Tampilkan postingan dengan label =Daur I Anak Asuh Bernama Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label =Daur I Anak Asuh Bernama Indonesia. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Agustus 2018

Struktur Kehinaan Daur I No.30

  

Struktur Kehinaan  (Daur I -30)

 •   •  Dibaca normal 1 menit

“Jadi di neraka ada anjing to?”, Jitul bertanya sambil tertawa.

“Itu pertanyaan materialistik”, kata Junit, “saya kira Mbah Markesot sekedar menggambar semacam peta dan struktur kehinaan di neraka. Tidak ada manfaatnya kita mencari kebenaran obyektif tentang isi neraka dan bagaimana mekanismenya. Semua penjelasan Allah di firman-firmanNya tentang neraka juga hanya kunci penggambaran atau pintu imajinasi. Andaikan ada banyak penggambaran yang lain tentang neraka dan surga, tidak perlu dijadikan madzhab”

“Mbah Sot kalian juga menyebut Waqudunnar dan Asadunnar”, Brakodin memotong, “kayu bakar dan macan neraka. Jangan pula naif bertanya apa ada macan di neraka. Mbah Sot hanya coba menggambar dengan batas literasi ilmu manusia, betapa dahsyatnya kerjasama antara ketiganya itu menciptakan fitnah-fitnah besar di dunia, membangun kehancuran dengan kejahatan dan kebodohan.…”
Diam-diam Junit mencorat-coret: [1] (Ali ‘Imron: 10), [3] (Al-Jinn: 15), [3] (Al-Baqarah: 24),  dan [4] (At-Tahrim: 6).

“Kalau Asadunnar, penjelasannya gimana Pakde?”, Seger bertanya.

“Mbah Sot membayangkan ada penghuni neraka yang gagah seperti macan dan derajatnya mungkin tinggi dibanding penghuni lainnya”, jawab Brakodin, “yakni manusia yang kufur kepada Allah dengan terang-terangan, tidak menutup-nutupinya, tidak bersikap munafik, pura-pura Muslim padahal tujuannya adalah kepentingan dunia, sebagaimana yang tergambar dari kategori Kilabunnar. Fitnah-fitnah kekuasaan dunia disebar oleh Asadunnar, dimakan dengan lahap oleh kebodohan Waqudunnar, dan dijilat-jilat secara sangat menjijikkan oleh tidak sedikit Kaum Muslimin sendiri yang sebenarnya adalah Kilabunnar”.

[1]
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَن تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُم مِّنَ اللَّهِ شَيْئًا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ وَقُودُ النَّارِ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka.
[2]
وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا
Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam.
[3]
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا وَلَن تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) -- dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.
[4]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.


https://www.caknun.com/2017/struktur-kehinaan/


Kilabunnar Daur I No.29

 

Kilabunnar   (Daur I-29)

 •   •  Dibaca normal 1 menit

Pakde Brakodin menambahkan bahwa terakhir kemarin Markesot mengeluh tentang Kilabunnar.
Kilabunnar adalah manusia yang rajin beribadah dengan tujuan agar lebih banyak memperoleh keuntungan dunia. Manusia yang tekun shalat, hobi Umroh, naik Haji berkali-kali, juga sangat memperhatikan kemudian melakukan shalat-shalat sunnah, yang menurut kabar memperbanyak rejeki dunia, atau melipatgandakan keuntungan materiil.

Kilabunnar adalah manusia yang tidak keberatan bekerjasama dengan Setan, Iblis, Jin, para pengingkar (Kafir) Allah, asalkan mendapatkan jaminan kemakmuran dunia. Bahkan rela menjadi bawahan atau anak buah para pemimpin yang mengkufuri atau memusyriki Allah, asalkan dengan itu ia memperoleh kekayaan dan kenikmatan dunia.

Kilabunnar adalah manusia yang menganggap dunia adalah segala-galanya. Yang berpendapat bahwa keberhasilan hidup di dunia dan untuk dunia adalah tujuan satu-satunya. Yang meyakini bahwa kemajuan, sukses, kejayaan, keberuntungan, dan kebesaran adalah duduk di singgasana kekayaan, kemasyhuran, dan kekuasaan dunia.

Kilabunnar, anjing-anjing neraka, adalah orang yang bodoh dunia dan dungu akhirat. ”Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka berfikir”. [1]


[1]
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ ۚ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا ۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.



https://www.caknun.com/2017/kilabunnar/
 

Gelap Gulita Markesot Daur I No.28


Gelap Gulita Markesot (Daur I-28)

 •   •  Dibaca normal 1 menit

Pakde Sundusin menyela dengan menjelaskan kenapa Mbah Sot selama ini banyak menghilang. Karena sejak puluhan tahun silam dia selalu mengalami kerepotan oleh anggapan banyak orang bahwa “Markesot adalah teman semua orang”, “Markesot adalah milik semua golongan”. Padahal dia tahu peta keadaan sosial masyarakat dan Negara tidak datar dan sederhana seperti itu.

Markesot tidak berani menerjang pagar Tuhan: “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. [1] (Al-Mumtahanah: 9).

Dan tahun-tahun terakhir ini komplikasi keadaan itu semakin memuncak: “Dan sesungguhnya benar-benar mereka hampir membuatmu gelisah di Negerimu untuk mengusirmu daripadanya, dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak tinggal, melainkan sebentar saja. [2] (Al-Isra`: 76).

Markesot tidak terlalu mengkhawatirkan keterancaman massal yang dirasakan oleh penduduk Negerinya. Tetapi ia sangat sukar meletakkan dirinya. Maka sejak dahulu ia punya kecenderungan untuk menggelapkan siapa dirinya. Ia tenggelamkan semua perannya di lubuk kegelapan. Siapa ia, apa identitasnya, seberapa ragam dan luas dan mendalam peran-perannya, ia pelihara di keremangan.
Bahkan kehidupan pribadi dan keluarga Markesot sangat gelap gulita. Kebahagiaan dan kesengsaraan hidupnya pun tersembunyi di balik dinding kegelapan. Markesot selalu hanya sosok yang remang-remang.

[1]
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.


[2]
وَإِن كَادُوا لَيَسْتَفِزُّونَكَ مِنَ الْأَرْضِ لِيُخْرِجُوكَ مِنْهَا ۖ وَإِذًا لَّا يَلْبَثُونَ خِلَافَكَ إِلَّا قَلِيلًا
Dan sesungguhnya benar-benar mereka hampir membuatmu gelisah di negeri (Mekah) untuk mengusirmu daripadanya dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak tinggal, melainkan sebentar saja.



Interupsi Markesot Daur I No.27

Interupsi Markesot  (Daur I - No. 27)

 •   •  Dibaca normal 4 menit

Masih tersisa empat belas tulisan lagi untuk dibacakan. Tapi rupanya Markesot sudah tidak bisa menahan diri melihat perkembangan situasi di ruangan itu bersama empat puluh orang teman-temannya.
Mendadak ia berdiri.

Markesot melepas ikat pinggangnya, yang ternyata adalah cambuk. Berjalan keliling ruang, terkadang melompat ke berbagai arah. Tertawa. Panjang. Sesekali sampai terguncang-guncang.

Kemudian terdengar suara ledakan-ledakan, memecah kesunyian di ruangan itu. Markesot meletus-letuskan dan meledak-ledakkan cambuknya.

Seperti pesta mercon. Atau deretan bunyi semacam tembakan-tembakan senjata api. Ada yang seperti suara mercon banting, tiba-tiba di sela-selanya ada ledakan agak besar. Semua bercampur aduk dengan suara tertawa Markesot.

Suara tertawa Markesot terkadang menggelikan, di saat lain mengerikan. Seperti tertawa orang yang sedang menjumpai sesuatu yang sangat lucu, tapi kemudian tiba-tiba suara tertawa itu berubah aneh, seakan berasal dari dunia yang lain yang asing sama sekali bagi yang mendengarnya.
Tertawa Markesot berganti-ganti mengungkapkan rasa lucu, kegembiraan, kesedihan, putus asa, atau campur aduk antara berbagai macam situasi jiwanya.
***
Tentu saja empat puluh orang yang berada di dalam ruangan itu kalang kabut.

Tujuh orang di antara mereka, dikagetkan oleh letusan dan ledakan bertubi-tubi itu ketika sedang duduk tertib dan khusyu’. Tetapi kekagetan itu tidak membuat mereka beranjak. Mereka hanya menggerakkan kedua tangannya untuk menutupi kedua telinganya, sambil memejamkan mata dan menundukkan kepala.

Masalahnya, tiga puluh tiga orang yang lain sedang tidur pulas ketika ledakan itu memecah kesunyian di ruangan itu. Reaksi mereka bermacam-macam ketika mendadak mereka dibangunkan oleh festival letusan dan hantaman ledakan itu.

Ada yang langsung terduduk, wajahnya kebingungan, matanya kosong menoleh ke kiri dan kanan. Ada yang dari posisi berbaringnya langsung berdiri dan memasang kuda-kuda silat seakan-akan sedang diserbu mendadak oleh Pendekar Kedung Prewangan, bertiga dengan Kiai Singorodra dan Mbah Kalibuntu.

Bahkan ada yang dari keadaan tidur, dalam hitungan sekon langsung melompat keluar ruangan dengan tangannya memutar-mutar kalung rantai besi yang diambil dari lingkaran pinggang di balik bajunya.
Sebagian dari mereka ada yang kaget oleh ledakan-ledakan, duduk dengan mata masih tertutup, sesaat kemudian tidur berbaring lagi. Yang lebih hebat lagi, beberapa orang hanya membuka matanya sejenak dengan sedikit menggerakkan kepala, kemudian tidur lagi.

Dan yang paling hebat dari empat puluh orang itu adalah mayoritas di antara mereka yang sama sekali tidak terusik oleh mercon atau tembakan, letusan atau ledakan, sekali atau berkali-kali. Mereka sangat tenang. Nyenyak tidurnya tak terusik. Telinganya kebal, gendangnya dilapisi oleh semacam plastik tebal hasil teknologi modern.
***
Padahal cukup lama bunyi tembakan dan mercon itu terdengar menyiksa ruangan. Bahkan ada saat-saat ledakan cambuk Markesot itu menggelegar seperti datang dari langit. Lebih dekat dibanding suara letusan gunung yang justru terdengar agak sayup dari kejauhan.

Terasa sekali ada ledakan yang sejatinya bukan suara ujung cambuk yang dihentakkan oleh tangan yang kokoh perkasa, melainkan ledakan kawah amarah jauh dari kedalaman jiwa Markesot. Seluruh jagat raya termuat di dalam ruh manusia. Ledakan yang khusus itu seakan-akan adalah gabungan antara kemarahan dari pusat Bumi dan halilintar sambutan persetujuan dari langit.

Ledakan pada tingkat itu mestinya terdengar dari luar ruangan rumah perkumpulan empat puluh orang itu. Tapi mungkin juga tidak sama sekali.

