dia Ahli Taksir….”
“Jadi gimana kalau begitu?”
“Ya ndak gimana-gimana. Firman Tuhan ‘Dan janganlah kamu campur
adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang
haq itu, sedang kamu mengetahui’
[1](Al-Baqarah: 42) itu kalau kita yang mencoba memahaminya pakai akal kemungkinan artinya bisa sangat luas, dinamis, dan relatif….”
“Serta mudah terpeleset ke jurang kesesatan”, Toling nimbrung.
“Waduh. Baca Qur`an itu malah terancam untuk tersesat ya…”, sahut Jitul. Padahal Iqra` saja pun baru meraba-raba.
“Kalau begitu di setiap kampung atau jamaah harus ada Ahli Tafsir.
Jumlah Ahli Tafsir harus berjuta-juta dan merata keberadaannya”.
Wahai Tuhan aku hidup di Negara di mana orang omong ngawur tentang Khilafah dan Syariah dan tak mau belajar.
Yang menginformasikan dan memaksakannya juga sembrono, merasa paling pintar sehingga tidak mau belajar.
Yang menolak dan melawannya juga sok hebat, merasa berkuasa dalam majhul jahil–nya, sehingga tak mau kalah untuk juga tidak belajar.
Wahai Tuhan aku memohon perluasan kesabaran, pengkayaan
kebijaksanaan, serta ketahanan hati untuk tidak melakukan sesuatu yang
belum Engkau perbolehkan untuk dilakukan.
Ini seri judul Pemimpin tapi kok omong segala hal, bukan soal kepemimpinan?
Pemimpin adalah orang yang tahu banyak tentang banyak hal. Untuk pemimpin Indonesia, banyak hal tentang dunia, apalagi Indonesia.
Pemimpin adalah muta’allimul ghoibi. Orang yang selalu mencari tahu apa saja yang ia belum tahu yang menyangkut keperluan rakyat yang diabdinya.
Bahkan was-syahadah. Juga mengalami. Pemimpin yang baik haruslah rakyat yang terbaik.
Pada dinihari gelap sepi aku kaget oleh suara adzan keras melengking dari Masjid Darul Aman.
Ini negeri 98% penduduknya non-Muslim. Lengkingan adzan di sana sini.
Kata toleransi tidak populer, tidak pernah jadi bahan diskusi atau perdebatan.
Kata pluralisme, multikulturalisme
tidak diomong-omongkan, dan tidak ada masalah toleransi. Tapi
terlaksana karena mereka manusia, punya naluri untuk saling mengamankan.
Di ibukota besar Negara yang penduduknya ittiba’ Budha Gautama ini ada hampir 300 Masjid.
Mushalla mewah bersih disiapkan di area-area publik.
Wanita-wanita berjilbab di mana-mana, kerja di mal-mal, kantor-kantor, pasar dan mana saja.
Mayoritas penduduk Negara ini oleh sejumlah Ustadz Indonesia disebut kafir. Mereka toleran kepada Muslim, hatinya tidak rewel, pikirannya tidak ruwet seperti di NKRI.
Siapa itu biangnya kok nilai-nilai dijadikan benda, branding dan slogan kosong.
Kata sifat dan kata kerja dikata-bendakan. Radikal, fundamental, moderat dan macam-macam lagi dilembagakan, diterminologikan, didikotomikan sehingga menjadi hulu ledak permusuhan.
Idiom Islam, Khilafah, Syariah, Pancasila, NKRI harga mati dibenderakan, dimedsos-medsoskan, dilebay-lebaykan, didramatisir–sehingga menjadi mesiu kebencian.
Siapa itu para perusak nilai dan manusia, demi kerakusan politik dan keserakahan materialisme.
Memilih orang-orang yang mewakili rakyat tanpa pertimbangan
ideologis, tanpa parameter moral, tanpa kualifikasi ekspertasi. Tanpa
apapun kecuali perhitungan dagang kelompok atas nama demokrasi dan
pembangunan nasional. Bahkan tanpa harga diri budaya dan cermin karakter
atau kepribadian.
Sampai kapan rakyat Indonesia menitipkan kedaulatannya kepada mesin-mesin perusak demokrasi?
Sampai kapan rakyat menyerahkan keperluannya untuk sejahtera kepada
golongan yang sakit jiwa eksistensi dan mencari kekayaan pribadi dari
karier perwakilan tanpa rasa malu?
Rakyat Indonesia semakin kebal dari segala jenis penyakit politik, karena akhirnya berubah menjadi penyakit itu sendiri.
Indonesia harus benar-benar Indonesia, maka pemimpinnya harus
berkelas dunia. Manusia sejati, bukan manusia pencitraan. Manusia
pusaka, tak sekadar pedang, apalagi pencangkul.
Rakyat Indonesia adalah rakyat besar, peradabannya agung, bukan pelaku sejarah kekerdilan.
Pemimpin Indonesia tidak boleh hanya kaliber sebuah rumah tangga di kampung yang bersaing dan bertengkar dengan tetangganya.
Di dalam dada Pemimpin Indonesia tidak terdapat dirinya, golongannya, kepentingan subjektifnya.
