Interupsi Markesot ( Daur I - 27)
Masih tersisa empat belas tulisan lagi untuk dibacakan. Tapi rupanya
Markesot sudah tidak bisa menahan diri melihat perkembangan situasi di
ruangan itu bersama empat puluh orang teman-temannya.
Mendadak ia berdiri.
Markesot melepas ikat pinggangnya, yang ternyata adalah cambuk.
Berjalan keliling ruang, terkadang melompat ke berbagai arah. Tertawa.
Panjang. Sesekali sampai terguncang-guncang.
Kemudian terdengar suara ledakan-ledakan, memecah kesunyian di
ruangan itu. Markesot meletus-letuskan dan meledak-ledakkan cambuknya.
Seperti pesta mercon. Atau deretan bunyi semacam tembakan-tembakan
senjata api. Ada yang seperti suara mercon banting, tiba-tiba di
sela-selanya ada ledakan agak besar. Semua bercampur aduk dengan suara
tertawa Markesot.
Suara tertawa
Markesot terkadang menggelikan, di saat lain
mengerikan. Seperti tertawa orang yang sedang menjumpai sesuatu yang
sangat lucu, tapi kemudian tiba-tiba suara tertawa itu berubah aneh,
seakan berasal dari dunia yang lain yang asing sama sekali bagi yang
mendengarnya.
Tertawa Markesot berganti-ganti mengungkapkan rasa lucu, kegembiraan,
kesedihan, putus asa, atau campur aduk antara berbagai macam situasi
jiwanya.
***
Tentu saja empat puluh orang yang berada di dalam ruangan itu kalang kabut.
Tujuh orang di antara mereka, dikagetkan oleh letusan dan ledakan
bertubi-tubi itu ketika sedang duduk tertib dan khusyu’. Tetapi
kekagetan itu tidak membuat mereka beranjak. Mereka hanya menggerakkan
kedua tangannya untuk menutupi kedua telinganya, sambil memejamkan mata
dan menundukkan kepala.
Masalahnya, tiga puluh tiga orang yang lain sedang tidur pulas ketika
ledakan itu memecah kesunyian di ruangan itu. Reaksi mereka
bermacam-macam ketika mendadak mereka dibangunkan oleh festival letusan
dan hantaman ledakan itu.
Ada yang langsung terduduk, wajahnya kebingungan, matanya kosong
menoleh ke kiri dan kanan. Ada yang dari posisi berbaringnya langsung
berdiri dan memasang kuda-kuda silat seakan-akan sedang diserbu mendadak
oleh Pendekar Kedung Prewangan, bertiga dengan Kiai Singorodra dan Mbah
Kalibuntu.
Bahkan ada yang dari keadaan tidur, dalam hitungan sekon langsung
melompat keluar ruangan dengan tangannya memutar-mutar kalung rantai
besi yang diambil dari lingkaran pinggang di balik bajunya.
Sebagian dari mereka ada yang kaget oleh ledakan-ledakan, duduk
dengan mata masih tertutup, sesaat kemudian tidur berbaring lagi. Yang
lebih hebat lagi, beberapa orang hanya membuka matanya sejenak dengan
sedikit menggerakkan kepala, kemudian tidur lagi.
Dan yang paling hebat dari empat puluh orang itu adalah mayoritas di
antara mereka yang sama sekali tidak terusik oleh mercon atau tembakan,
letusan atau ledakan, sekali atau berkali-kali. Mereka sangat tenang.
Nyenyak tidurnya tak terusik. Telinganya kebal, gendangnya dilapisi oleh
semacam plastik tebal hasil teknologi modern.
***
Padahal cukup lama bunyi tembakan dan mercon itu terdengar menyiksa
ruangan. Bahkan ada saat-saat ledakan cambuk Markesot itu menggelegar
seperti datang dari langit. Lebih dekat dibanding suara letusan gunung
yang justru terdengar agak sayup dari kejauhan.
Terasa sekali ada ledakan yang sejatinya bukan suara ujung cambuk
yang dihentakkan oleh tangan yang kokoh perkasa, melainkan ledakan kawah
amarah jauh dari kedalaman jiwa
Markesot. Seluruh jagat raya termuat di
dalam ruh manusia. Ledakan yang khusus itu seakan-akan adalah gabungan
antara kemarahan dari pusat Bumi dan halilintar sambutan persetujuan
dari langit.