Itu bergantung pada sikap udara di dalam ruangan itu serta di luar rumah. Kalau udara berkemauan untuk menghantarkan suara itu, maka yang di sekitar ruang itu akan mendengarnya. Tapi kalau udara terikat oleh keputusan untuk tidak menghantarkannya ke luar rumah, dan cukup mengedarkan suara itu di dalam ruangan rumah saja, maka demikianlah yang terjadi.

Sikap dan keputusan si Udara itu untuk menghantarkan suara atau tidak di sebuah skala ruang, bergantung pada perjanjian yang dilakukannya dengan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan suara itu. Bergantung pada perjanjian, atau pada kepatuhan udara kepada ini atau itu.

Termasuk jika udara mengambil keputusan sendiri berdasarkan kedaulatannya sendiri. Letusan-letusan, ledakan-ledakan dan suara tertawa Markesot sedang menggaduhi ruangan, belum ada waktu untuk mendiskusikan tema di sekitar keputusan si Udara. Termasuk dengan siapa dan apa saja ia berkonstelasi, menyelenggarakan perundingan dan mengambil keputusan. Atau siapa yang dipatuhi oleh Udara.
***
Kegaduhan itu kemudian berakhir pada satu bunyi ledakan sangat keras, menggelegar disertai gemerincing.

Sesudah ledakan terakhir yang bergemerincing itu, Markesot berdiri di salah satu pojok ruang, bertolak pinggang. Wajahnya meringis. Kemudian tertawa lagi tapi tidak sungguh-sungguh, suara tertawa yang tidak berasal dari unit mesin yang memproduksi tertawa dari dalam diri Markesot.

Tapi akhirnya tertawa Markesot itu terputus mendadak. Markesot berwajah sangat serius. Matanya menatap ke depan. Berkeliling sorot mata itu menimpa satu per satu wajah demi wajah di ruangan itu, kemudian berhenti dan macet di tubuh-tubuh bergeletakan yang tidur sangat pulas. Dan itu adalah mayoritas di antara empat puluh sahabat-sahabat Markesot.
***
Mereka orang-orang yang sangat bahagia hidupnya. Istiqamah dalam ketenteraman. Jantungnya terus menjalankan irama secara stabil, tidak terganggu oleh peristiwa apapun di sekitar mereka.

Ritme ngorok mereka sangat mandiri. Nafas seratus persen teratur keluar masuknya. Hati mereka tenang bagai ruang hampa. Pikiran mereka tak bergeming oleh apapun saja. Secara keseluruhan jiwa mereka bagaikan pertapa. Duduk di tikar ketenteraman, mentalnya tegak teguh bagaikan pilar-pilar baja raksasa.

Andaikan ada gempa besar, didahului oleh letusan amarah gunung, kemudian banjir lahar dingin bercampur asap amat panas dari neraka yang dibocorkan ke permukaan bumi, mereka tidak berubah sedikit pun dari ketenteramannya.

Mungkin mayoritas inilah yang dimaksudkan oleh Tuhan tatkala memanggil hamba-hambaNya: “Wahai jiwa yang tenteram, kembalilah kepada Pengasuhmu dalam keadaan meridloi dan diridloi. Ayo kalian berhimpunlah ke dalam golongan-Ku dan masuklah ke dalam sorga-Ku”.
***
Sambil menatap wajah-wajah mereka dan merenungi kedalaman suasana yang beberapa jam ini tadi berlangsung, Markesot mengeluh kepada dirinya sendiri:

“Ternyata begini ini dunia. Tidak sejauh ini aku menyangka tentang remehnya manusia. Dan kehidupan yang Tuhan kehendaki ini ternyata jauh lebih bersahaja. Sampai setua ini tetap saja aku salah kuda-kuda….”

Sesungguhnya yang terjadi bukanlah Markesot menginterupsi pembacaan tulisan-tulisan dan suasana di ruangan itu, tetapi aslinya Markesot sedang menginterupsi proses pemikiran dan penghayatan hidup di dalam dirinya sendiri.

Di Tengah Hutan Belantara Indonesia dan Dunia Emha Ainun Nadjib ( Daur I - No. 26)

Di Tengah Hutan Belantara Indonesia dan Dunia   (Daur  I - 26)

 •   •  Dibaca normal 3 menit

Buat anak cucuku dan para jm yang kita sama-sama belum tahu, kita ditertawakan kalau ada orang di luar rumah kita yang mendengar dialog-dialog bodoh dan konyol kita. Maka belajarlah menyimpan. Ada sesuatu yang sebaiknya kita sosialisasikan, ada sesuatu yang lain, termasuk omong-omong kita ini, yang lebih afdhal kalau berlangsung di antara kita saja.

Indonesia sudah fix segala sesuatunya. Dunia ini seluruhnya sudah hampir tidak ada persoalan. Hanya kita saja yang masih perlu belajar hal-hal tertentu dan mempelajari hal-hal lain. Anak cucuku dan para jm tahu bahwa di dunia di luar rumah kita seringkali ada tulisan yang “oleh” (nama) ku tapi bukan aku yang menulis. Ada tulisan “ku” 20-30 tahun yang lalu tapi disebar seolah aku menulis kemarin sore. Ada banyak akun-akun “ku” yang bukan aku.

Ada banyak video hasil editan orang-orang yang berniat baik yang aku dipertengkarkan dengan ini itu, diadu-domba soal macam-macam yang aku tak pernah memaksudkannya untuk beradu dengan siapapun. Semua yang kuomongkan adalah untuk anak cucu dan para jm, dengan bahasa dan konteks untuk anak cucu dan para jm, dengan nuansa, dimensi, urgensi dan tajaman-tajaman untuk anak cucuku dan para jm.

Tetapi salah secara pemikiran, rendah secara rohani dan remeh secara mental, kalau dari kedhaliman kepada kita itu hasilnya pada diri kita adalah kemarahan, dendam, niat pembalasan, atau apapun yang mencerminkan kelemahan dan ketidakmatangan diri. Lebih hina lagi dan salah kelola kalau karena hantaman-hantaman dan penganiayaan kepada kita lantas mengurangi kadar kasih sayang kita semua kepada ummat manusia. Terutama kepada mereka yang melalimi kita.

Dunia ini kita serap ilmu, hikmah dan makrifatnya, tetapi kita tidak mempersoalkan dunia dan tidak punya soal dengan dunia. Apalagi Indonesia, yang tidak kenal kita, yang tidak tahu ada kita, dan anak cucuku hendaknya jangan kasih tahu bahwa ada kita. Bukan karena kita menolak silaturahmi, tetapi karena kita tidak mampu berbuat apa-apa kepada dan untuk Indonesia.

Kita hidup tidak di arena peradaban manusia. Kita berada di tengah hutan belantara. Di mana setiap orang bisa melakukan apa saja tanpa tanggung jawab. Di mana siapa-siapa yang harus bertanggung jawab, bukan bertanggung jawab atas dasar keharusan hidup untuk bertanggung jawab, melainkan dipilih berdasarkan kepentingan pihak yang menuntut tanggung jawab.

Kita beralamat di tengah hutan rimba di mana setiap makhluk boleh berteriak, menuding, memaki dan memfitnah, tanpa terbentur oleh tembok tanggung jawab. Hutan belantara tidak memerlukan tembok. Siapapun bisa melakukan kecurangan, kekufuran, kedhaliman dan penggelapan, tanpa kawatir akan mendapatkan akibat apa-apa. Sebab hutan belantara tak ada batas nilainya, tidak ada perjanjian antar makhluk-makhluknya, tak ada tata ruang dengan aturan-aturannya. Hukum bisa ditegakkan untuk mencelakakan. Negara bisa dibangun untuk menyamarkan perampokan. Bahkan agama bisa dikerudungkan sebagai pakaian untuk pencurian dan penipuan.
***

Aku beserta anak cucuku dan para jm ini hina papa, tidak memiliki apapun yang bisa kita berikan kepada Indonesia dan dunia. Karena Indonesia dan dunia semakin berkembang menjadi hutan belantara.
Bahkan kita mengaku saja bahwa karena kebelantaraan habitat yang mengurung kita, maka kepada diri kita sendiripun kita tidak punya apa-apa untuk kita berikan. Kita hanya penyadong kedermawanan Tuhan. Kita pengemis berderajat sangat rendah di depan pintu gerbang Istana Tuhan. Itu pun permohonan kita belum tentu dikabulkan, karena belum cukup persyaratan hidup kita untuk berhak mendapatkan kemurahan dari Tuhan.

Dari detik ke detik siang malam sepanjang tahun sejauh-jauh jatah waktu, kehidupan kita tergantung absolut pada kasih sayang Tuhan. Jika ada sedikit kelebihan berkah-Nya kita akan cipratkan kepada Indonesia dan sedekahkan kepada dunia, untuk lega-lega dan GR perasaan kita sendiri, sebab Indonesia dan dunia tidak kurang suatu apa, sehingga tidak memerlukan apapun dariku beserta anak cucuku dan para jm.

Maka jangan sampai aku beserta anak cucuku dan para jm menjadi masalah bagi hutan belantara. Dan kita berjuang tanpa henti agar hutan belantara pun tidak menjadi masalah bagi kita. Kegelapan hutan tidak membuatmu kehilangan arah, karena engkau belajar memancarkan cahaya dari dirimu. Keliaran belantara tidak membuatmu takut dan keder, karena keberanian tidak terletak di hutan melainkan di dalam susunan saraf rohanimu sendiri.

Ketidakberaturan rimba tidak membebanimu, karena kalau engkau menemukan, menyadari dan memuaikan kebesaran dirimu, maka hutan belantara engkau genggam di tanganmu, engkau olah di mesin pikiranmu, dan engkau jinakkan di semesta rohanimu.
Tetapi jangan lupa, engkau hanya menempuh batas untuk mengatasi dirimu sendiri di tengah hutan belantara. Tetapi itu tidak pasti berarti engkau sanggup mengatasi hutan belantara itu pada skala hutan dan kebelantaraannya.

Jangankan hutan belantara. Bahkan pun bagi Indonesia dan dunia: sudah jelas kita tidak punya ilmu, daya dan kuasa untuk bisa mengatasi masalah-masalahnya. Maka sekurang-kurangnya kita jaga diri agar jangan pernah menjadi masalah bagi Indonesia dan dunia. Kita sudah sangat bersyukur bahwa Tuhan menciptakan kita, meletakkannya di tanah Indonesia, di permukaan bumi dan di pinggiran dunia.
Jangankan menjadi masalah, meminta apapun jangan. Kalau diberi, kita pertimbangkan sepuluh kali putaran. Kalau ada hak-hakku beserta anak cucuku dan para jm, kita lihat kemashlahatan dan keutamaannya untuk kita ambil atau tidak. Sekedar menerima hak-hak yang disampaikan pun jangan lakukan tanpa perhitungan kasih sayang. Apalagi sampai menagih hak, mengejar hak, meneriakkan hak, mendemonstrasikan hak, mengibar-ngibarkan hak: mari anak cucuku dan para jm berlindung kepada Tuhan dari kerendahan dan kefakiran mental semacam itu.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
28 Februari 2016

https://www.caknun.com/2016/di-tengah-hutan-belantara-indonesia-dan-dunia/


Minggu, 29 Juli 2018

Interupsi Markesot

 
Interupsi Markesot ( Daur I - 27)

Interupsi Markesot ( Daur I - 27)

Masih tersisa empat belas tulisan lagi untuk dibacakan. Tapi rupanya Markesot sudah tidak bisa menahan diri melihat perkembangan situasi di ruangan itu bersama empat puluh orang teman-temannya.
Mendadak ia berdiri.