Skala berpikir Pemimpin Indonesia seluas dunia, karena amanat yang
dipanggulnya adalah tepat dan bijaksana menemukan dan membangun
Indonesia di tengah dunia.
Indonesia tak punya rencana untuk bubar, pada tahun atau abad berapapun.
Maka yang dihayati dan dikerjakan oleh Kepala Negara Indonesia adalah
bagaimana membangun kegembiraan dan kebahagiaan rakyat sampai anak cucu
selama keabadian.
Tapi yang dibayar oleh rakyat untuk mengurusi Negara adalah
Pemerintah per 5 tahun. Dan yang dilakukan oleh Kepala Pemerintahan
Indonesia selama 5 tahun terutama adalah bagaimana bekerja demi supaya
memerintah lagi 5 tahun berikutnya.
Jadinya tak sempat mikir Negara yang keperluannya “abadi”. De facto tidak ada Kepala Negara.
Di Indonesia Kepala Pemerintahan adalah Kepala Negara. Struktur
berpikirnya rancu. Siapapun dia, diganti atau tidak: sistem kesadarannya
disorganized. Susunan saraf di kepalanya semrawut dan kacau. Hatinya kumuh. Kiblat programnya tidak punya akurasi kerakyatan.
Akhirnya balik berfokus ke dirinya sendiri. Program utamanya adalah
pencitraan, penipuan dan kriminalitas atas fakta. Profesinya pembenaran
diri, bukan kebenaran faktual untuk rakyat.
Padahal jangkauan waktu Negara Indonesia adalah kekal. Masa kerja Pemerintah Indonesia adalah sejenak.
Yang sejenak harus mengacu pada yang kekal. Bukan yang kekal diperbudak oleh yang 5 tahun.
Pemimpin yang sejati-sejatinya pemimpin, tidak harus menjadi pejabat,
tidak tergantung atau harus duduk di kursi jabatan. Tetapi Pejabat
harus pemimpin.
Ancaman bagi rakyat, kalau pejabat bukan pemimpin. Bahaya bagi Negara, kalau pejabatnya tidak berkualitas pemimpin.
Mesin perusak Negara adalah lembaga-lembaga yang
kulakan calon pejabat publik atau wakil rakyat yang dipalsukan sebagai
pemimpin dan dijual kepada rakyat.
Mesin penghancur Demokrasi adalah pengeras suara
yang dibayar untuk menyebarkan pemalsuan itu memasuki telinga dan mata
rakyat, merasuki hati dan pikiran mereka.
Manusia bertempat tinggal di dalam Allah. Tetapi Allah juga menjelma atau bertajalli di dalam diri manusia.
Jelmaan Allah itu memenuhi diri manusia pemimpin.
Ada formula manunggaling kawula lan Gusti. Di dalam
diri pemimpin, rakyat dan Tuhan menyatu dalam dialektika. Kalau pemimpin
menyakiti rakyat, Tuhan marah. Kalau pemimpin mengingkari Tuhan, rakyat
dicelakakan.
Pemimpin sejati Indonesia tidak melakukan apapun yang membuat
rakyatnya dan dirinya sendiri kehilangan peluang untuk menyatu kembali
dengan Tuhan.
Tidak harus ahsanu taqwim yang bermaqam insan kamil, tapi kalau pemimpin Indonesia selalu hanya ber-kaliber dan ber-level manusia asfala safilin
yang memenuhi dirinya dengan kepentingan kariernya, citra keduniaannya,
serta keterbudakannya oleh remehnya kemewahan dunawi—maka Indonesia
perlu bersegera meminimalkan cita-citanya.
Kita sekolahkan anak-anak kita supaya siap menjadi Menteri. Puncak
pencapaian Sekolah adalah ekspertasi, dan seseorang dijadikan Menteri
berdasarkan keahliannya.
Kalau untuk menjadi Presiden, tidak ada Sekolahnya, tidak tersedia Fakultas, Universitas atau Pesantrennya.
Maka di satu sisi, menjadi Presiden harus mengungguli semua lulusan Universitas dan Pesantren. Ya ilmunya, skill-nya, karakter dan moralnya, pengalaman manajerialnya dan awu kasepuhan wibawanya.
Presiden harus tahu banyak tentang banyak hal. Tidak sekadar tahu
sedikit tentang banyak hal, atau tahu banyak tentang sedikit hal.
Apalagi hanya tahu sedikit tentang sedikit hal.
Tetapi di lain sisi, misalnya di Indonesia, “Presiden tak ada Sekolahnya” berarti siapa saja bisa jadi Presiden. Tanpa persyaratan apapun kecuali patuh kepada para penjudi sejarah yang membotohinya.
Manusia diwajibkan untuk hidup abadi oleh Yang Maha Menciptakan. Tidak ada pilihan, tak bisa menolak.
Sisa Demokrasi hanya pada pilihan opsi Sorga atau Neraka. Andai menolak keabadian, lantas bunuh diri, ruh tidak terbunuh dan harus tetap tersandera di antara dua opsi itu.
Maka kalau Pemimpin menyangka ia berkuasa, berlaku
pragmatis, berpikir pendek, bertindak instan, apalagi merasa sukses
dengan itu semua — itulah contoh dari makhluk yang belum mengerti bagaimana caranya berpikir dan menggunakan akal.
