Kamis, 10 Mei 2018

Ajaran Kulit Mangga - Daur I No.019

Ajaran Kulit Mangga

 •   •  Dibaca normal 3 menit



Itulah sebabnya Syekh Nursamad jauh sebelum dipersatukan dengan Maiyah dituntun Allah untuk berkonsentrasi pada penulisan “Sirah Rasul”, karena berabad-abad ummat manusia terlalu ditenggelamkan hanya di dalam lautan teks hadits, dan sangat sedikit mengetahui, menghayati, menikmati, mendalami dan mentakjubi kisah-kisah Muhammad sebagai manusia.

Itulah sebabnya Kiai Tohar selalu sangat bersikeras mempelajari kepribadian budaya Muhammad, psikologi manusia Muhammad, geniusitas dan kebersahajaan pribadi Muhammad. Karena Kiai Tohar tidak bisa terus-menerus menyaksikan para pengikut Muhammad meremehkan manusia-Muhammad, menilai hampir semua adegan perjuangan beliau dengan take for granted “namanya juga Nabi”, “toh dia Nabi”, “lha wong Nabi”.
***

Sebagaimana semua sunnatullah, ilmu yang lurus-lurus hanyalah sebagian kecil. “Aurat” inilah yang sebagian besar manusia dan orang-orang sekolah tidak memperhatikannya, meskipun mereka selalu mengalami di dalam kehidupan nyata mereka.

Darurat Aurat ku”pause”kan pada tulisan ini, anak cucuku dan para jm kuajak masuk ke dalam rumah, menengok dunia luar dari jendela dalam. Kemudian kutuntaskan Daurat Aurat kembali sampai seri tulisan ke-40: berpuncak di Kepastian Wabal dan Fathu Maiyah.

Perhatikan milyaran pengikut Muhammad yang bergenerasi-generasi hingga sekarang diam-diam sebenarnya tidak memerlukan Muhammad. Coba perhatikan. Ada (1) ajaran Allah dititipkan Muhammad. Ada (2) pelantikan Allah atas kenabian dan kerasulan Muhammad. Dan ada (3) manusia Muhammad.

Para Ulama hanya sibuk memperkenalkan yang pertama dengan yang kedua sebagai pakaian, jubbah atau emblim. Yang disampaikan terutama hanya ajaran-ajaran yang toh dari dan milik Tuhan, di mana kenabian dan kerasulan digunakan untuk legitimasi dan pemantapan hati pengikutnya. Pada hakekatnya, karena yang sampai hanya ajaran, sebenarnya Tuhan menitipkannya kepada bukan Muhammad juga tidak masalah. Andaikan Tuhan memutuskan bahwa yang dititipi adalah Marzuki, Kruschev atau Kardjo, tidak ada persoalan yang timbul.

Kalau kita pakai lagi idiom mangga dan pelok, maka pengikut Muhammad hanya menikmati paket irisan mangga dari Tuhan, terserah siapa yang disuruh membawanya ke ummat manusia. para pengikut Muhammad tidak waspada bahwa inti makna sejarah mangga adalah pada peloknya. Karena pekerjaan ummat manusia adalah Ta’dib: berkebun peradaban dan bercocok tanam kebudayaan di muka bumi, menanam, menyirami, memelihara, menjaga, hingga memetik buah hasil panennya, dengan bersabar diuji oleh hama-hama, cuaca buruk dan para pencuri – tapi untuk kemudian menanam lagi dan menanam lagi.

Itupun, sekedar untuk mengingatkan orang Maiyah, bahwa milyaran pengikut Muhammad itu tidak benar-benar menikmati manis dan sedapnya mangga. Semakin banyak pemimpin agama yang menyaring buah mangga dengan disisakan hanya serat-serat fiqih dan dimensi hukumnya. Seolah-olah agama hanya berdimensi hukum, tanpa terapan muamalah kebudayaan yang mengamankan dan memberi nikmat. Seolah-olah agama hanya tombol pencetan on-off yang menggerakkan atau menghentikan milyaran robot-robot pengikut Muhammad.

Yang dititipkan oleh Tuhan lewat Muhammad bukan hamparan sawah ladang, melainkan pagar-pagar, tembok-tembok, dinding-dinding, batasan-batasan yang penuh trauma dan dikte, dakwah yang menakutkan, tabligh yang mengerikan, ancaman neraka dan syarat yang hampir mustahil terpenuhi untuk mendapatkan sorga. Bahkan para pengikut Muhammad tidak diberi pembiasaan menghayati keputusan dimensi Wajib dan kemuliaan Sunnat. Karena domainnya hanya “Halal-Haram”.

Semakin hari, semakin lama, semakin udzur zaman dan peradaban, akhirnya semakin terjelaskan bahwa dari Tuhan, melalui Muhammad, yang sampai ke ummat kebanyakan bukan ‘daging’ mangga, melainkan kulitnya. Ibadahnya kulit, pemikirannya kulit, analisisnya kulit, tafsirnya kulit, pelaksanaannya juga kulit. Padahal daripada memberi dan menyebar kulit mangga yang hanya sangat sedikit manusia, kenapa tidak membagi-bagikan pelok saja dari Al-Quran, agar milyaran pengikut Muhammad itu bercocok tanam mangga peradaban.

Maka sekali lagi salah satu paket hijrah Maiyah adalah memulai sungguh-sungguh belajar mempelajari, mendalami, menghayati, hingga insyaallah mentakjubi kemanusiaan Muhammad, karakter luar biasa Muhammad sebagai manusia, kasih sayang sosialnya, kemurahan hatinya, kelembutan sikapnya, jiwa kedermawanannya, kecenderungannya yang sangat tinggi untuk memudahkan proses kehidupan setiap manusia, dan berpuluh-puluh tonjolan karakter beliau.

Para pengikut Muhammad tidak cukup hanya makan mangga, atau seratnya, atau ternyata kulitnya, tanpa menghayati asal usul mangga. Tidak bisa makan nasi tanpa ingat para petani yang menanam padi. Tidak bisa makan buah apapun tanpa mengapresiasi tukang-tukang kebunnya.

Tidak sopan dan tidak berakhlak orang Maiyah menikmati makanan minuman tanpa menghayati asal-usulnya, memahami susah payah, suka duka, gembira dan derita, riuh rendah dan kesengsaraan orang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan berat hingga makanan dan minuman itu menjadi ada dan dinikmati.

Semakin para pengikut Muhammad menghayati kehidupan manusia-Muhammad, semakin meningkat karakter rahmatan lil’alamin mereka.

Semakin mereka mengerti dan seolah mengalami sendiri kualitas kemanusiaan Muhammad — meskipun itu juga berasal dari Tuhan — semakin mereka menemukan yang dipilih menjadi Puncak Universal Kenabian semua Nabi dan puncak Managemen Global segala Rasul: adalah memang harus beliau. Harus beliau. Tidak bisa Kardjo, tidak mungkin Kruschev dan mustahil Marzuki.