Markesot melepas ikat pinggangnya, yang ternyata adalah cambuk. Berjalan keliling ruang, terkadang melompat ke berbagai arah. Tertawa. Panjang. Sesekali sampai terguncang-guncang.
Kemudian terdengar suara ledakan-ledakan, memecah kesunyian di ruangan itu. Markesot meletus-letuskan dan meledak-ledakkan cambuknya.

Seperti pesta mercon. Atau deretan bunyi semacam tembakan-tembakan senjata api. Ada yang seperti suara mercon banting, tiba-tiba di sela-selanya ada ledakan agak besar. Semua bercampur aduk dengan suara tertawa Markesot.

Suara tertawa Markesot terkadang menggelikan, di saat lain mengerikan. Seperti tertawa orang yang sedang menjumpai sesuatu yang sangat lucu, tapi kemudian tiba-tiba suara tertawa itu berubah aneh, seakan berasal dari dunia yang lain yang asing sama sekali bagi yang mendengarnya.
Tertawa Markesot berganti-ganti mengungkapkan rasa lucu, kegembiraan, kesedihan, putus asa, atau campur aduk antara berbagai macam situasi jiwanya.
***
Tentu saja empat puluh orang yang berada di dalam ruangan itu kalang kabut.

Tujuh orang di antara mereka, dikagetkan oleh letusan dan ledakan bertubi-tubi itu ketika sedang duduk tertib dan khusyu’. Tetapi kekagetan itu tidak membuat mereka beranjak. Mereka hanya menggerakkan kedua tangannya untuk menutupi kedua telinganya, sambil memejamkan mata dan menundukkan kepala.

Masalahnya, tiga puluh tiga orang yang lain sedang tidur pulas ketika ledakan itu memecah kesunyian di ruangan itu. Reaksi mereka bermacam-macam ketika mendadak mereka dibangunkan oleh festival letusan dan hantaman ledakan itu.

Ada yang langsung terduduk, wajahnya kebingungan, matanya kosong menoleh ke kiri dan kanan. Ada yang dari posisi berbaringnya langsung berdiri dan memasang kuda-kuda silat seakan-akan sedang diserbu mendadak oleh Pendekar Kedung Prewangan, bertiga dengan Kiai Singorodra dan Mbah Kalibuntu.

Bahkan ada yang dari keadaan tidur, dalam hitungan sekon langsung melompat keluar ruangan dengan tangannya memutar-mutar kalung rantai besi yang diambil dari lingkaran pinggang di balik bajunya.
Sebagian dari mereka ada yang kaget oleh ledakan-ledakan, duduk dengan mata masih tertutup, sesaat kemudian tidur berbaring lagi. Yang lebih hebat lagi, beberapa orang hanya membuka matanya sejenak dengan sedikit menggerakkan kepala, kemudian tidur lagi.

Dan yang paling hebat dari empat puluh orang itu adalah mayoritas di antara mereka yang sama sekali tidak terusik oleh mercon atau tembakan, letusan atau ledakan, sekali atau berkali-kali. Mereka sangat tenang. Nyenyak tidurnya tak terusik. Telinganya kebal, gendangnya dilapisi oleh semacam plastik tebal hasil teknologi modern.
***

Padahal cukup lama bunyi tembakan dan mercon itu terdengar menyiksa ruangan. Bahkan ada saat-saat ledakan cambuk Markesot itu menggelegar seperti datang dari langit. Lebih dekat dibanding suara letusan gunung yang justru terdengar agak sayup dari kejauhan.

Terasa sekali ada ledakan yang sejatinya bukan suara ujung cambuk yang dihentakkan oleh tangan yang kokoh perkasa, melainkan ledakan kawah amarah jauh dari kedalaman jiwa Markesot. Seluruh jagat raya termuat di dalam ruh manusia. Ledakan yang khusus itu seakan-akan adalah gabungan antara kemarahan dari pusat Bumi dan halilintar sambutan persetujuan dari langit.

Ledakan pada tingkat itu mestinya terdengar dari luar ruangan rumah perkumpulan empat puluh orang itu. Tapi mungkin juga tidak sama sekali.

Itu bergantung pada sikap udara di dalam ruangan itu serta di luar rumah. Kalau udara berkemauan untuk menghantarkan suara itu, maka yang di sekitar ruang itu akan mendengarnya. Tapi kalau udara terikat oleh keputusan untuk tidak menghantarkannya ke luar rumah, dan cukup mengedarkan suara itu di dalam ruangan rumah saja, maka demikianlah yang terjadi.

Sikap dan keputusan si Udara itu untuk menghantarkan suara atau tidak di sebuah skala ruang, bergantung pada perjanjian yang dilakukannya dengan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan suara itu. Bergantung pada perjanjian, atau pada kepatuhan udara kepada ini atau itu.

Termasuk jika udara mengambil keputusan sendiri berdasarkan kedaulatannya sendiri. Letusan-letusan, ledakan-ledakan dan suara tertawa Markesot sedang menggaduhi ruangan, belum ada waktu untuk mendiskusikan tema di sekitar keputusan si Udara. Termasuk dengan siapa dan apa saja ia berkonstelasi, menyelenggarakan perundingan dan mengambil keputusan. Atau siapa yang dipatuhi oleh Udara.
***
Kegaduhan itu kemudian berakhir pada satu bunyi ledakan sangat keras, menggelegar disertai gemerincing.

Sesudah ledakan terakhir yang bergemerincing itu, Markesot berdiri di salah satu pojok ruang, bertolak pinggang. Wajahnya meringis. Kemudian tertawa lagi tapi tidak sungguh-sungguh, suara tertawa yang tidak berasal dari unit mesin yang memproduksi tertawa dari dalam diri Markesot.

Tapi akhirnya tertawa Markesot itu terputus mendadak. Markesot berwajah sangat serius. Matanya menatap ke depan. Berkeliling sorot mata itu menimpa satu per satu wajah demi wajah di ruangan itu, kemudian berhenti dan macet di tubuh-tubuh bergeletakan yang tidur sangat pulas. Dan itu adalah mayoritas di antara empat puluh sahabat-sahabat Markesot.
***

Mereka orang-orang yang sangat bahagia hidupnya. Istiqamah dalam ketenteraman. Jantungnya terus menjalankan irama secara stabil, tidak terganggu oleh peristiwa apapun di sekitar mereka.

Ritme ngorok mereka sangat mandiri. Nafas seratus persen teratur keluar masuknya. Hati mereka tenang bagai ruang hampa. Pikiran mereka tak bergeming oleh apapun saja. Secara keseluruhan jiwa mereka bagaikan pertapa. Duduk di tikar ketenteraman, mentalnya tegak teguh bagaikan pilar-pilar baja raksasa.

Andaikan ada gempa besar, didahului oleh letusan amarah gunung, kemudian banjir lahar dingin bercampur asap amat panas dari neraka yang dibocorkan ke permukaan bumi, mereka tidak berubah sedikit pun dari ketenteramannya.

Mungkin mayoritas inilah yang dimaksudkan oleh Tuhan tatkala memanggil hamba-hambaNya: “Wahai jiwa yang tenteram, kembalilah kepada Pengasuhmu dalam keadaan meridloi dan diridloi. Ayo kalian berhimpunlah ke dalam golongan-Ku dan masuklah ke dalam sorga-Ku”.
***

Sambil menatap wajah-wajah mereka dan merenungi kedalaman suasana yang beberapa jam ini tadi berlangsung, Markesot mengeluh kepada dirinya sendiri:
“Ternyata begini ini dunia. Tidak sejauh ini aku menyangka tentang remehnya manusia. Dan kehidupan yang Tuhan kehendaki ini ternyata jauh lebih bersahaja. Sampai setua ini tetap saja aku salah kuda-kuda….”

Sesungguhnya yang terjadi bukanlah Markesot menginterupsi pembacaan tulisan-tulisan dan suasana di ruangan itu, tetapi aslinya Markesot sedang menginterupsi proses pemikiran dan penghayatan hidup di dalam dirinya sendiri.

https://www.caknun.com/2016/interupsi-markesot/ 

Daur I No. 27




Sabtu, 28 Juli 2018

Pandai Kepada Diri Sendiri Daur I No.25

 
Pandai Kepada Diri Sendiri (Daur I - 25)

Pandai Kepada Diri Sendiri (Daur I - 25)

 •   •  Dibaca normal 4 menit

Kalau Yu Sumi mengerti apa itu kewajiban, terutama kewajiban kepada Tuhan, salah satu kemungkinannya adalah ia akan menjadi ahli ibadah.

Ia merasa eman kalau sedikit saja mengurangi ibadahnya. Ia tidak melewatkan satu jam semenit sedetik pun untuk beribadah. Tidak ada yang lebih mulia dari beribadah kepada Tuhan. Tidak ada yang dipuji Tuhan melebihi hamba-Nya yang mengisi siang dan malam dengan ibadah.
Akibatnya Yu Sumi akan didatangi oleh semacam ujian. Ia sangat mungkin menjadi seseorang yang karena tekun ibadahnya maka ia punya naluri untuk membandingkan dirinya dengan orang lain berdasarkan kerajinan ibadahnya.

Tahap berikutnya ia memperoleh sub-ujian bahwa ia merasa dirinya lebih dekat kepada Tuhan dibanding orang lain yang kurang beribadah, terlebih lagi dengan orang yang tidak beribadah. Rasa lebih dekat kepada Tuhan itu bisa memperanakkan rumusan atau gambaran bahwa yang rajin beribadah berderajat lebih tinggi dibanding yang tidak beribadah.

Rasa lebih tinggi itu bisa mengurangi jarak pergaulan Yu Sumi dengan orang lain yang tidak setekun ia ibadahnya. Kemudian bisa berkembang menjadi rasa meremehkan orang yang tidak beribadah, berikutnya merendahkan, berikutnya lagi bisa menjadi cibiran yang merendahkan, meskipun hanya di dalam hati. Dan kalau tidak hati-hati, Yu Sumi bisa sampai pada suatu anggapan yang berkembang menjadi pendapat yang diyakini, bahwa sesungguhnya yang lebih berhak hidup di dunia adalah orang yang tekun beribadah dan dekat dengan Tuhan.