Para Pemimpin Indonesia tinggalkan saja Pancasila, daripada terikat oleh Tuhan selama keabadian.
Rakyat bukan kumpulan orang bodoh, melainkan ra’iyah, yakni pemilik kedaulatan Negara.
Untuk mengangkat seseorang jadi Pemimpin sesudah terbukti bertahun-tahun melakukan muta’allimul ghoibi was-syahadah–Rakyat sendiri melakukan 1 dari 13 Al-Hasyr 21 syarat kepemimpinan itu.
Begitulah rasio antara Rakyat dengan Pemimpin.
Tetapi karena bangsa Indonesia sudah nyaman dan sangat kaya raya oleh alam tanah airnya–maka anugerah ilmu Al-Hasyr 21 dari Tuhan itu: dijual seharga 50 atau 100 ribu rupiah kepada orang yang akan menipu dan menindas mereka.
Apa itu muta’allimul ghoibi was-syahadah? Ialah persyaratan
mendasar kepemimpinan yang tidak diperlukan oleh Pilpres 2019. Karena
yang dipilih adalah Presiden, tidak harus Pemimpin.
Sudah dan terus kutuliskan 8, 17, 28, 45, atau berapapun hal tentang
Pemimpin untuk anak-anakku yang sedang berlatih memimpin dirinya,
keluarga dan masyarakatnya, serta dipersiapkan untuk kelak menjadi
Pemimpin pada gelembung yang lebih besar.
Ini tidak untuk Pilpres Indonesia 2019.
Anak-anakku, untuk kepemimpinan hari esok: Amanu terus menerus. Hajaru setiap saat. Jahadu tanpa henti. Massa mereka bisu, baru esok hari dunia akan sedikit terbuka matanya.
Aku sendiri senyap kepada Indonesia, meskipun suaraku terdengar di
mana-mana. Para penyembah berhala mencuri dan memanipulasinya, yang aku
sendiri tak pernah demikian memaksudkannya.
Pilpres 2019 adalah bara api kebencian yang dilemparkan kepadaku.
Kalau separuh rakyat menyangka aku memilih seseorang, separo lainnya
membenciku. Kalau aku memilih yang satunya, separuh lainnya melemparkan
bara itu kepadaku.
Dua calon Presiden dan dua Wakilnya akan berdebat di depan umum.
Tujuannya supaya rakyat tahu isi pikiran mereka. Apa programnya, visi
misinya, strateginya. Trayek Sejarah NKRI ini mau disopiri ke mana.
Jadi, dipastikan jadi Capres Cawapres dulu, baru didengarkan dan dipelajari. Sudah dipastikan akan nikah, baru rakyat disuruh menilai.
Bukan dinilai dulu, supaya tahu pantas atau tidak untuk dicalonkan –sebagaimana demikian lazimnya logika Demokrasi.
Agar diketahui siapa-siapa yang pantas jadi calon Presiden. Dan siapa lainnya yang dipresiden-presidenkan atau yang supaya tampak Presiden harus dianimasi.
Pemikiran Demokrasi Indonesia menyebut kata kompetensi, kapabilitas,
integritas, akseptabilitas dan elektabilitas—untuk dimaksudkan semacam
syarat kepemimpinan.
Landasan berpikir dan terminologinya tidak punya keutuhan dalam mengenali manusia, masyarakat dan Negara.
Secara ilmu levelnya masih awam: ia hanya gejala-gejala teknis dan kasat mata belaka.
Sebagai pengetahuan ia serabutan. Juga tidak punya landasan filosofi. Apalagi keutuhan, kemenyeluruhan dan keseimbangan.
Demokrasi, Pemilu atau Pilpres itu seperti Universitas yang direktori tamatan SMA. Atau truk besar yang disopiri oleh anak SD.
Tidak tumbuh kesungguhan berpikir tentang Pemimpin dan kepemimpinan oleh Indonesia dalam menjalani sejarah bangsa dan Negaranya.
Tidak ada kegelisahan kreatif dan kecemasan intelektual untuk (dan)
tenang-tenang saja menderet berbagai kata: pemimpin, pejabat, penguasa,
direktur, manager, pemerintah, pemuka, tokoh, ketua, kepala. Sampai ada
wakil rakyat, tanpa rakyat pernah menjadi ketuanya.
Tidak ada kesibukan tafakkur tentang itu semua di lapisan dan segmen manapun. Pun di kalangan intelektual, ulul albab, ulul abshar, ulun nuha, dll.
Khayal besar kalau Indonesia akan punya Pemimpin
dengan kualitas yang sepantasnya, berdasarkan hamparan nilai dan
cakrawala ilmu yang dilimpahkan oleh Allah ke dalam kehidupan manusia.
Semoga jangan sampai terbaca atau terdengar kalimat bahwa Capres dan Cawapres adalah putra terbaik bangsa Indonesia.
Slogan klise afdrukan wacana sejarah semacam itu sungguh merepotkan. Tak bisa diterapkan “qulil haqqa walau kana murran” (katakan yang benar, meskipun pahit).