Demikian juga hakikinya dialektika Maiyah dengan para pelakunya.


Dari cn kepada anak-cucu dan jm
21 Pebruari 2016

sumber :  https://www.caknun.com/2016/ajaran-kulit-mangga/

Melatih Ketidaklayakan 
Mendidik Ketidakpantasan - Daur I No.020

Melatih Ketidaklayakan

Mendidik Ketidakpantasan

 •   •  Dibaca normal 3 menit

ni semacam dongeng sebelum tidur buat anak cucuku dan para jm. Kita tergeletak berjajar di lantai Langgar. Lampu sudah dimatikan, kuharap di tengah dongengku jangan tiba-tiba kudengar ada yang mengorok. Memang suaraku kubikin agak pelan, karena orang-orang yang di luar Langgar tidak memerlukan dongeng ini. Meskipun demikian jangan sampai terjadi nanti aku mendongeng berkepanjangan, ternyata kalian sudah tidur semua.

Pada zaman dulu ada seorang pengurus tertinggi sebuah negeri yang memilih para staf atau punggawa-punggawanya menggunakan Ngelmu Katuranggan.

Turangga artinya kuda. Para pemelihara kuda meneliti dan memahami bermacam-macam karakter kuda, kecenderungannya, bakatnya, staminanya, daya juangnya, mentalnya dan seluruh unsur-unsur kejiwaan dan jasadnya. Peta pemahaman terhadap kuda ini ternyata kemudian bisa diterapkan secara relatif kepada keberagaman manusia.

Sebuah negeri punya urusan yang beraneka-aneka. Pertanian, perekonomian, politik, kebudayaan, pertahanan dan berpuluh pembidangan lainnya. Si pengurus tertinggi negeri itu tidak sekedar mengidentifikasi para bawahannya berdasarkan ciri pribadi atau kecenderungan karakternya. Tetapi juga mempetakan perjodohan setiap orang dengan urusan-urusan yang harus ditangani bersama.

Perjodohan tidak berlangsung hanya antara lelaki dengan wanita. Bisa juga antara manusia dengan hewan peliharaan. Antara setiap orang dengan arah dan mata angin, dengan jenis rumah, dengan susunan pintu, tembok, kamar dan susunan depan belakangnya timur baratnya. Apakah itu takhayul? Klenik? Gugon-tuhon? Khurafat?
***

Jawabannya: ya.

Kalau yang memberlakukan pola-pola itu tidak mendasarinya dengan dua hal. Pertama, pengetahuan yang dibangun dengan penelitian, baik secara ilmiah modern maupun secara titen-tradisional. Ia memilih dan mempercayainya secara buta dan dengan keyakinan yang tanpa nalar. Kedua, pemahaman bahwa Allah menciptakan besar kecil, atas bawah, arah-arah, panas dingin, kemarin dan besok, jasad dan udara, juga antara apapun dengan apapun — semua itu dengan suatu konsep. Tuhan menyusun itu semua dengan kemauan yang jelas. Tuhan menempatkan, menjauhkan, mendekatkan, menempelkan, merenggangkan, antara apapun dengan apapun. Semua itu empan-papan dan dengan maqamat yang terang benderang di pandangan Penciptanya.

Termasuk gagasan Tuhan tentang anomali. Tentang perkecualian dan pengecualian. Illalladzina… kecuali mereka yang….

Dan pengurus tertinggi negeri yang kuceritakan ini sangat berhati-hati membaca jodoh tak jodoh itu. Sangat waspada terhadap ketepatan, kelayakan, kepantasan. Misalnya ketika semua teori komunikasi meyakini rumusan bahwa seorang petugas hubungan masyarakat adalah orang yang fasih berbicara, yang lancar mengemukakan sesuatu, yang mumpuni kadar kemampuannya untuk merangkum dan merangkai masalah-masalah — si pengurus tertinggi negeri ini melakukan yang sebaliknya.

Ia memilih punggawa komunikasi yang agak gagap, yang sangat lamban bicaranya, yang ekspressi wajah dan sorot matanya tidak sedap dipandang, yang setiap tampil selalu menghabiskan waktu yang panjang untuk informasi yang sedikit dan pendek.

Tentu saja pilihan ilmu dan metode yang terbalik itu bisa dilatarbelakangi oleh maksud baik ataupun oleh niat buruk. Tetapi bukan itu tekanan pembicaraan kita. Yang kita beber adalah batas pengertian tentang kelayakan, kepantasan, ketepatan, empan-papan.
***

Puluhan tahun ia mengurusi seluruh aspek negeri itu dengan pemahaman Katuranggan. Tidak sangat berhasil, tapi juga tidak bisa disebut gagal. Tidak selalu benar, dan bahkan banyak salahnya. Tidak pasti baik, bahkan sangat mudah orang mencari buruknya.

Tetapi minimal ia meletakkan lembu untuk menarik gerobak. Kerbau untuk membajak sawah. Memakai wuwu atau jala untuk menjaring ikan, meskipun ia tidak tertutup pada kemungkinan pukat harimau dan kapal besar pengeruk ikan. Dalam mengurusi segala sesuatu, ia selalu sangat berhati-hati meletakkan orang atau sesuatu, berdasarkan pemahaman Katuranggan, ditambah Ngelmu Pranotomongso. Ilmu tentang momentum. Tentang ketepatan waktu, di sisi ilmu tentang ketepatan ruang dan isi ruang.

Sesudah yang saya ceritakan ini, berikut-berikutnya ada pengurus tertinggi negeri yang lain yang tidak berpendapat bahwa ketepatan itu perlu. Atau minimal pengurus tertinggi yang ini punya pandangan progresif bahwa ketepatan, kelayakan, kepantasan dan empan-papan tidak selalu terikat pada ilmu baku Katuranggan dan Pranotomongso.

Ada sesuatu yang tampak tidak tepat tapi kemudian malah menghasilkan ketepatan. Bahkan ada ketidaktepatan yang justru merupakan suatu jenis ketepatan. Orang yang pekerjaan sehari-harinya menyabit rumput dan menggembalakan kambing dijadikan ketua nelayan. Jago rally motor diberi tanggung jawab nyetir truk antar kota. Bahkan orang yang badannya sakit-sakitan disuruh jadi ketua perguruan silat, hafidh Quràn diamanati jadi kepala teknologi.

Sejak itu penduduk seluruh negeri dibiasakan untuk melihat, merasakan dan mengalami banyak hal yang tidak empan-papan. Masyarakat dilatih untuk memaklumi ketidaktepatan. Rakyat dididik untuk terbiasa menelan ketidakpantasan.

Sejak itu sampai hari ini semua orang terbiasa memaafkan pelanggaran-pelanggaran hahekat hidup. Terbiasa memaklumi jagoan pasar menjadi wakil rakyat. Terlatih untuk permisif untuk ibarat orang shalat berjamaah: diimami oleh orang yang dalam keadaan najis mugholladloh.