Pandangan itu bisa memuai menjadi keputusan sosial untuk memusuhi siapa saja yang tidak beribadah. Memusuhi bisa membengkak menjadi keyakinan untuk membuang, membunuh atau memusnahkan. Tuhan adalah Maha Tuan, semua manusia adalah abdinya. Barangsiapa tidak beribadah, maka ia bukan abdi. Dan siapa saja yang bukan abdi, ia tidak berhak hidup di bumi Tuhan. Sehingga harus diusir atau disirnakan.
***

Semua ummat manusia di peradaban apapun meyakini secara mantap dan hampir absolute bahwa anak-anak manusia harus berpendidikan, berkebudayaan, harus belajar membaca dan menulis, harus mencari ilmu dan pengetahuan.

Juga Yu Sumi. Tapi yang kukatakan kepada anak cucuku dan para jm ini tak perlu dibawa-bawa ke para tetangga. Mereka tidak memerlukan pikiran seperti ini. Mereka sudah beres hidupnya, tidak ada manfaatnya semua yang kukatakan kepada anak cucu dan para jm ini.

Mungkin Yu Sumi sebaiknya berpendidikan seperti mereka. Ia harus mengerti hak dan kewajiban. Ia wajib mempelajari Islam, membaca Al-Quràn dan menjalankan peribadatan. Akan tetapi berdasarkan seluruh sejarah Yu Sumi, dan berlaku khusus untuk Yu Sumi, aku harus menyimpan di laci rahasiaku bahwa kewajiban-kewajiban itu kemungkinan besar malah membahayakan hidup Yu Sumi.

Sebab di samping ada peluang besar bahwa dengan itu semua Yu Sumi menjadi manusia sombong-agama dan merasa lebih tinggi derajatnya dibanding orang-orang di sekitarnya — yang juga sangat penting adalah kemungkinan bahwa sesudah ia menjadi ahli ibadah: kadar kerja kerasnya pasti berkurang.

Yu Sumi akan menjadi lebih banyak omong, sedikit kerja. Banyak omongnya pun isinya adalah muncul dari tinggi hati, merasa lebih suci, yakin lebih dekat kepadaTuhan dibanding semua orang. Mungkin sesudah menjadi ahli ibadah Yu Sumi menjadi punya masalah dengan memanjat kelapa dan membelah kayu. Di samping energinya mengecil untuk kerja keras, mungkin saja bekerja memanjatkan kelapa untuk tetangganya sangat kecil nilainya dibanding satu sujud dalam shalat.

Dan kalau karena kecerdasannya pada akhirnya Yu Sumi menjadi benar-benar pandai mengaji dan tahu banyak ilmu, mungkin ia akan diminta mengajar di sana-sini. Ia menjadi sibuk, dan akhirnya kehilangan keterampilannya untuk bekerja. Pada akhirnya ia bisa menjadi Ustadz atau Ustadzah tidak karena ilmunya melainkan karena tidak punya kemampuan untuk bekerja.

Tentu kehidupan mengandung kemungkinan tak terbatas. Namun terang benderang bahwa Yu Sumi dilindungi oleh Tuhan dengan formula eksistensinya, dengan keawamannya, dengan kebutahurufannya, dengan ketidakmampuannya atas ilmu dan kepandaian, dan mempertapakannya dalam kesibukan memanjat kelapa dan membelah batu.

Maka Tuhan tidak mentakdirkan Yu Sumi kawin dan beranak. Karena akan bisa menjadi masalah orientasi bagi anaknya. Hampir mustahil anaknya, jika ada, akan mampu dan mau memanjat kelapa dan membelah kayu, karena zaman dan lingkungannya sudah berubah.

Teknologi berkembang sangat pesat. Salah satu hasilnya adalah manusia kehilangan dirinya, manusia menjadi luntur kemanusiaannya, manusia menurun kemampuan bekerjanya. Bahkan manusia bukan hanya mewakilkan pekerjaan ini itu kepada robot dan onderdil teknologi industri. Bahkan sudah cukup lama menjadi robot dan onderdil teknologi dan obeng tang catut industri.
***

Akan tetapi Guk Urip kawin dan punya anak, sekarang bahkan sudah mulai lahir cucu-cucu. Mas Bardi juga kawin, meskipun tidak punya anak.

Siapapun yang pernah ketemu dengan Guk Urip dan Mas Bardi, langsung tahu bahwa mereka melambai. Bahkan sangat melambai. Dan itu tidak karena akulturasi, tidak karena penularan dari siapapun, tidak karena pengaruh lingkungan budaya.

Tetapi Guk Urip dan Mas Bardi tidak terlalu bodoh atas dirinya sendiri. Mereka melakukan reformasi ke dalam dirinya sendiri, jiwa maupun jasadnya.

Sama dengan apapun dalam kehidupan, sesuatu direformasi, ditemukan proporsi dan harmoninya. Ada besi yang dipotong atau disambung. Ada kayu yang digergaji atau disusun beberapa batang. Ada cairan yang ditambah atau dikurangi volumenya. Ada gas yang dipadatkan atau dikurangi kepadatannya.
Ada logam yang diambil sedikit dan logam lain diambil banyak. Ada sesuatu yang dipacu dan lainnya dikontrol. Ada laju yang di-gas dan pada momentum tertentu di-rem. Ada sesuatu yang dilampiaskan dan lainnya dikendalikan. Ada ini itu yang dihitung batas perkembangannya sementara yang lain justru dipacu kesuburannya.

Memang demikianlah kehidupan. Juga diri setiap manusia sendiri adalah bagian, bahkan yang utama, dari kehidupan. Ada sesuatu dalam diri manusia yang perlu dikendalikan, ditahan, dipuasakan, dibatasi atau bahkan mungkin dihilangkan, misalnya daging tumbuh yang tidak pada tempat dan proporsi alamiahnya.

Dan managemen diri semacam itulah yang dilakukan oleh Guk Urip dan mas Bardi. Apalagi Yu Sumi.
Kalau engkau menyangka hidup ini isi utamanya adalah hak, dan itu menjadi landasan utama dari perilakumu, menjadi hulu-ledak dari kelakuanmu, menjadi dasar pikiran untuk mengambil keputusan menuju masa depanmu — aku tidak akan mempersalahkanmu. Tidak akan membantahmu. Juga tidak mengecam atau menghardik dan mengutukmu.
Hanya dua kata yang kalau kau minta, aku bisikkan ke telingamu: “Tunggulah waktu”.

Dari cn kepada anak-cucu dan jam
27 Februari 2016

Hak Asasi Kanker dan Benalu Daur I No.24


Hak Asasi Kanker dan Benalu      (Daur I - 24)

Hak Asasi Kanker dan Benalu      (Daur I - 24)

 •   •  Dibaca normal 4 menit

Jika tiba hari Jumat, ada desakan dari dalam diri keAdaman Yu Sumi untuk ikut berjamaah shalat Jumat. Tapi itu akan membingungkan semua orang dan pasti menjadi sumber pertengkaran masyarakat. Maka ia duduk di balik rerimbunan daun-daun di belakang masjid. Ia mendengarkan khotbah dan merenung.
Penggalan kisah sederhana ini kuperuntukkan bagi anak cucuku dan para jm, karena masyarakat umum tidak memerlukan butiran kecil ilmu dan pengetahuan yang tidak istimewa. Jadi anak cucuku dan para jm simpan sendiri saja.

Ketika itu belum ada khotbah yang menyebarkan kebencian dan kutukan. Belum ada khotib yang merasa dirinya selevel dengan Tuhan sehingga tak mungkin salah, yang pendapatnya pasti benar, dan kebenaran yang ada di otaknya bersifat absolut. Waktu itu belum ada pemimpin agama yang sombong dengan pandangannya, yang angkuh dengan ilmunya dan takabbur dengan merasa pandainya.
Di zaman Yu Sumi hidup, juga Guk Urip dan Mas Bardi, belum ada manusia yang begitu yakinnya bahwa ia dan mereka akan pasti menjadi penghuni sorga, dan mempercayai bahwa siapapun yang tidak berpandangan dan tidak hidup seperti mereka akan pasti menjadi penghuni neraka.

Sehingga Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi tidak pernah berjumpa dengan manusia yang sombong karena agamanya, yang angkuh karena ibadahnya, yang merendahkan orang lain karena imannya, yang mengutuk siapapun saja yang bukan mereka. Mereka bertiga belum pernah mengalami pergaulan dengan manusia yang mampu menciptakan harmoni antara ibadah kepada Allah dengan kekejaman kepada manusia. Yang merangkai dengan mantap iman kepada Tuhan dengan perusakan dan penghancuran atas sesama manusia.

Indah benar hidupnya Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi karena di era mereka belum ada manusia beragama yang meyakini bahwa bumi dan alam semesta adalah hak mereka, sehingga yang bukan mereka harus dimusnahkan. Bahwa Tuhan menciptakan bermilyar galaksi, bertrilyun-trilyun planet ini tidak untuk siapapun kecuali segolongan manusia, yang jumlahnya sangat sedikit, sehingga cukup ditampung di beberapa Kecamatan di suatu negeri kecil. Tuhan menciptakan alam semesta yang luasnya tak terukur ini tidak untuk siapapun kecuali untuk sejumlah manusia yang hanya memerlukan sebuah pulau kecil di bumi yang sangat kecil untuk tempat tinggalnya.
***

Berbahagia benar Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi, yang hidup tanpa pernah menjadi masalah bagi lingkungan masyarakatnya. Yang masyarakat sekitarnyapun tidak pernah riuh rendah memperdebatkan diri eksistensi mereka, karena ummat manusia pada zaman itu selalu menjalankan toleransi tanpa menyadari adanya kata toleransi dan mereka sendiri tak pernah mengucapkan kata toleransi dari mulutnya.

Masyarakat di mana ketiga sahabat kita hidup sangat mengerti aurat, memahami hakekat batas, tahu persis apa yang harus dibuka dan apa yang sebaiknya ditutupi. Apa yang sebaiknya dikendalikan dan apa yang tidak masalah jika dilampiaskan. Mengerti apa yang harus dikontrol untuk tidak berkembang karena daya perusakannya luar biasa atas kehidupan dan masa depan.

Meskipun Yu Sumi aman mendengarkan khotbah Jumat dari kebun belakang masjid, tapi sebenarnya ia menempuh jalan cukup jauh membelah desa untuk bisa sampai ke gerumbul tempat ia bersembunyi dan nguping khotbah. Masjid itu terletak di jalur tengah desa, yang penghuninya pada umumnya berkultur santri. Hanya ada masjid dan musholla di jalur tengah. Sedangkan di jalur selatan dihuni oleh para petani abangan. Dan Yu Sumi sendiri tinggal di jalur utama. Jalur dan lingkungan yang anak-anak sekolahan menyebut sebagai jalur masyarakat yang terbelakang, kurang berbudaya dan belum mengenal agama.