Kalau menerima, jadi konflik dengan ilmu, pengetahuan dan martabat manusia.
Kalau menolak, jadi merendahkan dan menghina yang bersangkutan.
Aku disuruh hidup oleh Allah untuk memberi pakaian kepada yang telanjang. Dan dilarang menelanjangi orang yang berpakaian.
Dodot iro, dodot iro kumitir bedhah ing pinggir. Dondomono jlumatono, kanggo sebo mengko sore…
Ada sejumlah lembaga sejarah yang merupakan mesin perusak Negara,
penghancur nilai Pancasila dan Agama, pemecah-belah persatuan dan
kesatuan bangsa.
Bahkan pembusuk nilai, peremuk logika, penyempit kemanusiaan, dan
pemutus tali-temali sosial dan rohani.
Di antara semua itu, ada dua
lembaga yang paling dahsyat daya perusakan dan penghancurannya.
Pertama, mereka yang dibiayai rakyat untuk memilih calon Pemimpin, sehingga rakyat sendiri tidak punya hak pilih otentik dan langsung. Kedua, mereka yang mencari laba dari mendustakan calon pemimpin: me-make-up wajah yang satu dan mencoreng-moreng lainnya. Tergantung yang mana yang memberi laba lebih banyak.
Aku menyetujui sejumlah muatan Demokrasi, meskipun banyak tidak setuju penempatan dan ilmu terapannya.
Demokrasi itu hasil pemikiran manusia, makhluk yang sama dengan aku.
Manusia itu lemah. Tidak mampu menciptakan dirinya sendiri. Apalagi
bikin ruh-nya serta alam semesta. Maka demokrasi pasti juga lebih lemah
dari manusia yang membikinnya.
Tidak berani sepenuhnya aku percaya dan bersandar kepada manusia,
apalagi kepada sekadar karyanya.
Sebagaimana aku tidak sepenuhnya bisa
bersandar pada diriku sendiri. Aku ini sehat, tapi tak bisa menjamin
akan tidak sakit. Kapan mati, itu juga bukan kedaulatanku.
Kalau sekadar Demokrasi, setiap manusia juga punya peluang, sumber
dan aset untuk menyusun bangunan konsep semacam Demokrasi. Sebab akan
ada hari di mana ummat manusia bosan, muak dan tak percaya lagi kepada
Demokrasi.
Air menjadi es adalah ide Tuhan. Pohon dan buah juga keputusan Tuhan. Tapi Es Buah adalah bikinan manusia.
Kiblat itu ketentuan Allah, tapi Ibrahim yang bangun Ka’bah. Aurat
itu pagar perintah Allah, tapi yang bikin pakaian adalah manusia.
Alam, bumi, gunung, gravitasi, daun, angin, manusia, daging, kelamin,
relativitas, pluralitas, tanah air, isi tambang, hutan rimba — itu
semua irodah wa syariah Allah.
Demokrasi, Negara, NKRI, Indonesia, PDIP, Gerindra, Pemilu, Pilpres,
Sunni, Syi’ah, NU, MUI, Muhammadiyah, Geng Motor, Klub Mancing — itu
karangan manusia.
Yang Syariah Allah, kupatuhi tanpa reserve.
Yang reka-reka manusia, asal tidak mengganggu hidupku dan lingkup Cinta Segitigaku: kuhamparkan tasammuh, toleransi, dan kebijaksanaan sebisa-bisa.
Yang historistik, faktual, ilmiah dan rasional untuk kuandalkan
adalah Allah dan ciptaan-Nya yang di luar kerjasama dengan makhluk-Nya.
Misalnya Agama, meskipun yang kupahami sebagai Agama tidaklah sama
dengan pemahaman yang sangat lucu pada hampir semua manusia, terutama
kaum intelektual abad 20-21, tentang Agama.
Contoh prinsipil: seluruh penduduk dunia, tak terkecuali Kaum Muslimin, memahami Agamamu Agamamu, Agamaku Agamaku atas panduan Allah Lakum dinukum waliyadin.
Itu bukti ketidaktepatan nilai sangat mendasar yang membuatku tidak
mau mengandalkan peradaban sampai abad 21 ini, tidak bersedia menjadi
bagian dari lingkup sejarahnya, kecuali untuk sejumlah hal teknis saja.
Sambil siap-siap evakuasi atas pecah belah sosial dan kemanusiaan yang dihasilkannya.
Tidak hanya hal agama, tapi juga banyak prinsip-prinsip lain dari
Peradaban Manusia dan Negara di bumi abad 14-21 ini yang aku tidak
sepandapat.
Resikonya, penghuninya tidak pernah benar-benar memahamiku. Dan aku legolilo legowo
tidak dipahami, tidak dianggap ada, tidak benar-benar dikenal, tidak
dicantumkan, tidak dicatat, tidak diakui, tidak diper-hitungkan, serta
tidak-tidak lainnya.
Juga toh kalau dipahami oleh ketidakpahaman, mudaratnya lebih banyak dibanding manfaatnya.
Untunglah yang ditagih oleh Allah di gerbang keabadian bukan
kehebatan di dunia. Melainkan kesungguhan komitmen kepada-Nya, percaya
penuh kepada tanggungjawab-Nya, cinta tulus kepada sesama, kasih sayang
kemanusiaan dan kesemestaan, kesetiaan tanpa reserve kepada skenario-Nya.