Sejak itu rakyat tidak merasa heran melihat siapapun menjadi apapun. Kursi pemimpin, Kiai, pejabat, tokoh dan apapun yang tinggi-tinggi boleh diisi oleh siapapun tanpa hitungan kelayakan, kredibilitas, hak ilmiah, proporsi nalar atau pola logika ekspertasi, kepantasan budaya maupun kelayakan sosial.
Sejak itu budak boleh jadi raja, raja tak mengherankan ketika melorot jadi budak. Sejak itu kebun-kebun buah dititipkan kepada kera-kera. Sejak itu kumpulan perampok dipasrahi mengamankan gudang dari maling-maling.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
Yogya 22 Februari 2016

Sumber : https://www.caknun.com/2016/melatih-ketidaklayakan-mendidik-ketidakpantasan/


Hijrah Maiyah - Daur I No.018

Hijrah Maiyah

 •   •  Dibaca normal 3 menit

Rasulullah saw tidak bisa mengatasi tantangan di Mekkah, maka beliau berhijrah ke Madinah. Kita tidak mampu mengatasi masalah di negeri ini, maka kita berhijrah ke Maiyah.

Untuk diketahui, tulisan ini, mungkin juga berikutnya, merupakan lanjutan alur tema Darurat Aurat, tapi secara teknis diberi judul yang lebih mendekatkan kepada muatan khususnya.

Dalam Perang Uhud pasukan Islam kalah. Tetapi letak kekalahannya tidak terutama pada kekalahan dari musuh, sampai Rasulullah terluka dan dievakuasi ke sebuah celah di bukit Uhud, sampai-sampai Punggawa Uhud menawarkan untuk menggugurkan batu-batunya untuk menumpas pasukan musuh.

Letak kekalahan pasukan Islam di Uhud adalah karena mereka memenangkan nafsu dan mengalahkan dua hal lainnya: pertama perhitungan rasional Rasulullah agar mereka jangan turun bukit, meskipun musuh sudah lari tunggang langgang. Kedua, kepatuhan dan kepercayaan kepada Rasulullah disekunderkan dari pendapat dan nafsu mereka untuk menuruni bukit.

Maiyah kalah kalau parameternya adalah kekuatan politik, ekonomi dan militer. Bahkan di ranah media maya pun musuh berkeliaran bebas menghardik membuli memfitnah. Tetapi itu bukan kekalahan meskipun juga belum kemenangan, jika parameternya adalah Perang Badar: “Kita baru saja pulang dari sebuah peperangan kecil, dan sekarang memasuki peperangan besar”. Yakni perang melawan nafsu.

Nafsu? Apa itu? Konteksnya apa saja? Skalanya seberapa? Dalam konteks Maiyah nafsu adalah seluruh himpunan semangat untuk mengubah zaman, namun tidak memverifikasikan dirinya kepada muhasabah ‘aqliyah, perhitungan akal. Ialah “misbah”, cita-cita suci, niat dan visi jauh ke depan yang dibersamai oleh sunnatullah dan qudrotullah, tapi masih mengutamakan formula dan imajinasi “karepku”, bukan tekun mempelajari “kehendak-Ku” minimal “kehendak-Nya”.

Kalau engkau Rasul Nabi atau Auliya’ullah, bisa langsung bersesuaian “misbah”mu dengan “kehendak-Nya”. Tapi warga Maiyah adalah al‘Ummiyyin, kita awam dan faqir ‘inda-Hu. Koordinat kita pada titik aktivasi “zujajah”. Pembongkaran mesin akal dari kemapanan dan kebekuan hasil pendidikan zaman.

Maiyah mendidik diri sendiri untuk yang disebut Sabrang “sudut pandang, sisi pandang, jarak pandang, dimensi pandang, perspektif pandang”. Melakukan pelatihan dan pembelajaran “berpikir linier, zigzag hingga spiral dan siklikal”. Namun tetap dalam maqamat yang disebut Kiai Tohar “kita orang biasa, dengan kesaksian dan gerakan orang biasa”.

Orang Maiyah tidak rendah diri untuk menemukan dirinya tidak berdaya atas sesuatu hal, dan tidak menjadi mungguh menyangka dirinya berdaya atas hal lain. Orang Maiyah tidak memfokuskan pandangan dan gerakannya pada perjalanan dirinya sendiri, melainkan pada Tuhan dan penugasan-Nya.

Tetapi itu tidak berarti mengabaikan pembenci yang bebas merdeka menginjak martabatnya. Sebab orang Maiyah pelaku tauhid, bergerak menyatukan diri dengan Maha Sangkan dan Maha Paran. Maka martabatnya orang Maiyah yang diinjak adalah martabat Sang Maha Sangkan dan Sang Maha Paran itu sendiri.

Tidak karena si Boss bermurah hati “Sopir, tak perlu kejar penjambret itu, dia butuh makan, kita masih bisa beli spion”, sesudah spion mobil Boss dijambret – maka pada penjambretan kedua si sopir menoleh ke Boss “nggak apa-apa ya Boss, saya nggak usah kejar penjambret itu, dia butuh makan dan Boss masih bisa beli spion”.

Maiyah menghadapi era sejarah penjambretan massal, nasional dan global. Mereka sendiri juga korban penjambretan. Kalau pakai parameter Uhud, Maiyah tidak punya kemampuan militer untuk meringkus masyarakat kelas penjambret. Tetapi kalau pakai kriteria Badar, orang-orang Maiyah yang mengalir bergelombang bergenerasi-generasi, sudah, sedang dan akan menuju kemenangan.

Maiyah tidak ikut menjambret, meskipun tidak sanggup menangkap dan mengalahkan kaum penjambret. Maiyah tidak mampu menyelesaikan masalah nasional bangsa dan negerinya, tetapi minimal mereka tidak menjadi masalah, apalagi menambah masalah kepada rakyat dan diri mereka sendiri.

Sesungguhnya tidak tepat-tepat amat disebut bahwa Maiyah tidak mampu menyelesaikan masalah penjambretan nasional. Maiyah memegang teguh suatu prinsip bebrayan horisontal, suatu pilihan watak dan akhlak untuk tidak “usil” kepada siapapun saja, sebesar apapun masalahnya. Masyarakat korban jambret belum pernah secara jahriyah atau transparan dan tegas memberi mandat kepada Maiyah untuk bergerak meringkus kelas penjambret.

Masyarakat korban jambret dan Negeri Jambret itu sendiri tidak benar-benar menganggap ada Maiyah, ada orang Maiyah, ada manusia Maiyah, ada Pasukan Maiyah. Jangankan lagi diapresiasi, dihargai atau dipercayai. Dan andaikanpun masyarakat korban jambret mengamanati Maiyah, orang-orang Maiyah baru akan bergerak sesudah lulus tabayyun secara vertikal. Tuhan menegaskan “kalian punya kehendak, Aku punya kehendak, yang berlaku adalah kehendak-Ku”.