Karena lingkungan sosialnya, hampir mustahil Yu Sumi berpeluang untuk belajar mengaji, duduk di bangku sekolah atau belajar apapun kecuali dari kehidupan dan perenungannya sendiri. Padahal Yu Sumi tidak pernah mendengar apa itu perenungan, apa itu santri atau abangan. Yu Sumi tidak punya ustadz, tidak berguru kepada kiai, tidak pernah tahu selama hidupnya suatu benda ajaib yang bernama televisi. Jangankan lagi gadget, internet, medsos, browsing, IT, demokrasi, Revolusi Industri ke-IV, terlebih-lebih lagi Bank Syariat. Yu Sumi tidak punya mursyid, syekh, guru bangsa, begawan, panembahan. Yu Sumi hanya tahu secara naluriah bahwa ada yang maha besar dan berkuasa dalam hidupnya, ada hidup dan kelak ada mati, ada asal-usul dan titik tujuan, entah akan ada akhirnya atau tidak.

Yu Sumi hanya punya Tuhan. Bahkan Muhammad hanya sesekali ia dengar nama itu dari khotbah di masjid yang ia nguping. Tetapi Yu Sumi memiliki kecerdasan intelektual dan kewaspadaan sosial, serta tahu secara alamiah bahwa ia tidak boleh menjadi beban bagi siapapun, tidak boleh menjadi masalah bagi lingkungannya, meskipun tidak pernah berani beranggapan bahwa ia harus atau bisa atau punya kemungkinan untuk bermanfaat bagi kehidupan di mana ia menumpang.
***

Maka ia mengambil keputusan untuk memenuhi waktunya untuk bekerja. Bekerja keras sepanjang siang dan kalau perlu tambah separo malam.

Yu Sumi sangat sedikit berbicara. Ia menyapa dan menjawab sapaan siapapun yang ia berpapasan dan bertemu. Tetapi ia tidak pernah berdiskusi, meminta, menuntut, membantah, berdebat, membela diri, mempertahankan apapun. Ia bekerja saja dan bekerja saja. Sampai akhirnya Tuhan memindahkannnya dari desa saya ke kampung baru yang hanya Tuhan yang tahu. Entah di bumi ini, atau mungkin di planet lain, atau di luar galaksi, atau siapa tahu tetap di sekitar desanya namun di koordinat dan gelombang yang berbeda.

Yu Sumi bekerja keras memenuhi hidupnya, sehingga unsur lain dalam dirinya, misalnya nafsu sex, tersingkir dan bagaikan tak ada. Sepanjang hidup Yu Sumi aku hanya pernah melihatnya berpakaian sarung yang itu-itu juga. Kira-kira ada dua lembar sarung, satu dua kaos dan baju. Wajahnya tidak pernah mengekspresikan tuntutan, harapan, atau amarah dan perlawanan. Yu Sumi madhep mantep bekerja dan bekerja.

Ia tidak pernah mendengar kata hak atau kewajiban. Dan beruntunglah dia. Sebab kalau ia sampai tahu hak dan memahami artinya, kecerdasannya akan memberi ucapan-ucapan yang berbahaya bagi dirinya: “Aku berhak memenuhi nafsuku. Aku berhak kawin dengan sesama manusia apapun jenisnya, bahkan adalah hakku juga untuk kawin dengan lembu, pohon pisang atau buah mentimun. Aku berhak menjadi apapun sesuai dengan hak asasiku. Aku berhak menjadi kanker, menjadi benalu, menjadi penyakit, menjadi kuman, bakteri, virus, racun, atau apapun yang aku mau….”

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
26 Februari 2016

https://www.caknun.com/2016/hak-asasi-kanker-dan-benalu/



Ahlul Glugu wal Kayu Daur I No.23

 

Ahlul Glugu wal Kayu    (Daur I- 23)

 •   •  Dibaca normal 3 menit Daur ,

Yu Sumi memakai celana atau sarung seperti lelaki. Pakai kaos, berjalan gagah seperti Werkudoro, tangannya kokoh memegang arit, bendo, parang dan terkadang pedang jika diperlukan. Yu Sumi memanjat kelapa tinggi dengan langkah naik yang sangat kuat, perkasa dan tangguh. Yu Sumi mengurai sabut kelapa dengan jari-jarinya dan memecah batok kelapa dengan pojok jidatnya.

Sketsa sosok Yu Sumi ini kututurkan untuk anak cucuku dan para jm. Jangan sampai dibaca oleh yang bukan kalian, sebab mungkin ini memalukan dan bisa jadi menjadi bahan tertawaan. Sebagaimana aku, kalian tidak cukup terpelajar, bukan cendekiawan, tidak berbudaya modern dan metropolitan. Kita orang dusun yang telapak kaki kita terlalu dekat ke tanah. Muatan dada kita adalah hati petani, sedang di kepala kita tidak ada unsur intelektualitas kelas manusia modern.

Yu Sumi, yang Hawa, lebih kuat dari kebanyakan lelaki di desa saya.
Tetapi ia tidak melirik, melotot atau mengincar wanita-wanita, gadis-gadis atau Adam-Adam yang keHawa-hawaan di desa. Yu Sumi tidak menjadi lesbisch lesbong lesboa atau lesung. Sampai meninggalnya di usia hampir 60 tahun Yu Sumi tidak mencintai wanita, apalagi mencintai lelaki, tidak berpacaran, tidak nikah. Yu Sumi bekerja keras.

Yu Sumi mengisi hidupnya dengan bekerja, bekerja, bekerja dan bekerja hingga kelelahan kemudian tertidur. Yu Sumi tidak punya kekayaan dunia. Tidak punya pekerjaan tetap. Tidak punya warung usaha atau apapun. Yu Sumi tidak cukup waktunya untuk memenuhi permintaan para tetangga untuk membelah kayu, mencangkul dan nggaru nyingkal sawah, untuk melakukan berbagai macam pekerjaan yang orang menyebutnya pekerjaan kasar dan rendahan.

Ya Ampun ya Salam alangkah kasar orang yang menciptakan istilah pekerjaan dan kasar. Dan alangkah tidak punya kelembutan siapa saja di antara masyarakat yang menyebut pekerjaan Yu Sumi adalah pekerjaan rendahan. Alangkah bodoh manusia yang menyebut Yu Sumi memanjat pohon kelapa dan membelah kayu-kayu besar adalah pekerjaan kasar.
***
Itu pekerjaan keras. Memerlukan kekuatan dan kekerasan. Karena tidak mungkin membelah kayu glugu dengan kelembutan. Betapa pentingnya kekerasan dalam  bagian-bagian tertentu dari kehidupan. Istilah pekerjaan kasar berasal dari manusia yang berhati kasar, yang diam-diam merindukan kelembutan namun tak kunjung mendapatkannya. Istilah pekerjaan rendahan bersumber dari orang-orang yang kenyataan martabatnya rendah, yang merindukan ketinggian derajat namun tak pernah memperolehnya.

Yu Sumi wanita yang kuat dan keras, namun kekerasannya ia tumpahkan ke pohon kelapa dan kayu-kayu, tidak kepada sesama wanita. Yu Sumi juga lembut dan mendalam cintanya, namun kedalaman cinta itu ia kembalikan secara diam-diam dan sunyi kepada sumbernya. Yu Sumi adalah hardworker di dunia, namun di dalam dirinya ia adalah pengasih dan kekasih Tuhan, tanpa ia puisikan, tanpa ia tasawufkan, tanpa ia romantisasikan dengan label Agama Nusantara, Agama Pohon Kelapa, Ahlul Glugu wal Kayu atau apapun.

Yu Sumi dikatakatain sejumlah orang di dalam hatinya, namun tak pernah pengkatakataan itu dikatakatakan melalui mulut mereka. Yu Sumi diejek-ejek oleh sejumlah anak-anak kecil yang melihatnya sebagai keanehan: perempuan kok sarungan, wanita kok memanjat kelapa dan membelah kayu-kayu. Tetapi tak usah Tuhan, Yu Sumi yang tak sekolah dan tidak nyantri pun cukup untuk mengerti bahwa anak-anak tidak berdosa dengan ejekan-ejekannya itu. Dan Yu Sumi tidak pernah bodoh untuk marah kepada anak-anak itu. Sebagaimana Tuhan pun tidak menghukumi atau menghardik anak-anak manusia yang belum aqil (sanggup menggunakan akal) baligh (mampu menyampaikan kebaikan).
***

Yu Sumi sangat bermanfaat hidupnya bagi para tetangga. Yu Sumi pekerja sangat keras, rajin, tekun dan anti-kemalasan. Masyarakat desa tidak terpelajar tapi sepanjang hidup Yu Sumi mereka menjaga aurat. Bahwa posisi khuntsa, kehadiran mukhannats Yu Sumi adalah aurat yang harus mereka lindungi bersama. Tidak dibuka-buka. Tidak didiskusipublikkan. Tidak dimedsosmedsoskan. Tidak menjadi agenda pemikiran dan undang-undang. Tidak dilebailebaikan dengan bermacam akrobat ilmu dan pengetahuan, tidak dilebihlebihkan dengan pernyataan-pernyataan dan ideologi.

Dan Yu Sumi menolong masyarakat dengan mengalah secara sosial dan mentransendensikan secara keTuhanan, meskipun untuk melakukan semua itu Yu Sumi tidak memerlukan pengenalan tentang berbagai kata dan istilah yang mumbul-mumbul muluk-muluk khas manusia dan peradaban modern yang merasa dirinya pandai dan paling hebat.

Yu Sumi secara naluriah sangat mengerti satu hal. Bahwa eksistensinya adalah rahasia Tuhan, di mana ummat manusia tidak sanggup menanggung dengan ilmunya, tidak sanggup menyangga dengan pengetahuannya. Yu Sumi secara sukma dan jiwa tahu bahwa ia adalah rahasia Tuhan. Pusat berkah atau celakanya terletak pada posisi nafsu seksualnya.

Dan Yu Sumi punya harga diri kemanusiaan yang sangat tinggi, karena memang demikian Tuhan menentukan makhluk satu ini sebagai ahsanu taqwim, sebagai masterpiece ciptaan-Nya, sehingga Tuhan memilih dan melantiknya sebagai khalifah-Nya, sebagai wakil-Nya. Yu Sumi mengetahui itu semua karena ia belajar dengan caranya sendiri, berdasar posisi sosialnya sendiri, serta membatasi diri pada kerahasiaan ketentuan Tuhan yang ia pagari dengan waspada dan seksama di tengah pemetaan sosial masyarakatnya.

Karena mengerti tingginya derajat sebagai manusia, Yu Sumi dengan sangat radikal menumpas nafsu seksualnya. Berat pada tahun-tahun pertama. Tapi segera Yu Sumi menemukan bahwa untuk melawan nafsu hanyalah diperlukan satu lompatan kecil di dalam jiwa dan mentalnya. Nafsu sex tidak seram bagi Yu Sumi. Tidak muluk-muluk dan tidak berkuasa atas dirinya.