Karena Demokrasi mudah dimanipulasi, maka Pemimpin bisa diproduksi oleh rekayasa, pencitraan dan animasi.
Di dalam kenyataan kehidupan di mana kumpulan manusia akan hancur
kalau tidak menjaga orisinalitas, otentisitas, kejujuran dan kesejatian:
rekayasa adalah pemaksaan, pencitraan adalah pemalsuan, animasi adalah
kriminalitas.
Kalau yang kau miliki adalah Presiden Animasi, Capres Pencitraan dan
Cawapres Rekayasa–maka seluruh kompetisi yang kau perjuangkan adalah
persaingan dengan gol penghancuran. Semua perdebatan yang kau
pekik-pekikkan adalah debat kusir kehinaan.
Apa yang pernah kau perbuat untuk rakyat dalam hidupmu sehingga kini kau jadi Pemimpin tertinggi?
Pengabdian apa yang kau kerjakan untuk rakyat?
Pengorbanan seberapa yang kau persembahkan?
Pelayanan bagaimana yang kau setiakan?
Kasih sayang seluas apa dan pengayoman setinggi apa yang kau dekapkan?
Tanpa pamrih semenderita apa yang telah kau buktikan!
Berapa lama kau persembahkan itu? Berapa tahun? Berapa puluh tahun?
Mana fakta shidiqmu, mana bukti amanahmu, mana hamparan tablighmu, mana lubuk dan ufuk fathonahmu?
Negara dan rakyat macam apa yang mengangkatmu jadi Pemimpin?
Kau tak harus pandai, tapi jangan bawa bangsamu jadi mudah dibodohi oleh bangsa lain.
Kau tak harus hebat, tapi jangan bikin bangsamu lembek dan ditekan-tekan oleh bangsa lain.
Kau tak harus baik, tapi jangan sampai tak peka menyodorkan bangsamu dijahati oleh bangsa lain.
Kau tak harus jagoan, tapi jangan berlaku kerdil sehingga bangsamu dikadali dan dikibuli penjahat-penjahat asing.
Kau tak harus superstar, tapi jangan memelorotkan bangsamu sehingga berkelas bolo dhupakan dan figuran yang dibentak-bentak oleh bangsa lain.
Kau tak harus ganteng wajahmu, asal ganteng sepak terjangmu membela martabat, harta dan nyawa rakyatmu
Kau tak harus alim saleh, tapi jangan mau disuruh pura-pura alim dan berlagak saleh.
Jangan kau pikir zaman akan membiarkanmu terus memperdalam derita dan memperparah rasa malu rakyatmu.
Ada puluhan model atau marja’ dari berbagai lautan pengetahuan dan cakrawala ilmu untuk menyusun disain Negara yang pantas, mathuk dan utuh.
Misalnya kalau Negara itu rumahmu, di Indonesia selama ini anak-anaknya sangat penuh kesabaran, kejembaran hati, permakluman dan kearifan untuk momong Bapak Ibunya yang tidak jelas perannya.
Niat dan tujuannya tanpa perspektif dan pemahaman hulu-hilir yang
rasional. Sistem pengelolaannya serabutan. Organisasi fungsionalnya
kacau balau. Tidak ada pilah substansial antara Keluarga dan Rumah
Tangga.
Yang sangat lucu ada Bapak dan Wakil Bapak. Mungkin tugasnya menggilir Ibu.
Andaikan Indonesia mengerti konsep pemilahan antara Kepala Keluarga dan Kepala Rumah Tangga.
Kalau tanganmu membesar sampai sebesar pohon kelapa dan jari sebesar
mentimun raksasa–tapi tubuhmu kecil selazimnya tubuh manusia–maka kau bukan raksasa, tapi cacat dan menderita.
Ada manusia yang hebat intelektual, tapi dungu rohani. Ada sistem
yang jagoan dunia, tapi jahil akherat. Ada kumpulan yang dahsyat (dalam
persangkaan) akherat, tetapi lumpuh wala tansa nashibaka minaddunya.
Ada orang yang pandai menjadi menjadi orang pinter, tapi bodoh
menjadi orang baik. Ada lainnya unggul kreativitas, tapi mubadzir
manfaat.
Ada ratusan fakta kecacatan nasional dan universal. Sehingga kalau
mereka memproses calon Pemimpin, sesungguhnya itu hanya “dolanan
kanak-kanak”, atau bermain judi dengan uang-uangan.
Kalau desain zamanmu tak diserap oleh magi kreativitas, fenomenologi dan futurologi yang tanpa batas.
Kalau visi masa depanmu hanya sejumlah uang dan tingkat rendah kemanusiaan.
Kalau tahiyat shalatmu tidak menuding ke shirathal mustaqim, karena kalian memang adalah maghdlubin wa dlolin.
Maka hiduplah seperti aku, yang hidup tanpa kerjaan, glundhang-glundhung tidur makan melewati siang malam menunggu kematian. https://www.caknun.com/2019/pemimpin-41/
===================================
Akulah enthok enthing, ndas gedhe awak nglinthing.