Itulah sebabnya kupersilahkan Maiyah memasuki ruang dalam rumah sejarahku. Itulah sebabnya “saya” ku“aku”kan hingga saat tertentu. Kusingkap sedikit auratku.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
20 Februari 2016


Darurat Aurat (2) - Daur I No.017

Darurat Aurat (2)

 •   •  Dibaca normal 3 menit


Engkau dan aku terseret-seret penuh siksa dan derita antara kuburan ke Barzakh karena ternyata tak terkira hamparan dan tumpukan dosa-dosa kita selama hidup di dunia. Masih pula ditambah penderitaan tanpa penyelesaian menyaksikan keluarga kita bertengkar berperang tak habis-habisnya di permukaan bumi. Dendam dan kebencian membara di dalam dada semua golongan anak turun kita.

Anak-anak cucu kita saling lempar melempar caci maki, fitnah, dhonn, klaim dan segala macam jenis api kebodohan. Mereka bermusuhan dengan merasa saling mempertahankan kebenaran. Padahal kebenaran yang mereka maksud adalah kebenaran jadi-jadian yang direkayasa dan dicuciotakkan ke pikiran mereka. Kita merasa sangat sengsara rohani, melebihi nenek moyang anjing-anjing yang meratapi anak cucunya berebut tulang.

Anak cucumu yang inti justru tidak menjadi pengikutmu, karena mereka yakin bahwa sangat banyak pengikutmu yang sebenarnya mengibarkan bendera, ajaran dan nilai yang dulu bukan itu yang engkau kibarkan. Demikian juga anak turun intiku menyendiri dan menjauh dari gegap gempita orang-orang yang mengenal dirinya dan dikenal umum sebagai pengikutku. Karena anak turun intiku itu mengerti dan setia kepada warisan-warisan orisinal dariku.

Namamu dan namaku disebut-sebut, dikibar-kibarkan, dijadikan pangkal segala gerakan, program, penghimpunan dana dan apa saja yang mungkin mereka lakukan. Padahal gerakan yang mereka kerjakan bukanlah kontinuasi bukan resonansi bukan alur lanjutan dari nilai-nilai yang dulu kita tuturkan dan sebarkan.

Engkau yang melakukan perjalanan pendamaian di pelosok-pelosok, kini malah dikibarkan di altar sejarah sebagai tokoh eksklusivisme dan radikalisme, bahkan rasisme. Sementara aku yang tak pernah mendamaikan siapa-siapa, bahkan seringkali lingkungan yang kudatangi justru kemudian menjadi pecah dan bertengkar, kini diumumkan sebagai figur utama perdamaian antar ummat manusia.

Itu baru engkau dan aku. Sekali lagi, baru engkau dan aku. Engkau dan aku yang bukan siapa-siapa. Yang dunia tidak merasa kehilangan ketika kita mati, dan tidak merasa kita ada tatkala kita hidup. Baru engkau dan aku. Belum ribuan silang sengkarut lainnya yang skalanya besar, yang nasional dan global.

Siapkah keluarga kita yang hidup di dunia apabila disebutkan siapa namaku dan siapa namamu sebenarnya? Jelaskah di pandanganmu apa yang mungkin akan terjadi jika lembaran sejarah menyebut nama kita dengan fakta-fakta riil yang menyertainya?

Sekedar auratmu dan auratku, sudah menyimpan bara darurat yang kita ngeri membayangkannya. Belum lagi Indonesia dan NKRI, belum lagi Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur dan Megawati. Bahkan apa yang ada dan sedang bergulir di lingkup kecil Istana hari ini saja pun engkau harus mengauratinya. Sebab kebanyakan rakyat Indonesia lebih siap menyangga ketidaktahuan daripada pengetahuan.
Yang darurat aurat bukan hanya orang, tokoh atau figur. Juga fakta peristiwanya, substansi kejadiannya, hakekat peta masalahnya, lapisan-lapisan fakta samar di belakangnya.

Maka engkau kukasih pelok, bukan mangga.

Sebab aku tidak sedang berbicara kepadamu tentang orang, tentang tokoh, tentang pejabat, tentang pemimpin dan apapun yang dari atas sana banyak menyebarkan kegelapan dan penggelapan ke atap-atap rumah pengetahuanmu.

Pelok yang jangan dimakan tapi harus engkau tanam adalah hakekat persoalan dalam kehidupan. Lika-liku kenyataan. Lapisan-lapisan nilai. Jarak sangat jauh antara yang engkau ketahui dengan realitas yang sebenarnya. Suatu hakiki ilmu dan pengetahuan tentang probabilitas tak terbatas dalam perikehidupan manusia, yang kreativitasnya di abad ini sedang meningkat naik ke puncak kemunafikan, hipokrisi dan pemalsuan.

Kemunafikan yang kumaksud itu bukan sekedar peristiwa di dalam psikologi individu per manusia. Kemunafikan sudah diterjemahkan ke dalam sesuatu yang disebut dan kemudian dipercaya sebagai ideologi, visi missi, landasan pemikiran, program masa depan, bahkan Undang-undang, Surat Keputusan, Peraturan, bahkanpun sudah dieksplorasi ke dalam Buku-buku Pelajaran, informasi Media, kemudian melebar hingga obrolan di warung kopi, bengkel-bengkel motor dan tepian perempatan jalan.

Anak cucuku dan para jm untuk sementara tambahkan kata “pseudo” di depan setiap kata yang kau ingat. Pseudo-demokrasi, pseudo-Indonesia, pseudo-kepemimpinan, pseudo-halal dan banyak lagi. Bahkan ada kata, idiom dan nama-nama sosial yang engkau tandai semacam “X” dengan kata “bukan”. Misalnya bukan-negara, bukan-liberalisme, bukan-terorisme, bukan-madzhab dan lain sebagainya.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
19 Pebruari 2016

sumber : https://www.caknun.com/2016/darurat-aurat-2/


Darurat Aurat (1) - Daur I No.016

Darurat Aurat (1)

 •   •  Dibaca normal 3 menit

Tahukah engkau kenapa dalam tulisan-tulisan pribadiku kepada anak cucuku dan para jm tak kusebut nama, lembaga, pihak, atau identitas-identitas resmi lainnya?

Kenapa tak kujelaskan peta teknis permasalahannya, momentum, waktu dan wilayah kejadiannya? Kenapa kupakai kata atau idiom yang umum, universal, steril dan terkait seolah-olah hanya dengan sesuatu dan makhluk yang antah berantah?

Kenapa kupakai idiom si Brutal, si Pendamai, si Perusak, Saudara, serta kosakata-kosakata yang berlaku abstrak? Kenapa ketika misalnya aku tuturkan tentang ketidaklayakan atau ketidakpantasan, tidak kuproyeksikan secara kongkret ke suatu dataran realitas? Apa maksudnya itu? Ekspertasi kah? Kredibilitas pejabat kah? Keahlian dalam kepemimpinan kah?