Ledakan pada tingkat itu mestinya terdengar dari luar ruangan rumah
perkumpulan empat puluh orang itu. Tapi mungkin juga tidak sama sekali.
Itu bergantung pada sikap udara di dalam ruangan itu serta di luar
rumah. Kalau udara berkemauan untuk menghantarkan suara itu, maka yang
di sekitar ruang itu akan mendengarnya. Tapi kalau udara terikat oleh
keputusan untuk tidak menghantarkannya ke luar rumah, dan cukup
mengedarkan suara itu di dalam ruangan rumah saja, maka demikianlah yang
terjadi.
Sikap dan keputusan si Udara itu untuk menghantarkan suara atau tidak
di sebuah skala ruang, bergantung pada perjanjian yang dilakukannya
dengan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan suara itu. Bergantung pada
perjanjian, atau pada kepatuhan udara kepada ini atau itu.
Termasuk jika udara mengambil keputusan sendiri berdasarkan
kedaulatannya sendiri. Letusan-letusan, ledakan-ledakan dan suara
tertawa
Markesot sedang menggaduhi ruangan, belum ada waktu untuk
mendiskusikan tema di sekitar keputusan si Udara. Termasuk dengan siapa
dan apa saja ia berkonstelasi, menyelenggarakan perundingan dan
mengambil keputusan. Atau siapa yang dipatuhi oleh Udara.
***
Kegaduhan itu kemudian berakhir pada satu bunyi ledakan sangat keras, menggelegar disertai gemerincing.
Sesudah ledakan terakhir yang bergemerincing itu,
Markesot berdiri di
salah satu pojok ruang, bertolak pinggang. Wajahnya meringis. Kemudian
tertawa lagi tapi tidak sungguh-sungguh, suara tertawa yang tidak
berasal dari unit mesin yang memproduksi tertawa dari dalam diri
Markesot.
Tapi akhirnya tertawa Markesot itu terputus mendadak. Markesot
berwajah sangat serius. Matanya menatap ke depan. Berkeliling sorot mata
itu menimpa satu per satu wajah demi wajah di ruangan itu, kemudian
berhenti dan macet di tubuh-tubuh bergeletakan yang tidur sangat pulas.
Dan itu adalah mayoritas di antara empat puluh sahabat-sahabat Markesot.
***
Mereka orang-orang yang sangat bahagia hidupnya. Istiqamah dalam
ketenteraman. Jantungnya terus menjalankan irama secara stabil, tidak
terganggu oleh peristiwa apapun di sekitar mereka.
Ritme ngorok mereka sangat mandiri. Nafas seratus persen teratur
keluar masuknya. Hati mereka tenang bagai ruang hampa. Pikiran mereka
tak bergeming oleh apapun saja. Secara keseluruhan jiwa mereka bagaikan
pertapa. Duduk di tikar ketenteraman, mentalnya tegak teguh bagaikan
pilar-pilar baja raksasa.
Andaikan ada gempa besar, didahului oleh letusan amarah gunung,
kemudian banjir lahar dingin bercampur asap amat panas dari neraka yang
dibocorkan ke permukaan bumi, mereka tidak berubah sedikit pun dari
ketenteramannya.
Mungkin mayoritas inilah yang dimaksudkan oleh Tuhan tatkala memanggil hamba-hambaNya:
“Wahai
jiwa yang tenteram, kembalilah kepada Pengasuhmu dalam keadaan meridloi
dan diridloi. Ayo kalian berhimpunlah ke dalam golongan-Ku dan masuklah
ke dalam sorga-Ku”.
***
Sambil menatap wajah-wajah mereka dan merenungi kedalaman suasana
yang beberapa jam ini tadi berlangsung,
Markesot mengeluh kepada dirinya
sendiri:
“Ternyata begini ini dunia. Tidak sejauh ini aku
menyangka tentang remehnya manusia. Dan kehidupan yang Tuhan kehendaki
ini ternyata jauh lebih bersahaja. Sampai setua ini tetap saja aku salah
kuda-kuda….”
Sesungguhnya yang terjadi bukanlah
Markesot menginterupsi pembacaan
tulisan-tulisan dan suasana di ruangan itu, tetapi aslinya Markesot
sedang menginterupsi proses pemikiran dan penghayatan hidup di dalam
dirinya sendiri.
https://www.caknun.com/2016/interupsi-markesot/
Daur I No. 27