Kepalaku terlalu besar dan bengkak. Badanku kurus kering.
Aku dihimpit di antara tanah Materialisme dan gunung Kapitalisme,
dikurung dalam jeruji Industrialisme, dicekoki makanan Hedonisme yang
memberati jiwaku.
Tumor ganas hampir sepanjang umurku.
Di luar sana berlangsung acara debat para calon Presiden, yang amat kukagumi keberaniannya yang luar biasa.
Aku ucapkan selamat kepada mereka semua. Berani berdiri tegak di maqam yang aku menyaksikannya saja ngeri.
Hatiku lemah, mentalku rapuh, takkan berani menapakkan kaki di jalanan yang longsor di esok hari.
Besar kepalaku, merasa hebat, pintar dan canggih. Di senja usia baru kutahu hiruk-pikukku itu sekunder bagi hakikat hidupku.
Di era 1970-an sudah disebut lembaga-lembaga Pendidikan
mentransformasi manusia jadi onderdil industri, masker, mur, baut, tang,
obeng atau catut.
Tapi malah bangga luar biasa.
Hari ini mur disebut kaum intelektual, dan baut dilabeli kaum profesional.
Lantas aku berkaca menatap wajahku sendiri: di peradaban remeh-temeh itupun aku gagal: intelektual tidak, profesional pun tidak. Jangankan Negarawan, yang bangsa ini sedang sangat membutuhkannya.
Apa gerangan jalan Nubuwwah? Ialah suatu perspektif kawruh yang paling disalah-pahami dan digagal-pahami oleh manusia Now, termasuk aku yang padahal merasa diriku adalah pengikut Nabi.
Aku tergolong di antara mereka yang merasa diri ini pejalan Nubuwwah tetapi kalau berucap, tampak bahwa aku merasa ucapanku adalah ucapan Tuhan.
Aku tak mampu memilah antara firman Allah dengan tafsir subjektif
diriku atas firman itu. Aku melanggar proporsi hirarki otoritas.
Aku tergolong Fir’aun kerdil yang menuhankan diriku atas orang lain.
Aku dipekerjakan di planet yang penghuninya adalah makhluk manusia.
Mereka memacu teknologi dan memperkembangkan jenis-jenis kebudayaan
yang membuat mereka semakin lama semakin cacat sebagai manusia.
Sekarang ini mereka bukan lagi manusia sebagaimana Tuhan dulu mengkonsepnya.
Mereka hampir sepenuhnya sudah berubah menjadi makhluk-makhluk
berhala yang pekerjaan utamanya adalah memberhalakan segala yang kasat
mata yang mereka terpesona.
Keadaan itu memaksaku untuk selalu menyamar dengan berbagai wujud dan rupa.
Semakin banyak manusia yang berperilaku sebagai kutu atau jenis
serangga lain yang menggantungkan hidupnya kepada berhala. Tentu saja
tanpa mereka mengerti bahwa itu berhala.
Ada yang mencari nafkah di kulit tubuh berhala.
Ada yang menggantungkan penghidupannya di kaki dan tangan berhala.
Ada yang melampiaskan keserakahannya di bawah rambut kepala berhala.
Bahkan ada yang rela mengais-ngais nasib dengan menjilat-jilat kulit rambut kelamin berhala.
Berhala adalah tuhan gantungan hidup mereka. Mereka membela berhala
sandaran hidupnya. Bertaruh mati, karena berhala itulah tuhannya.
Khilafah artinya setiap manusia adalah pemimpin, seluruh rakyat adalah pemegang utama kedaulatan bernegara.
Titik berat Khilafah adalah Ra’iyah alias kedaulatan rakyat. Demokrasi sejati.
Kemudian Khilafah dikudeta oleh Mulkiyah. Kedaulatan rakyat diambil alih oleh kedaulatan Raja, Khalifah dan akhirnya Presiden.
Dengan konsentrasi tema
kekuasaan monolitik yang berbeda, Khilafah direbut oleh Imamah.
Indonesia adalah aliran sejarah paling tidak berwajah. Prinsip kedaulatan publiknya diubah-ubah oleh perebutan kepentingan.
Semua prinsip itu diambil hanya sebagai kata.
Diterima atau ditolak, dasarnya adalah kepentingan golongan yang menang atau yang sedang berjuang untuk menang.
Semua itu bersaudara, sedikit beda level dan wilayah kambuhnya: Pandir, pengung, pekok, druhun, menyun, dungu, pahpoh.
Dengan berbagai urusannya, konteks dan wilayahnya, di Negeriku, semua itu adalah Jahiliyah tak kuizinkan membuatku putus asa dan menderita.
Semua yang kusaksikan di layar Republik Kepongahan itu sangat menghibur hatiku.
Jangankan rakyat, tanah air, aset kekayaan, Républik dan Negara,
Tuhan dan Pancasila. Bahkan semakin tak ada sekadar satu kata yang
diurus dengan sungguh-sungguh.
Apa saja diolah dengan tangan nafsu dan kepentingan. Itupun nafsu yang terendah dan kepentingan paling hina.