Kenapa tidak kubeberkan fakta sebagaimana adanya? Bukankah “ungkapkan kebenaran, meskipun pahit”? Betapa gagah dan indahnya ungkapan itu. Bagaimana kalau kepahitan itu membuahkan amarah, dendam dan pertengkaran? Akibatnya kebenaran tak sampai, malah bertambah kemudlaratan? Bagaimana kalau pertengkaran itu bukan antar orang seorang, bahkan tak cukup antar kelompok, tetapi antar golongan yang besar, antar jumlah puluhan juta masyarakat?

Dari satu juta orang, berapa orangkah yang memilih pahit di antara rasa-rasa yang lain. Kalau engkau ambil keputusan minum jamu yang sangat pahit untuk dirimu sendiri, tak ada persoalan dengan siapapun saja. Tetapi kalau jamu pahit itu engkau cekokkan ke mulut orang, dan kalau jumlah orang yang dicekoki jamu itu berpuluh-puluh juta, menurutmu apa yang bisa terjadi?

Kakiku boleh pincang dan jidatmu boleh nonong, dan kita terima kepahitan itu dengan legowo dan ikhlas. Akan tetapi bolehkah orang-orang yang berpapasan dengan kita menyapa kita dengan si Pincang dan si Nonong? Bolehkah mereka menyebarkan berita bahwa kakiku pincang dan jidatmu nonong?

Suatu saat engkau dan aku mungkin terpeleset mencuri sesuatu dari tetangga. Kemudian setengah mati kita minta maaf dan mengembalikan barang yang kita curi. Pun kita rela kita dipecat dari jabatan kita karena mencuri, bahkan juga kita jalani hukuman. Lantas kita mati. Siapkah keluarga kita mendengar pergunjingan orang-orang di gardu-gardu di warung-warung bahwa almarhum itu dulu pencuri. Bahwa almarhum dulu itu melakukan sejumlah perusakan. Bahwa almarhum dulu merintis pembiasaan pada masyarakat untuk menerima ketidaklayakan dan ketidakpantasan?

Apa pula katamu jika ternyata keluarga kita dan semua pendukung kita tidak tahu bahwa kita pencuri. Atau hanya tahu sebagian dari kasus pencurian yang kita lakukan. Atau keluarga kita menjaga semacam pertahanan psikologis dan pagar martabat keluarga, sehingga sengaja atau tak sengaja selalu tidak mengakui bahwa kita dulu melakukan kesalahan-kesalahan.

Pertahanan psikologis dan martabat itu bahkan membuahkan inisiatif untuk membengkakkan upaya-upaya pencitraan tentang nama baik kita, namun sebagian besar bertentangan dengan fakta yang kita jalani ketika hidup dulu. Bahkan keluarga kita memonumenkan jasa-jasa kita yang sebenarnya mengandung manipulasi sejarah. Keluarga kita membangun arca wajah dan badan kita untuk mengabadikan kepahlawanan kita dalam sejarah yang sebenarnya mengandung kepalsuan dan pemalsuan.

Itu baru masalah engkau dan aku. Sekedar di antara engkau dan aku saja sudah penuh Darurat Aurat. Buah simalakama. Kalau kebenaran tidak dibuka, berdosa karena membuka aib aurat. Sementara kalau kebenaran harus diaurati, ditutupi, keluarga kita dan masyarakat akan buta selama-lamanya.

Padahal sejarah memuat ratusan bahkan ribuan kepalsuan dan pemalsuan, yang disembunyikan atau justru diresmikan secara kelembagaan. Buku Sejarah terdiri atas ribuan lembaran yang bertuliskan pembiasan fakta, pembalikan, distorsi, pengurangan dan penambahan, pengadaan yang tidak ada dan pentiadaan yang ada. Tak usah 700 atau 400 tahun yang lalu. Tak usah 100 atau 50 tahun silam. Bahkan tak usah 10 tahun kemarin: hari ini pun, dan besok pagi, berita-berita sudah diolah dan harus melewati mesin-mesin pemalsuan, pengkufuran dan kemunafikan.

Tidak usah merambah skala-skala besar rekayasa Kapitalisme, Sosialisme dan Islam musuh baru. Tak usah dakwah demokrasi penguasaan kilang-kilang minyak di negeri-negeri kelas dua dan tiga. Tidak usah sampai ke Illuminati dan Freemason. Tidak usah sampai perjudian dan perbotohan pemilihan Kepala Pemerintahan, dengan segala domino-domino rahasia di balik program-program pembangunan.

Cukup yang kecil saja, misalnya Bedug dan ziarah kubur. Engkau mempertengkariku karena tak setuju pada dua hal itu. Padahal pangkal mulanya dulu terbalik, justru Kiai panutanmu yang menganjurkannya, sementara Kiaiku tidak mencenderunginya. Dan setiap hari kita bertengkar seolah-olah kita sedang mempertahankan nyawa dari maut, seolah kita saling mempertahankan kekayaan sebuah benua.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
18 Pebruari 2016

Sumber : https://www.caknun.com/2016/darurat-aurat-1/



Maiyah lil' Alamin - Daur I No.015

Maiyah lil’Alamin

 •   •  Dibaca normal 4 menit


Tidak tega hati saya selama dua minggu ini Jamaah Maiyah saya kasih pelok (bijih) padahal ternyata mereka masih belum merdeka dari kebiasaan makan buah mangga manis dari saya.

Selusin lebih saya kasih tulisan-tulisan yang bersifat bijih pelok, yang bukan untuk dikonsumsi sebagai makanan, melainkan untuk ditanam dan menunggu waktu tidak sebentar untuk berbuah pada diri mereka masing-masing.

Selama ini memang kalau ketemu, saya langsung kasih buah mangga. Buah mangga dari kebun saya. Kebun yang saya sendiri mempersiapkan dan mengolah tanahnya. Pohon mangga yang saya sendiri yang menanamnya. Kemudian saya sendiri yang menjaganya dari hama-hama dan maling-maling. Kemudian saya memetiknya, mengulitinya, mengirisinya, meletakkannya di piring, akhirnya saya suguhkan kepada Jamaah Maiyah.

Mereka tinggal memakannya, menikmatinya dan bergembira. Andaikan para Jamaah Maiyah tak punya gigi pun mangga saya tetap bisa ‘diakses’ oleh mereka. Untuk mendapatkan mangga itu mereka tidak harus membayar, tidak harus menyewa kursi untuk duduk menikmatinya, tidak harus mendaftarkan diri dan mengemukakan identitasnya.

Tanpa syarat apa-apa. Bahkan tidak harus mencuci piring tempat mangga itu. Setelah kenyang mereka boleh langsung pulang. Boleh tidak menyapa saya. Boleh tidak berterima kasih. Juga tidak dilarang untuk bercerita kepada keluarga dan para tetangganya bahwa mangga yang tadi mereka makan adalah beli di pasar, atau dikasih orang lain yang bukan saya.