Yu Sumi cukup tekan knop “off” dalam maintenance mentalnya. Sampai akhirnya sang nafsu putus asa untuk berani-berani “on” di dalam diri Yu Sumi. Apalagi setiap kali sang nafsu mencoba nakal menggodanya, Yu Sumi ambil nafsu itu dari dalam dirinya, dicabut, dikeluarkan, digenggam dengan tangan kirinya, ia pelototi dan ia banting pecah berkeping-keping di tanah terjal desa kami.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
25 Februari 2016

https://www.caknun.com/2016/ahlul-glugu-wal-kayu/


Managemen keAdaman dan keHawaan Daur I No.22

 

Managemen keAdaman dan keHawaan (Daur I - 22)

 •   •  Dibaca normal 4 menit

Sebelum kisah kecil tentang Yu Sumi, tolong anak cucuku dan para jm memastikan pemahaman bahwa “empat huruf” itu tidak sama dengan Mukhonnats, Wandu atau Banci. Sama sekali berbeda.
Banci itu keadaan, yang menjadi identitas. Sepanjang tidak ditulari secara budaya, maka Banci Mukhonnats Wandu adalah kehendak alamiah Tuhan. Di empat nomor tulisan ini kita belajar pengelolaannya, ke dalam diri yang bersangkutan, maupun penanganan secara sosial.

Tetapi “gay”, “lesbi”, “bisex” dan “transgender” bukan keadaan, bukan identitas, melainkan perbuatan atau perilaku sosial. Jadi “empat huruf” itu tidak menjelaskan identitas, melainkan perilaku.
Tidak ada masalah kita lelaki, perempuan atau banci. Yang menjadi masalah adalah ketika lelaki dan perempuan berhubungan seks tidak dalam pernikahan. Apalagi berhubungan seks sesama jenis, dengan benda, dengan hewan, batang pisang atau tiang kayu, atau beramai-ramai berjenis-jenis.
Kalau masalah yang timbul hanya terhadap hukum, moral atau norma sosial, masih tidak terlalu mengancam kehidupan. Tapi kalau masalahnya adalah konflik dengan kemauan Tuhan, anak cucuku dan para jm tolong jangan anggap ringan.
***

Yu Sumi, wanita yang kelelaki-lekakian, adalah seniorku dulu di desa. Guk Urip, lelaki yang kewanita-wanitaan, juga senior era berikutnya. Dan Mas Bardi, lelaki gagah berbadan besar gempal tapi kewanita-wanitaan, adalah juga senior hidupku di salah satu tempat perantauanku.

Tuhan menginformasikan bahwa Ia menciptakan makhluknya dengan potensi maskulinitas dan feminitas dalam kadar yang berbeda-beda. Bahkan Ia sebut “syu’uban wa qaba’il”, yang selama ini diterjemahkan menjadi “bersuku-suku dan berbangsa-bangsa”, meskipun ketika ayat itu turun belum ada konsep atau perumusan tentang bangsa.

Syu’ub dan qaba’il tidak harus bermakna hanya suku atau tribe dan bangsa atau rumpun bangsa. Penduduk negeri Benelux disebut tiga bangsa karena negaranya pun tiga, padahal sesungguhnya mereka satu qabilah, atau satu bangsa, atau bahkan satu suku atau sub-bangsa. Semua itu sangat relatif. Dan bagaimana pemetaan ciptaan Tuhan itu dipahami tidak dengan mempelajari konsep dasar dari Tuhan, tetapi disimpulkan berdasarkan paham-paham temporer ilmu manusia. Yang besok dibatalkan sendiri. Lusa dilanggar sendiri. Seminggu berikutnya diingkari, dibantah dan dikutuk sendiri.

Mohon diingat oleh anak cucuku dan para jm, ini bukan tafsir, dan aku pun tak memenuhi syarat untuk menjadi mufassir. Ini sekedar pesan pribadi kepada kalian, yang lebih baik tak usah didengar oleh khalayak umum, agar tidak menambahi potensi perbedaan dan pertentangan.

Demikianlah ummat manusia bermain-main dengan arca dan patung-patung pemikiran dan khayalannya sendiri. Patung bukan satu-satunya bentuk berhala. Justru mayoritas berhala dan pemberhalaan bertebaran di peta pengetahuan dan pilihan ilmu kaum cendekiawan. Terutama di hamparan hasil teknologi kebudayaannya. Abad 20-21 adalah peradaban ummat manusia yang jumlah Latta-Uzzanya hampir tak bisa dihitung. Hampir seluruh arca yang diberhalakan itu dikostumi dengan pakaian-pakaian agama, dijubahi dikerudungi dengan performa kesucian Tuhan dan Nabi-Nabi.
***

Karena kemalasan berpikir, meneliti dan menganalisis, maka kumpulan-kumpulan manusia bisa suatu hari keluar rumah dengan senjata tajam dan acungan tangan-tangan serta teriakan pekikan yang menyebut nama Tuhan — dengan penuh kegagahan dan keperkasaan membakar sebuah patung, karena mereka tidak belajar untuk mengetahui bahwa arca yang perlu dibakar sesungguhnya terletak di dalam dismanagemen berpikir mereka sendiri.

Apa yang kutuliskan ini mutlak tidak diperlukan oleh teman-teman kita sesama makhluk hidup yang hampir mustahil memahami bahwa letak berhala-berhala yang mereka musuhi itu berada di dalam akal mereka sendiri. Maka aku hantarkan nilai-nilai ini kepada anak-anak cucu-cucuku agar jangan kelak menjadi keledai zaman yang mengulang-ulang ketidakmengertian dan memasuki lobang-lobang ketidakpahaman sampai ratusan kali, mungkin ribuan kali, dan seperti tak  ada kemungkinan bahwa ribuan kali itu akan tidak bertambah dan diteruskan.

Anak-anak cucu-cucuku sudah hafal bahwa letak kekufuran, kemusyrikan, bid’ah, keterpelesetan aqidah dan kesesatan dari garis tauhid, tidaklah berada di luar diri. Tidak di kota ataupun desa. Tidak di bunyi ataupun sepi. Tidak di perempatan jalan atau di toko-toko besar. Tidak di perkampungan atau gedung-gedung tinggi. Tidak di negara atau di rumpun suku-suku hutan belantara. Tidak di dalam atau di luar masjid dan tempat-tempat ibadah ataupun persangkaan-persangkaan ubudiyah yang lain.

Melainkan terletak di dalam akal dan hati masing-masing. Terletak di dalam ketidaktepatan atau ketepatan tujuan utama kehidupan. Terletak di dalam lingkup niat dan hajat. Terletak di dalam diri. Terletak di dalam diri. Jadi ambil pedang dan obor, berlarilah menghamburlah ke dalam diri sendiri, tebas kebatilan akalmu dengan pedang dan bakar kebodohan pikiran diri sendiri dengan api.
***
Yu Sumi di dusunku, seorang Hawa yang keAdam-Adaman, sampai akhir hayatnya tidak bisa menemukan kepenuhan Hawa dalam dirinya, tapi juga hal itu tidak lantas membuatnya berprasangka bahwa dirinya adalah Adam.

Tuhan menciptakan di dalam diri Adam terdapat potensi Hawa, yakni kelembutan, kasih sayang, keluwesan. Adam melambai hatinya kepada Hawa dan anak-anaknya, bahkanpun kepada Qabil sesudah membunuh Habil kakaknya. Tetapi hati melambai Adam tidak diekspresikan keluar melalui tangan dan gerak tubuh yang melambai. Karena Adam diajari Tuhan untuk waspada dan mengerti bahwa hidup adalah menata batas-batas.

Hawa juga memiliki unsur ke-Adam-an di dalam dirinya. Dan sebagaimana Adam, Ibu Hawa menjaga batas bahwa ekspresi sosialnya harus mengutamakan ke-Hawa-annya dan mengelola ke-Adam-annya untuk konteks-konteks tertentu di dalam metode pergaulan sosial.

Semua lelaki adalah Adam yang mengandung Hawa. Semua wanita adalah Hawa yang mengandung Adam. Keduanya dan masing-masing adalah Khalifah, dan yang pertama-tama mereka khalifahi adalah managemen internal dirinya sendiri, sebelum banyak omong dan menghamburkan orasi-orasi tentang negara, demokrasi dan apapun keluar dirinya.

Lelaki bukan hanya kegagahan dan kekerasan, karena ia juga dibekali Tuhan kelembutan dan kasih sayang. Wanita bukan hanya kelembutan dan kasih sayang, karena Tuhan juga membekalinya dengan ketegasan dan kekerasan. Tidak ada anti-kekerasan. Yang ada adalah anti-kekejaman. Tulang belulang wajib keras. Daging, otak, jantung dan paru-paru wajib lembut. Darah wajib cair.

Tidak ada radikalisme, yang ada adalah radikalitas pada batas dan ukurannya. Kalau karena sakit tertentu kaki harus diamputasi, maka harus diterapkan tindakan radikal memotong kaki. Kalau api menguasai cahaya hati, maka dibutuhkan keputusan radikal untuk memadamkan api. Kekerasan diperlukan untuk prosedur membuat anak dan mengabdi kepada sunnah regenerasi. Tetapi kekerasan kelamin laki-laki harus diperjodohkan dengan kelembutan hatinya kepada istri.

Managemen keAdaman dan keHawaan di dalam diri setiap manusia memerlukan sekaligus kelembutan dan kekerasan. Kepada nafsu syahwat harus keras dan radikal untuk mengatur batasan-batasannya. Itulah sebabnya aku tuturkan kepada anak-anak cucu-cucuku tentang Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
24 Februari 2016
sumber : https://www.caknun.com/2016/managemen-keadaman-dan-kehawaan/




Empat Huruf Mengatasi Demokrasi dan Tuhan Daur I No.21

 

Empat Huruf Yang Mengatasi Demokrasi dan Tuhan  (Daur I - 21)

 •   •  Dibaca normal 4 menit

Kekuatan besar dunia terus mempermainkan ummat manusia dengan melemparkan hati dan pikiran mereka di sungai-sungai isu yang berganti-ganti: Islam musuh baru sesudah komunisme, Arab Spring, Islam teroris, provokasi terencana untuk membuat Kaum Muslimin sedunia bermusuhan, kemudian beberapa level isu, bom pura-pura hingga tema Wandu.

Kuharap anak-cucuku dan para jm tak usah membawa pembicaraan kita ini ke lapangan Indonesia dan dunia. Ini bisik-bisik pribadi, aku kepada anak cucu dan para JM. Dunia dan Indonesia sangat kuat dan berkuasa. Maka kalian kalau bisa berupaya agar jangan sampai dikuati dan dikuasai. Kalian harus kuat dan berkuasa atas diri dan kehidupan kalian sendiri.
Kalau bisa jangan sampai terhanyut dan tenggelam oleh tipu daya global atau nasional apapun. Maka selalu kutuliskan secara khusus dan berkala berbagai hal untuk itu, syukur menjadi bekal untuk tidak terjajah oleh beribu tipu daya yang membanjiri kiri kananmu. Semata-mata buat anak cucuku dan Jamaah Maiyah.