Tak masalah Raja atau Patihnya berumur 100 tahun atau 10 tahun. Asal jelas ratio dan hujjah-nya, asal tepat illah, maqamat dan patrap-nya. Asal terdapat ketepatan dengan keseluruhan anasir lainnya.
Tetapi kalau dipilih karena punya uang dan membiayai, atau lainnya
dipilih karena diasumsikan punya massa, sehingga memungkinkan kemenangan
— maka pasti aturan dan sistemnya ngawur, dibikin oleh golongan
pengabdi nafsu kekuasaan.
Dan rakyatnya?
Mungkin arif bijaksana.
Mungkin tangguh, tak cedera oleh kebohongan dan pembodohan.
Mungkin mengalah : meng-Allah.
Kalau memproses pemilihan pemimpin mesinnya adalah untung rugi materiil-pragmatis dan goal-nya adalah kalah menang kekuasaan, maka berarti yang dipemilukan bukan Pemimpin, melainkan Penguasa.
Kendali sejarah ada di tangan Konglomerat Ekonomi yang nikah dengan Konglomerat Politik.
Yang berlaku dalam proses pemilihan adalah hukum pasar.
Maka yang disebut Negara menjadi batal. Yang namanya Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan Nasionalisme, itu mubadzir.
Rakyat silakan memenuhi etika untuk datang ke lokasi pemilihan,
tetapi di dalam bilik coblosan: mereka toh berdaulat dan
terjamin rahasianya.
Katanya anak-anak disekolahkan agar mencapai persyaratan menjadi
manusia modern. Punya bidang keahlian, agar profesional, syukur ekspert.
Maka rakyat jelas menentukan siapa wakilnya di bidang apa. Siapa pejuang dan pembelanya, sesuai dengan bidang keahliannya.
Tiba-tiba datang ribuan orang entah siapa, minta dipilih menjadi
wakil rakyat. Orang dari A boleh mewakili rakyat B. Orang tidak jelas
keahliannya dimandati untuk memperjuangkan A sd Z.
Kalau bukan sakit jiwa, ya sakit mental. Kalau bukan sakit mental, ya sakit akal.
Kalau manusia sakit akal pikiran, mending tanaman dan hewan yang tumbuh indah oleh remote Allah dan para pegawai-Nya.
Sejarah bangsa Indonesia memiliki prinsip, filosofi dan tradisi
Demokrasinya sendiri, dengan rasionalitas dan komprehensinya sendiri.
Begitu Indonesia merdeka, bangsa ini merasa sedang berhijrah dari era primitif ke sejarah modern.
Bangsa Indonesia seperti kumpulan manusia dari masa silam yang tidak punya bekal untuk hidup ke masa depan.
Mereka terpesona sampai mabuk hal-hal yang dari luar diri mereka,
yang mereka sangka itu adalah kemajuan, kebenaran dan kemegahan.
Bangsa Indonesia seakan-akan tidak percaya bahwa matahari terbit dari
Timur. Maka sepenuh-penuhnya NKRI diterbitkan dari dan berdasarkan
Barat.
Sehingga dalam segala hal bangsa ini mengadopsi nilai-nilai lain dengan mengubur sejarah nilainya sendiri.
NKRI seperti bayi telanjang bulat, mengenakan pakaian yang bukan
milik alamnya, diajari berjalan, menata cara hidup bernegara dan
bermasyarakat oleh yang bukan dirinya.
Bangsa Indonesia kehilangan obor sejarah. Minder, inferior dan membungkuk-bungkuk kepada yang di luar dirinya.
Dan aku adalah anak didik sejarah semacam itu. Maka pendidikanku kepada anak cucuku berbeda sama sekali.
Atas seluruh riuh rendah saling lempar kebencian dan caci-maki selama
menjelang Pilpres 2019, termasuk, bahkan terutama kalangan intelektual,
aktivis, civitas akademika Universitas dan dunia persekolahan pada
umumnya — ada yang bertanya: “Apakah itu contoh dari kritik Allah kepada
manusia: Afala ta’qilun? Afala tatafakkarun?”
Dan ada yang menjawab: “Mustahil manusia tidak berpikir. Tidak mungkin manusia hidup tanpa menggunakan akal atau nalar alias nadlar.”
Yang mungkin adalah mereka tidak dididik atau dilatih menggunakan akal pikiran. Tidak ada lembaga pendidikan untuk itu.
Andaikan ada orang yang menyatakan “Demokrasi yang sedang kita
laksanakan ini adalah Demokrasi level terbawah. Demokrasi IQ di bawah
80. Yang para pelakunya tidak punya kemampuan untuk melihat kompleksitas
manusia, masyarakat dan bangsa dalam ber-Negara”
“Batas penglihatannya hanya Jokowi atau Prabowo, selangkah ke depan,
segaris kecil dan sedangkal parit, perspektifnya hanya setempurung…” dan
seterusnya.
Kita akan menyebut itu ujaran kebencian. Karena di level itu orang belum bisa melihat kebenaran.
Menjadi Presiden Indonesia tidak harus punya pengetahuan tentang arus raksasa apa yang sedang bergerak mencengkeram dunia.