Lebih dari itu mereka tidak dihalangi untuk mengambil mangga saya sebanyak-banyaknya, tidak hanya yang dimakan di tempat. Ia tidak diawasi untuk membawa keranjang atau karung. Memasukkan mangga sebanyak-banyaknya, diangkut pergi kemudian dijual di pasar. Selama berinteraksi dengan masyarakat di pasar, para jamaah Maiyah juga sangat merdeka untuk tidak sekedar menyembunyikan asal-usul mangga jualannya itu — ia bahkan punya peluang besar untuk meng-ghibah-i saya, ngrasani, mendiskreditkan nama saya, memanipulasi, bahkan pun menjelek-jelekkan dan memfitnah.

Kreativitas dagang dan eksistensialisasi lain juga terbuka. Ambil mangga dari rumah saya dua tiga karung, kemudian dibawa ke pasar, dicampur dengan mangga yang diambil dari kebun atau rumah yang lain. Kemudian dijual dengan promosi bahwa itu adalah mangga saya.
Silahkan. Kebun saya adalah Maiyah lil’Alamin.
***

Jamaah Maiyah berdaulat penuh untuk berterima kasih atau durhaka. Untuk jujur atau curang. Untuk menyebarkan mangga dari saya dengan pemasaran akhlaqul karimah atau marketing kedhaliman. Jamaah Maiyah menggenggam kedaulatan untuk memperlakukan saya sebagaimana adanya atau semestinya, atau menganiaya saya, mendhalimi saya, mencurangi saya, memanipulasi saya atau apapun.

Kebun mangga saya tidak berpagar. Sama sekali tidak ada pagarnya. Jika ada, Malaikat dan para Nabi boleh ambil mangga kapan saja dan berapapun saja. Juga para Jin, druhun dimemonon lengeng, maling-maling, penganiaya, pemakan bangkai sesame dan siapapun. Andaikan ada yang benar-benar datang ke Maiyahan kemudian membunuh saya dan memakan bangkai saya, itu juga sama sekali bukan urusan saya.

Itu semua hanya satu dimensi kenyataan dan kemungkinan di semesta raya Maiyah lil’alamin. Saya lempar pelok-pelok Perang Terhadap Kata, Alif Ba Ta Agamaku, Gelap Menjadi Cahaya, KehancuranTanpa Ralat dan seterusnya. Itu pelok-pelok. Silahkan telan. Tidak perlu dikunyah, sebagaimana kalau makan mangga. Silahkan bawa ke pasar, karena pasar penuh oleh manipulator. Pasar adalah hutan belantara. Ambillah mangga saya, bikin oplosan juice mangga campur cyanida, solar, ingus dan air kencingmu.

Bahkan sebagian jamah Maiyah adalah kaum Jin, yang bertamu ke Kadipiro. Dan saya menunggu saat menceritakan itu semua di tulisan entah keberapa nanti. Sebab Maiyah lebih mudah dipahami dengan teori dan ilmu Jin. Maiyah tidak bisa dipahami oleh manusia-manusia pasar, penghuni hutan belantara, makhluk-makhluk yang skala hidupnya hanya sebatas kepentingan subyektifnya sendiri, yang Hati-nya tidak Telanjang, yang Perusak dijunjung sebagai Pendamai, yang rajin ber-Doa dengan modal Dosa, yang merasa punya Cinta tapi tak pernah belajar Mencintai.

Bukankah semua pelok-pelok itu sudah saya sodorkan kepadamu? Dengan catatan sebagaimana engkau membaca AlQuran: jangan menyangka bahwa untuk mempelajari Sapi engkau membaca dan memperdalam Surah Al-Baqarah? Mengira bahwa Surah Al-Fil adalah bab pelajaran sekolah tentang Gajah? An-Naml adalah bahan-bahan biologis tentang Semut?
***


Jika tulisan adalah buah, sejak akhir 1960-an saya berkebun mangga, manggis, salak, blimbing, apel dan bermacam buah yang lain. Itu salah satu bagian dari perjalanan panjang saya, jika ada Jin yang memahami maksud “jawaban semua pertanyaanmu terdapat dalam sejarah hidup saya”.

Bebuahan macam-macam yang saya sebar-sebar melalui hampir 70 buku dan ribuan tulisan lain dalam berbagai macam bentuk itu hanya buah. Sangat jarang ada yang berpikir bahwa di belakang buah itu ada pohon, daun, bunga, dahan, ranting, akar, tanah, kebun, pulau, hak dan kewajiban atas tanah, komposisi tanah, sebab musabab kebun bisa diperkebunkan, dan beribu hal lagi.

Berdasar pengalaman itu, yang di dalamnya ada persoalan-persoalan Indonesia dan dunia, ada Orla Orba Reformasi semu, ada Arab Spring, ada Huntingtonisme, ada pseudo-Demokrasi, ada materialisme, individualisme, kapitalisme, industrialisme, ada jembatan-jembatan ambrol dan pembangunan kereta cepat, ada semuanya dan semuanya — maka akhirnya saya bikin pagar-pagar di kebun-kebun saya.

“Saya” untuk masyarakat, publik, Indonesia dan dunia, saya ganti “aku”. Saya persilahkan hanya kepada anak-anak cucu-cucu saya dan para Jamaah Maiyah kapan saja memasuki kebun-kebun saya. Saya menulis hanya untuk kalian, tidak sebagaimana peruntukkan ribuan tulisan saya sebelumnya. Kalau “saya”, berarti engkau mungkin temanku yang kuterima mengobrol di halaman rumah atau di beranda. Tapi “aku” adalah saudara kesayangan yang saya persilahkan masuk ke dalam rumah saya, bahkan sesekali saya ajak masuk bilik pribadi saya.

Kalau ummat manusia, bangsa Indonesia atau Ummat Islam, hubungannya dengan saya adalah sebagai konsumen, minta yang cocok-cocok dan yang enak-enak. Jamaah Maiyah juga berhak minta yang cocok dan yang enak, tapi bagi saya lebih dari itu. Jamaah Maiyah adalah pejuang, pemeluk teguh nilai-nilai, pembalajar yang tekun, pencari kebenaran Allah yang sungguh-sungguh.

Tetapi sesudah “saya” tidak maksimal manfaatnya, kemudian “aku”ku kepada Jamaah Maiyah malah membuatmu muntah-muntah karena kalian terbiasa oleh “saya” — maka sudah saya lihat di depan nanti audiens atau tujuan ibadah saya bukanlah ummat manusia di dunia, bukan bangsa Indonesia, bukan Ummat Islam dan Jamaah Maiyah, melainkan Tuhan dan Kanjeng Nabi. Saya tunggu hingga tulisan ke 40 nanti.

Adapun anak cucuku adalah bagian dari diriku sendiri yang beribadah kepada Tuhan dan bercinta dengan Kanjeng Nabi.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
17 Pebruari 2016

sumber : https://www.caknun.com/2016/maiyah-lilalamin/

Perang Terhadap Kata - Daur I No.014

 

Perang Terhadap Kata

 •   •  Dibaca normal 3 menit

Apakah engkau menemukan dan merasakan bahwa tulisan-tulisanku terlalu menyeretmu ke daerah antah barantah yang tak jelas ujung pangkalnya?