Sebenarnya jadwalku hari ini meneruskan ‘PR’ lanjutan tulisan terutama perang terhadap kata dan simpul-simpul masyarakat Jin. Tetapi alangkah menderitanya hatiku hari ini!
Hidup di dunia yang diciptakan sangat indah oleh Tuhan namun dibusukkan dan dikumuhkan oleh peradaban ummat manusia yang penuh ketidakadilan dan keserakahan. Dan aku tersandera untuk turut meramu obat untuk penyakit-penyakit yang seharusnya tak perlu ada. Ikut mencarikan jalan keluar atas persoalan-persoalan yang sesungguhnya bisa tidak usah ada. Dipaksa berkata, menyusun kalimat, menguraikan dan menjelaskan berbagai hal-hal yang semestinya tidak perlu ada penjelasan apa-apa.
Hidup puluhan tahun di tepian jauh alam semesta dilepas oleh Tuhan dengan tugas untuk mengembara mencari kunci demi kunci untuk membuka pintu-pintu rahasia-Nya. Untuk meraba apa sesungguhnya yang dikehendaki oleh-Nya. Mendengarkan bisikan-bisikan kesunyian untuk menemukan apa hakekat kemauan-Nya, bagaimana alur skenario-Nya, apakah sudah mendekati babak final skrip-Nya, ataukah masih jauh jauuuh di seberang cakrawala.

Tiba-tiba hari ini aku harus menuliskan sesuatu yang sangat merusak keindahan yang sudah terbangun sangat lama di kedalaman jiwaku. Dunia dipenuhi oleh sampah-sampah hasil kerusakan akhlak, oleh kemalasan dan kegelapan berpikir, oleh barang-barang dan peristiwa-peristiwa hina produk dari keserakahan manusia, serta oleh berbagai jenis kekonyolan, kesempitan dan kedangkalan — yang awalnya terasa menggelikan, kemudian menyebalkan, dan akhirnya memuakkan.
Mendadak aku diinstruksikan untuk menulis tentang Wandu. Betapa sengsaranya hatiku.
***

Wandu itu banci. Banci itu kelamin syubhat. Kemudian sebenarnya tidak ada kelamin syubhat, tapi ditakhayuli oleh api nafsu yang menyamar sebagai hak alamiah. Lantas diambil alih oleh akulturasi budaya di mana manusia tidak memiliki kontrol apapun untuk memahaminya dan untuk menghindari terjebak terkurung dan diaduk-aduk oleh hakekat pembiasaan budaya itu.
Bahkan kemudian dilegitimasi oleh kekuasaan politik melalui legalitas hukum. Dan sesungguhnya apa yang ditandatangani dan disebar-sebarkan itu tidaklah ada kaitannya dengan politik dan hukum, melainkan berhubungan dengan niat perapuhan atas suatu kelompok masyarakat atau bangsa. Perapuhan, pemecah-belahan, pengkebirian intelektual dan mental. Dan pangkal hajat yang tersembunyi di belakang itu semua adalah skenario perampokan harta, penjambretan kekayaan bumi di wilayah yang skala dan titik-titik koordinatnya sudah digambar di lembar kertas perencanaan penjajahan.
Akhirnya hari ini semua orang di sekitarku senegara beserta beberapa masyarakat di beberapa negara target lainnya, disibukkan oleh empat huruf yang heboh. Empat huruf yang dibiayai oleh persatuan bangsa-bangsa untuk disosialisasi secara khusus sejak Desember dua tahun kemarin hingga September tahun depan. Empat huruf yang di sejumlah negara besar di muka bumi semua orang harus berpendapat sama tentangnya.
Empat huruf yang barangsiapa tidak menyetujuinya maka ia akan dihina dan dihardik. Empat huruf yang lebih tinggi kekuasaan nilainya dibanding Demokrasi dan Freedom of Speech. Empat huruf yang dibela total oleh Hak Asasi Manusia. Empat huruf yang hakekat kehadirannya bahkan “harus dipatuhi oleh Tuhan”…. Empat huruf yang mengubah sejarah penciptaan makhluk-makhluk dan alam semesta. Empat huruf yang menambah lembaran catatan bahwa dulu Tuhan tidak hanya menciptakan Adam dan Hawa, tapi juga Hawa dan Syahba, serta Adam dan Karta.
***
Ummat manusia semakin tidak percaya dan tidak merasa perlu meneliti batas dan jarak antara sunnatullah atau ciptaan otentik alamiah dengan gejala budaya, interaksi kultur, fenomena akulturasi dan pergesekan pengaruh di dalam kebudayaan kolektif manusia. Tidak bisa dan tidak mau memperhatikan dan melihat perbedaan antara setan dari luar dengan setan dari dalam dirinya sendiri, “alladzi yuwaswisu fi shudurinnas, minal jinnati wannas”. Tidak mampu dan tidak bersedia menemukan pilah dan garis-urai antara ruh dengan nafsu, antara semangat hati dengan gejolak api, antara cinta dengan kebinatangan, antara kesucian dengan pelampiasan.

Maka ummat manusia, terutama yang terpelajar, sudah tidak memerlukan pertimbangan mendasar tentang apa yang harus dijalankan dan apa yang wajib tidak dijalankan. Apa yang layak dijunjung dan apa yang seharusnya dihentikan. Apa yang bermasa depan untuk dianjurkan dan diaktivasikan secara sosial, serta apa yang tidak bisa ditumbuhkan, tidak akan memuai menjadi pohon dan daun-daun, serta sama sekali tidak akan pernah berbuah manfaat apapun bagi kehidupan.

Para aktivis empat huruf itu tidak menemukan apapun di dalam dirinya kecuali segumpal benda yang berhakekat maut, segumpal sosok semu atau sekepulan asap khoyal yang baginya itu merupakan kekayaan tertinggi dalam hidupnya. Ia lindungi sisa kekayaan itu dengan kotak baja hak asasi manusia. Bahkan ia takut kehilangan gumpalan asap itu kalau beberapa saat saja ia menoleh melihat apa sebenarnya asal-usul semua itu. Juga merasa akan kehilangan cinta semu yang berperan sangat nyata di hati takhayulnya itu jika ia menatap cakrawala masa depan yang jauh, tak usah masa depan dan regenerasi seluruh ummat manusia — bahkanpun sekedar masa depan dirinya sendiri dengan pasangannya.
***
Jika aku punya hak dan boleh memilih, takkan kutuliskan hal ini. Maka jika aku menuliskannya, tidaklah sama sekali kumaksudkan untuk para empat huruf, bahkan juga tidak untuk masyarakat, bangsa atau ummat manusia.

Aku menulis hanya untuk anak-anakku cucu-cucuku. Maka kubikin tidak gamblang, tidak mudah dicerna, tidak seperti mangga yang sudah kukuliti kuirisi dan kusuguhkan di atas meja.
Aku menyampaikan kepada anak-anak cucu-cucuku bukan buah mangga, melainkan pelok, bijih-nya. Tidak untuk dimakan, melainkan untuk ditanam di sawah ladang akal pikiran, untuk diperkebunkan di semesta wawasan ilmu dan pengetahuan, untuk disirami dengan kecerdasan dan disuburkan dengan menjaga persambungan dengan Maha Sumber Ilmu.

Ya Khuntsa.

Ya Mukhonnats.

Ya ayyuhal AlMukhnitsin.

Ya Luthy…. orang menyebut mereka Qoumu Luth, alias Luthy…. Tapi aku tak setuju sebutan itu. Mereka bukan kaum Luth, karena Nabiyullah Luth yang ma’shum tidaklah sama sekali mengajarkan kedangkalan, kesempitan, kesepenggalan dan kekonyolan itu.

Bahkan Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi, yang oleh Allah disandera dalam cinta yang berupa ujian hakiki alami berpotensi lebih besar untsa-nya atau dzakar-nya, feminitas atau maskulinitasnya — bukanlah warga empat huruf.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
23 Februari 2016


Kamis, 10 Mei 2018

Ajaran Kulit Mangga - Daur I No.019

Ajaran Kulit Mangga

 •   •  Dibaca normal 3 menit



Itulah sebabnya Syekh Nursamad jauh sebelum dipersatukan dengan Maiyah dituntun Allah untuk berkonsentrasi pada penulisan “Sirah Rasul”, karena berabad-abad ummat manusia terlalu ditenggelamkan hanya di dalam lautan teks hadits, dan sangat sedikit mengetahui, menghayati, menikmati, mendalami dan mentakjubi kisah-kisah Muhammad sebagai manusia.

Itulah sebabnya Kiai Tohar selalu sangat bersikeras mempelajari kepribadian budaya Muhammad, psikologi manusia Muhammad, geniusitas dan kebersahajaan pribadi Muhammad. Karena Kiai Tohar tidak bisa terus-menerus menyaksikan para pengikut Muhammad meremehkan manusia-Muhammad, menilai hampir semua adegan perjuangan beliau dengan take for granted “namanya juga Nabi”, “toh dia Nabi”, “lha wong Nabi”.
***

Sebagaimana semua sunnatullah, ilmu yang lurus-lurus hanyalah sebagian kecil. “Aurat” inilah yang sebagian besar manusia dan orang-orang sekolah tidak memperhatikannya, meskipun mereka selalu mengalami di dalam kehidupan nyata mereka.

Darurat Aurat ku”pause”kan pada tulisan ini, anak cucuku dan para jm kuajak masuk ke dalam rumah, menengok dunia luar dari jendela dalam. Kemudian kutuntaskan Daurat Aurat kembali sampai seri tulisan ke-40: berpuncak di Kepastian Wabal dan Fathu Maiyah.

Perhatikan milyaran pengikut Muhammad yang bergenerasi-generasi hingga sekarang diam-diam sebenarnya tidak memerlukan Muhammad. Coba perhatikan. Ada (1) ajaran Allah dititipkan Muhammad. Ada (2) pelantikan Allah atas kenabian dan kerasulan Muhammad. Dan ada (3) manusia Muhammad.

Para Ulama hanya sibuk memperkenalkan yang pertama dengan yang kedua sebagai pakaian, jubbah atau emblim. Yang disampaikan terutama hanya ajaran-ajaran yang toh dari dan milik Tuhan, di mana kenabian dan kerasulan digunakan untuk legitimasi dan pemantapan hati pengikutnya. Pada hakekatnya, karena yang sampai hanya ajaran, sebenarnya Tuhan menitipkannya kepada bukan Muhammad juga tidak masalah. Andaikan Tuhan memutuskan bahwa yang dititipi adalah Marzuki, Kruschev atau Kardjo, tidak ada persoalan yang timbul.

Kalau kita pakai lagi idiom mangga dan pelok, maka pengikut Muhammad hanya menikmati paket irisan mangga dari Tuhan, terserah siapa yang disuruh membawanya ke ummat manusia. para pengikut Muhammad tidak waspada bahwa inti makna sejarah mangga adalah pada peloknya. Karena pekerjaan ummat manusia adalah Ta’dib: berkebun peradaban dan bercocok tanam kebudayaan di muka bumi, menanam, menyirami, memelihara, menjaga, hingga memetik buah hasil panennya, dengan bersabar diuji oleh hama-hama, cuaca buruk dan para pencuri – tapi untuk kemudian menanam lagi dan menanam lagi.