Tidak harus tahu apa yang akan dialami oleh Tanah Air dan Negara
Indonesia beberapa puluh tahun lagi. Bahkan tidak harus punya jurus
nasional ke masa depan yang jauh.
Tidak wajib mampu mempersiapkan rakyatnya untuk mengantisipasi atau
melawan raksasa yang merambah dan melata ke segala arah di muka bumi.
Cukup dengan membuat separo lebih sedikit rakyatnya kagum, bisa menjadi Presiden Indonesia.
Menjadi Presiden Indonesia tidak ada kaitannya dengan kepribadian,
sejarah integritas pribadi, ilmu dan pengetahuan yang memadai, energi
dan aura kepemimpinan.
Menjadi Presiden Indonesia cukup dengan membangun sejumlah fasilitas yang menakjubkan dipandang mata.
Tidak penting caranya merugikan Negara atau tidak. Tidak penting
hitungan manfaatnya untuk mayoritas atau kelas tertentu saja. Juga tidak
penting hasil keuangannya memuara ke siapa.
Menjadi Presiden Indonesia tidak harus sanggup memahami level-level
komplikasi global dan nasional, yang mengisi lembaran-lembaran sejarah
ummat manusia hari ini dan di masa depan.
Juga tidak harus mengerti kompleksitas masalah dan tantangan bangsanya, warganya, rakyatnya.
Juga tidak harus punya kesanggupan untuk mengelola dan menaklukkannya.
Bahkan Presiden Indonesia tidak harus mampu memetakan hirarki-hirarki komplikasi di dalam dirinya sendiri.
Yang utama adalah menempuh strategi untuk membuat rakyat mabuk dan kehilangan akal sehat.
Aku menantikan para Sarjana Utama atau kaum Ilmuwan siapapun untuk
serius melakukan penelitian atas semua dan masing-masing Presiden
Indonesia sejak bangsa ini mendirikan Negara.
Meneliti objektif, jujur, apa adanya, tanpa kepentingan apapun kecuali pencarian kebenaran sejarah yang sejernih-jernihnya.
Seluruh aspeknya, sejarah kepemimpinannya, keluarganya, pribadinya
dan apapun saja serta yang terkait dengan segala sesuatu yang diperlukan
oleh keselamatan bangsa Indonesia.
Nanti ketika dibukukan, boleh diedit, dipilah mana yang perlu
dituturkan dan mana yang tak perlu diketahui oleh publik. Misalnya
dengan konsep filosofi dan budaya ”mikul dhuwur mendhem jero”.
Supaya bangsa ini bukan hanya bisa memulai kembali belajar memilih
pemimpin Nasional. Tapi juga belajar memerdekakan diri dari klenik,
mitologi, dan cinta babi buta, yang semakin tidak belajar semakin akan
membunuh bangsa ke depan.
Kaum elite Pemerintahaan sudah membuktikan berulang kali bahwa NKRI tidak harga mati.
Harganya tidak mati. Tidak mandek. Bisa diubah kapan saja. Bahkan
bisa dibatalkan, diganti, dianggap tidak ada serta bentuk harga tidak
mati lainnya.
Yang harga mati hanya yang tidak mungkin diubah. Semua yang lain bisa diubah, asal menguntungkan pihak yang mengubah.
Undang-undang Dasar Negara pun sudah diubah-ubah, tidak harga mati.
Bahkan secara substansial keputusan-keputusan Presiden, Menteri dan
Lembaga Pemerintahan apapun bisa mengubah hakikat Undang-undang melalui
penafsiran yang berdasarkan kepentingan pragmatis.
Semua yang dibikin manusia memang tidak mungkin harga mati. Jadi diniati saja siap-siap mengubah apa saja, kecuali sunnatullah, irodatullah dan amrullah asalkan jernih untuk kepentingan masa depan bangsa.
Misalnya, baca dan nilai ulang teks Proklamasi, Pancasila dan UUD-45. Kalau memang mencelakakan anak cucu, ubahlah.
Sebagaimana ketika mengawali proses agar Pak Harto lengser, aku
umumkan kita perlu Dewan Negara, untuk membenahi setiap Pemerintahan.
Aku berharap, bekerja dan berdoa keliling untuk memproses agar setiap
rakyat Indonesia jangan hancur hatinya oleh keadaan Negara dan perilaku
setiap Pemerintahan.
Jangan rusak keluarganya, jangan lenyap kebahagiaannya, jangan ambruk
keutuhan dan keseimbangan masyarakatnya, oleh keadaan zaman yang
bagaimanapun.
Tidak ada peradaban dan kekuasaan yang tidak berakhir. Fir’aun Mesir
kuno, kekuasaan ‘Ad. Roma yang besar. Mongolia. Ottoman. Sriwijaya,
Majapahit, atau apapun dan siapapun dalam sejarah.
Yang tidak boleh berakhir adalah kemesraanmu bersama keluarga dengan
Allah. Yang jangan sampai hancur adalah kebahagiaan hidupmu, dalam
keadaan Negara dan dunia yang bagaimanapun susahnya.
Kehidupan di dunia sama sekali bukan masalah. Perjanjikan dan akad nikah lagi dengan Allah: ”In lam takun ‘alayya Ghodlobun, fala ubali”.