 Mencampakkanmu ke dalam hutan belantara yang bersemak-semak berimbun-rimbun tak jelas barat timur dan selatan utaranya?

Anak cucuku dan para jm mohon memafhumi bahwa tulisan ini bukan untuk publik, melainkan hanya buat kalian. Publik atau masyarakat umum, utamanya kaum cerdik pandai, sudah khatam dulu-dulu, sehingga tidak butuh ini. Anak cucu dan para jm yang masih harus belajar dan terus menerus belajar.

Ataukah engkau menyangka aku melemparkanmu ke seberang cakrawala, di mana setiap kata tak engkau pahami maknanya, apalagi susunan dan maksudku di belakangnya? Atau sebagian dari engkau berpikir bahwa aku menerbangkan pikiran, hati dan jiwamu ke angkasa yang tanpa kiri kanan atas bawah? Ke langit yang semakin engkau tembus semakin sirna rumusannya?

Sudah pasti akan aku turuti reaksi dan kemauan sesaatmu. Aku akan ada bersamamu di ruang yang terbatas, di atas tanah yang bisa dipijak secara sederhana, di dalam utusan yang lurus-lurus dan datar-datar saja.

Meskipun demikian sebelumnya aku titip satu pertanyaan: yang kau sebut hutan belantara, seberang cakrawala, angkasa tanpa kiri kanan dan langit yang tak ada rumusannya itu — bukankah memang di situlah hidupmu berada? Coba engkau diam sesaat, pelan-pelan tengok dan rasakan kiri kananmu. Bukankah engkau memang sedang berada di kepungan urusan-urusan yang setelah beberapa langkah kau tempuh: engkau terbuntu oleh hutan belantara yang remang dan gelap? Engkau terkatung-katung secara tidak masuk akal seakan-akan berada di seberang cakrawala?

Engkau mendengar ada yang disebut masyarakat, negara, hukum, demokrasi, pembangunan, pasar uang, pilkada, pejabat, ulama, ustadz, preman, pengaturan harga, jembatan jebol dan kereta cepat, dan seribu fakta lain — bukankah itu semua adalah angkasa ketidakjelasan, langit ketidakmenentuan, seberang cakrawala yang jauh dari masuk akal, serta senyata-nyatanya hutan belantara?
***

Baiklah kita belok ke jalanan kecil sejenak, nanti kita akan kembali ke jalanan utama yang terjal dan bergerunjal-gerunjal itu.

Sebenarnya yang utama bukanlah jalan yang mana dan yang bagaimana. Yang kita upayakan adalah di jalanan apapun kita tetap memperjuangkan kedekatan hati di antara kita, sekaligus kedekatan kita bersama kepada pangkal jalan dan ujung jalan. Engkau tahu, pangkal dan ujung jalan itu Satu.

Maka langkah pertama memasuki jalanan kecil itu adalah, menurutku, adalah dengan mengubah kata “aku” dengan “saya”, kata “engkau” dengan “anda”. Pilihan kata, sebutan atau panggilan ini sangat menentukan rasa dekat atau jauh di antara kita. Bahkan mengendalikan dimensi makna dan nuansa setiap yang tersambungkan di antara kita, baik kata maupun tali silaturahmi yang lain.

Apakah engkau merasa lebih dekat padaku kalau kusebut diriku “aku” dan kusebut dirimu “engkau”?  Pada yang kurasakan, kata “aku” itu kerelaanku memasukkanmu ke dalam diriku yang lebih dalam. Ibarat tamu, kujamu engkau tidak di beranda, melainkan di ruang dalam, bahkan sesekali kutuntun engkau memasuki kamar pribadiku.

Kupanggil engkau dengan “engkau” karena yang kupanggil bukan sekedar seseorang, bukan sekedar orang di antara orang-orang, bukan sekedar warga dari suatu negara dan bagian dari masyarakat atau institusi atau golongan. “Engkau” yang kupanggil adalah engkau yang di dalam, yang lebih pribadi, yang mungkin agak kau bungkus dengan selubung rahasia.
***

Akan tetapi mungkin sekali bukan itu yang berlangsung di antara kita. Dengan “engkau” dan “aku” bisa jadi engkau malah menjadi merasa asing. Dan akibatnya mungkin membuatmu terlempar akan menjauh dariku.

Komunikasi bahasa dan perhubungan kata dalam pergaulan sosial yang kita alami selama ini mungkin membuat aku-engkau itu menimbulkan semacam eksklusivitas. Kita jadi merasa kurang santai, kurang akrab, kurang dekat, kurang sehari-hari, kurang ‘egaliter’ kata anak-anak sekarang. Kenapa gerangan ini?

Bagaimana mungkin tindakan komunikasi yang memakai kata yang paling privat justru menghasilkan kejauhan sosial? Apa yang menyebabkan seorang manusia yang memasukkan saudaranya ke ruang yang terdalam dari jiwanya, menghasilkan hal yang sebaliknya?

Ternyata kita punya masalah besar dan serius dengan kata. Ternyata perhubungan sosial dan interaksi kebudayaan kita justru terancam jadi merapuh atau minimal menjadi tidak pernah matang nilainya, justru oleh alat utamanya. Kata adalah salah satu instrumen andalan untuk menyelenggarakan bebrayan dan membangun silaturahmi. Dan terbukti kata itu pulalah yang potensinya sangat tinggi untuk merusaknya.

Hari-hari ini engkau bergaul dengan ummat manusia di seluruh dunia melalui terutama kata di media massa, media sosial, hutan rimba dunia maya, persambungan lewat aplikasi mengobrol tertulis dengan kerja jari-jari. Muwajjahah atau berjumpa wajah dengan wajah berkurang mungkin sampai hampir 90%. Padahal dalam interaksi muwajahah langsung pun kita masih punya persoalan dengan kata, kalimat, ungkapan, istilah dan idiom.

Jangan bicarakan dulu akibat baik atau buruk hutan rimba maya itu dengan persoalan tanggungjawab, kejujuran, kebenaran, ketulusan, membengkaknya hak dan menyusutnya kewajiban. Jangan dulu. Itu tema yang seribu kali lebih besar dibanding urusan “satu kata” yang sedang kita selami sekarang ini.
***


Silahkan engkau menggambar, mempetakan dan mensimulasikan jika kupanggil engkau dengan “anda” atau “kamu” atau “ente” atau “antum” atau “kowe” atau “elu” atau “koen” atau “you” bahkan aku melarikan diri menghindari resiko sehingga memanggilmu dengan namamu, atau “jij” atau “siro” atau “sira” atau “ndiko” dan apapun sangat banyak kemungkinannya. Alias sangat tinggi ketidakpastian dimensi silaturahminya. Sangat luas ketidakmenentuan nuansanya.