Itupun, sekedar untuk mengingatkan orang Maiyah, bahwa milyaran pengikut Muhammad itu tidak benar-benar menikmati manis dan sedapnya mangga. Semakin banyak pemimpin agama yang menyaring buah mangga dengan disisakan hanya serat-serat fiqih dan dimensi hukumnya. Seolah-olah agama hanya berdimensi hukum, tanpa terapan muamalah kebudayaan yang mengamankan dan memberi nikmat. Seolah-olah agama hanya tombol pencetan on-off yang menggerakkan atau menghentikan milyaran robot-robot pengikut Muhammad.

Yang dititipkan oleh Tuhan lewat Muhammad bukan hamparan sawah ladang, melainkan pagar-pagar, tembok-tembok, dinding-dinding, batasan-batasan yang penuh trauma dan dikte, dakwah yang menakutkan, tabligh yang mengerikan, ancaman neraka dan syarat yang hampir mustahil terpenuhi untuk mendapatkan sorga. Bahkan para pengikut Muhammad tidak diberi pembiasaan menghayati keputusan dimensi Wajib dan kemuliaan Sunnat. Karena domainnya hanya “Halal-Haram”.

Semakin hari, semakin lama, semakin udzur zaman dan peradaban, akhirnya semakin terjelaskan bahwa dari Tuhan, melalui Muhammad, yang sampai ke ummat kebanyakan bukan ‘daging’ mangga, melainkan kulitnya. Ibadahnya kulit, pemikirannya kulit, analisisnya kulit, tafsirnya kulit, pelaksanaannya juga kulit. Padahal daripada memberi dan menyebar kulit mangga yang hanya sangat sedikit manusia, kenapa tidak membagi-bagikan pelok saja dari Al-Quran, agar milyaran pengikut Muhammad itu bercocok tanam mangga peradaban.

Maka sekali lagi salah satu paket hijrah Maiyah adalah memulai sungguh-sungguh belajar mempelajari, mendalami, menghayati, hingga insyaallah mentakjubi kemanusiaan Muhammad, karakter luar biasa Muhammad sebagai manusia, kasih sayang sosialnya, kemurahan hatinya, kelembutan sikapnya, jiwa kedermawanannya, kecenderungannya yang sangat tinggi untuk memudahkan proses kehidupan setiap manusia, dan berpuluh-puluh tonjolan karakter beliau.

Para pengikut Muhammad tidak cukup hanya makan mangga, atau seratnya, atau ternyata kulitnya, tanpa menghayati asal usul mangga. Tidak bisa makan nasi tanpa ingat para petani yang menanam padi. Tidak bisa makan buah apapun tanpa mengapresiasi tukang-tukang kebunnya.

Tidak sopan dan tidak berakhlak orang Maiyah menikmati makanan minuman tanpa menghayati asal-usulnya, memahami susah payah, suka duka, gembira dan derita, riuh rendah dan kesengsaraan orang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan berat hingga makanan dan minuman itu menjadi ada dan dinikmati.

Semakin para pengikut Muhammad menghayati kehidupan manusia-Muhammad, semakin meningkat karakter rahmatan lil’alamin mereka.

Semakin mereka mengerti dan seolah mengalami sendiri kualitas kemanusiaan Muhammad — meskipun itu juga berasal dari Tuhan — semakin mereka menemukan yang dipilih menjadi Puncak Universal Kenabian semua Nabi dan puncak Managemen Global segala Rasul: adalah memang harus beliau. Harus beliau. Tidak bisa Kardjo, tidak mungkin Kruschev dan mustahil Marzuki.

Demikian juga hakikinya dialektika Maiyah dengan para pelakunya.


Dari cn kepada anak-cucu dan jm
21 Pebruari 2016

sumber :  https://www.caknun.com/2016/ajaran-kulit-mangga/

Melatih Ketidaklayakan 
Mendidik Ketidakpantasan - Daur I No.020

Melatih Ketidaklayakan

Mendidik Ketidakpantasan

 •   •  Dibaca normal 3 menit

ni semacam dongeng sebelum tidur buat anak cucuku dan para jm. Kita tergeletak berjajar di lantai Langgar. Lampu sudah dimatikan, kuharap di tengah dongengku jangan tiba-tiba kudengar ada yang mengorok. Memang suaraku kubikin agak pelan, karena orang-orang yang di luar Langgar tidak memerlukan dongeng ini. Meskipun demikian jangan sampai terjadi nanti aku mendongeng berkepanjangan, ternyata kalian sudah tidur semua.

Pada zaman dulu ada seorang pengurus tertinggi sebuah negeri yang memilih para staf atau punggawa-punggawanya menggunakan Ngelmu Katuranggan.

Turangga artinya kuda. Para pemelihara kuda meneliti dan memahami bermacam-macam karakter kuda, kecenderungannya, bakatnya, staminanya, daya juangnya, mentalnya dan seluruh unsur-unsur kejiwaan dan jasadnya. Peta pemahaman terhadap kuda ini ternyata kemudian bisa diterapkan secara relatif kepada keberagaman manusia.

Sebuah negeri punya urusan yang beraneka-aneka. Pertanian, perekonomian, politik, kebudayaan, pertahanan dan berpuluh pembidangan lainnya. Si pengurus tertinggi negeri itu tidak sekedar mengidentifikasi para bawahannya berdasarkan ciri pribadi atau kecenderungan karakternya. Tetapi juga mempetakan perjodohan setiap orang dengan urusan-urusan yang harus ditangani bersama.

Perjodohan tidak berlangsung hanya antara lelaki dengan wanita. Bisa juga antara manusia dengan hewan peliharaan. Antara setiap orang dengan arah dan mata angin, dengan jenis rumah, dengan susunan pintu, tembok, kamar dan susunan depan belakangnya timur baratnya. Apakah itu takhayul? Klenik? Gugon-tuhon? Khurafat?
***

Jawabannya: ya.

Kalau yang memberlakukan pola-pola itu tidak mendasarinya dengan dua hal. Pertama, pengetahuan yang dibangun dengan penelitian, baik secara ilmiah modern maupun secara titen-tradisional. Ia memilih dan mempercayainya secara buta dan dengan keyakinan yang tanpa nalar. Kedua, pemahaman bahwa Allah menciptakan besar kecil, atas bawah, arah-arah, panas dingin, kemarin dan besok, jasad dan udara, juga antara apapun dengan apapun — semua itu dengan suatu konsep. Tuhan menyusun itu semua dengan kemauan yang jelas. Tuhan menempatkan, menjauhkan, mendekatkan, menempelkan, merenggangkan, antara apapun dengan apapun. Semua itu empan-papan dan dengan maqamat yang terang benderang di pandangan Penciptanya.

Termasuk gagasan Tuhan tentang anomali. Tentang perkecualian dan pengecualian. Illalladzina… kecuali mereka yang….

Dan pengurus tertinggi negeri yang kuceritakan ini sangat berhati-hati membaca jodoh tak jodoh itu. Sangat waspada terhadap ketepatan, kelayakan, kepantasan. Misalnya ketika semua teori komunikasi meyakini rumusan bahwa seorang petugas hubungan masyarakat adalah orang yang fasih berbicara, yang lancar mengemukakan sesuatu, yang mumpuni kadar kemampuannya untuk merangkum dan merangkai masalah-masalah — si pengurus tertinggi negeri ini melakukan yang sebaliknya.

Ia memilih punggawa komunikasi yang agak gagap, yang sangat lamban bicaranya, yang ekspressi wajah dan sorot matanya tidak sedap dipandang, yang setiap tampil selalu menghabiskan waktu yang panjang untuk informasi yang sedikit dan pendek.

Tentu saja pilihan ilmu dan metode yang terbalik itu bisa dilatarbelakangi oleh maksud baik ataupun oleh niat buruk. Tetapi bukan itu tekanan pembicaraan kita. Yang kita beber adalah batas pengertian tentang kelayakan, kepantasan, ketepatan, empan-papan.
***

Puluhan tahun ia mengurusi seluruh aspek negeri itu dengan pemahaman Katuranggan. Tidak sangat berhasil, tapi juga tidak bisa disebut gagal. Tidak selalu benar, dan bahkan banyak salahnya. Tidak pasti baik, bahkan sangat mudah orang mencari buruknya.

Tetapi minimal ia meletakkan lembu untuk menarik gerobak. Kerbau untuk membajak sawah. Memakai wuwu atau jala untuk menjaring ikan, meskipun ia tidak tertutup pada kemungkinan pukat harimau dan kapal besar pengeruk ikan. Dalam mengurusi segala sesuatu, ia selalu sangat berhati-hati meletakkan orang atau sesuatu, berdasarkan pemahaman Katuranggan, ditambah Ngelmu Pranotomongso. Ilmu tentang momentum. Tentang ketepatan waktu, di sisi ilmu tentang ketepatan ruang dan isi ruang.

Sesudah yang saya ceritakan ini, berikut-berikutnya ada pengurus tertinggi negeri yang lain yang tidak berpendapat bahwa ketepatan itu perlu. Atau minimal pengurus tertinggi yang ini punya pandangan progresif bahwa ketepatan, kelayakan, kepantasan dan empan-papan tidak selalu terikat pada ilmu baku Katuranggan dan Pranotomongso.

Ada sesuatu yang tampak tidak tepat tapi kemudian malah menghasilkan ketepatan. Bahkan ada ketidaktepatan yang justru merupakan suatu jenis ketepatan. Orang yang pekerjaan sehari-harinya menyabit rumput dan menggembalakan kambing dijadikan ketua nelayan. Jago rally motor diberi tanggung jawab nyetir truk antar kota. Bahkan orang yang badannya sakit-sakitan disuruh jadi ketua perguruan silat, hafidh Quràn diamanati jadi kepala teknologi.

Sejak itu penduduk seluruh negeri dibiasakan untuk melihat, merasakan dan mengalami banyak hal yang tidak empan-papan. Masyarakat dilatih untuk memaklumi ketidaktepatan. Rakyat dididik untuk terbiasa menelan ketidakpantasan.

Sejak itu sampai hari ini semua orang terbiasa memaafkan pelanggaran-pelanggaran hahekat hidup. Terbiasa memaklumi jagoan pasar menjadi wakil rakyat. Terlatih untuk permisif untuk ibarat orang shalat berjamaah: diimami oleh orang yang dalam keadaan najis mugholladloh.

Sejak itu rakyat tidak merasa heran melihat siapapun menjadi apapun. Kursi pemimpin, Kiai, pejabat, tokoh dan apapun yang tinggi-tinggi boleh diisi oleh siapapun tanpa hitungan kelayakan, kredibilitas, hak ilmiah, proporsi nalar atau pola logika ekspertasi, kepantasan budaya maupun kelayakan sosial.
Sejak itu budak boleh jadi raja, raja tak mengherankan ketika melorot jadi budak. Sejak itu kebun-kebun buah dititipkan kepada kera-kera. Sejak itu kumpulan perampok dipasrahi mengamankan gudang dari maling-maling.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
Yogya 22 Februari 2016

Sumber : https://www.caknun.com/2016/melatih-ketidaklayakan-mendidik-ketidakpantasan/