Apa yang kau pilih. Kepadamu aku menyebut diriku “aku” ataukah “saya” ataukah “kami” ataukah “ana” ataukah “ane” ataukah “reang” ataukah “alfaqir” ataukah “kawulo” ataukah “hamba Allah” atau kata apapun barangkali engkau punya gagasan. Semoga engkau menemukan fakta bahwa sesungguhnya engkau dan aku, kita dan masyarakat, sesungguhnya sedang berada dalam situasi perang terhadap kata. Bahkan negara dan koalisi negara-negara di muka bumi ini menindasmu, merampokmu, menipumu, memperdayakanmu, memiskinkanmu, dengan alat paling ampuh, yaitu kata.

Dari cn kepada anak cucu dan jm
Yogya 14 Februari 2016

Sumber : https://www.caknun.com/2016/perang-terhadap-kata/


Gelap Jadi Cahaya, Beban Jadi Penyangga - Daur I No.013

Gelap Jadi Cahaya, Beban Jadi Penyangga

 •   •  Dibaca normal 3 menit


Pada dua belas tulisan sebelum ini aku banyak menuturkan sesuatu yang sengaja baru besok atau lusa aku tuntaskan. Semacam ‘pekerjaan rumah’ yang mungkin membuat pikiranmu ruwet dan kusut.

Kalau anak cucu dan para jm pusing kepala dan geram oleh alur kacau omonganku, tolonglah bersabar pada orang tua yang mulai pikun dan udzur. Maka beliau-beliau yang lain siapapun tak perlu mendengarkan atau membaca ocehan kakek kepada anak cucunya ini.

Seorang kakek terkadang mungkin memang sengaja bicara tak beraturan. Menjebak-jebak. Berhenti padahal masih koma. Sengaja suatu tema dipotong, kemudian belok ke gang-gang yang seakan tak ada kaitannya dengan tema utama. Pemilihan tema-temanya, lompatan-lompatan dari tema ke tema, kadar tabungan penghayatan suatu tema sebelum besok nyicil tabungan berikutnya, tata kepenulisannya, pertimbangan berpikirnya, irama penelusurannya, format redaksionalnya, serta berbagai macam aturan kepenulisan lainnya — semata-mata membatasi diri pada keperluan internal keluarga anak cucu dan para jm.

Jika itu mengganggumu atau bahkan menyiksamu, berhentilah membaca dan tinggalkan tulisan ini. Jauhilah aku dan Maiyah, sebab aku dan Maiyah tidak mengikat siapapun. Aku dan Maiyah tidak harus ada dalam kehidupan ini. Aku dan Maiyah belum tentu disyukuri adanya, dan memang sama sekali tidak harus. Aku dan Maiyah pun tidak ditangisi oleh siapapun tiadanya.

Kalau ada yang mencurangi tulisan-tulisanku untuk anak cucuku ini, misalnya melemparkannya keluar Maiyah, memotong-motongnya, atau meletakkannya pada alam pikiran umum yang tidak tepat untuk itu, atau apapun bentuk pencurangannya — tidak akan berurusan denganku. Tidak akan mendapat akibat apapun secara langsung dariku. Juga tidak diidentifikasi atau didata apapun yang menjadi akibat dari pendhaliman itu. Tidak diamati, apalagi disyukuri atau disesali.
***

Apabila ada yang menjahati tulisan-tulisan buat anak cucuku ini, termasuk tulisan dan karya apapun dariku, sudah ada yang mengurusinya. Kejahatan itu dilakukan oleh siapapun, yang mencintai atau yang membenci, dari segmen apapun, dari level yang manapun, termasuk jika itu dilakukan oleh anak-anak cucu-cucuku sendiri di Maiyah — hanya akan memperoleh akibat, entah berupa penghargaan atau pembalasan, entah pahala atau adzab, yang berasal dari asal usul tulisan-tulisan ini sendiri. Yakni yang bukan aku.

Karena tulisan-tulisan ini bukan karyaku. Bukan hak milikku. Bukan kreativitasku. Bukan hasil dari kemampuanku. Bukan produksi dari perjuanganku. Melainkan ada pemiliknya, yang menitipkannya melalui aku, kepada anak-anak cucu-cucuku. Baik anak cucu yang sekarang, maupun siapa saja yang pada akhirnya menjadi anak-anak dan cucu-cucuku.

Aku mensyukuri jika akibat itu berupa tambahan kemudahan hidup, berkah kesejahteraan, kekuatan dan ketenteraman hidup. Aku juga tidak pernah membayangkan, mengharapkan, memimpikan atau menanti-nantikan jika akibat dan pembalasan itu berupa proses perapuhan, menyusutnya rejeki, terjatuh dan ambruknya sesuatu yang sudah dibangun, sakit jasad, kehilangan sesuatu yang sangat dibutuhkan, atau apapun. Itu semata-mata urusan pemilik tulisan-tulisan ini beserta segala sesuatu yang terkandung di dalamnya.
***

Salah satu sebab logis dari sudah, sedang dan akan terjadinya balasan yang baik maupun yang buruk itu, antara lain karena tulisan ini dititipkan atas dasar situasi ketidakberdayaan.

Aku tidak disuruh menulis untuk merayakan kegembiraan dan kebahagiaan. Karena siapapun yang sedang mendapatkan kegembiraan dan kebahagiaan, tak perlu melonjak-lonjak, melompat-lompat sambil berteriak-teriak mengibarkan perasaannya. Titipan tulisan ini berasal dari kesedihan, penderitaan, kesengsaraan, keteraniayaan dan kelumpuhan sejarah.

Itu semua berlangsung dalam skala kecil individu-individu, lingkar keluarga, area kemasyarakatan, juga wilayah yang lebih luas, misalnya negara dan dunia yang jika engkau berpikir apa kemauan Tuhan menciptakan semua ini: berisi kemudlaratan yang kadarnya jauh melebihi kemashlahatan. Terapannya pada manusia, personal maupun kolektif, adalah kebingungan, kecemasan dan kesedihan.

Aku tidak dititipi tulisan yang sumbernya adalah keadilan, melainkan ketidakadilan. Bukan bermata air dari keceriaan, melainkan keterpurukan. Bukan dari keindahan, melainkan kekumuhan. Bukan dari pancaran cahaya, tapi kegelapan – meskipun jangan lupa bahwa ilmu yang berasal usul dari kegelapan itu fokus perjalanan yang ditujunya adalah justru cahaya.

Aku tidak diperintahkan untuk mengantarkan nyanyian-nyanyian sukses, lukisan keberhasilan dan tercapainya kejayaan dan kemewahan. Perintah kepadaku adalah mengajak anak-anak cucu-cucuku untuk menggali, meneliti dan menemukan bangunan kehidupan sebagaimana yang sejak awal mula dulu dikehendaki oleh yang memerintah itu — meskipun bahan-bahan yang tersedia adalah kompleksitas permasalahan-permasalahan yang secara ilmu apapun tampak mustahil diatasi.
***
Aku dititipi perjuangan bersama engkau semua anak-anak dan cucu-cucuku. Perjuangan yang meskipun engkau dikepung oleh kegalapan, tapi engkau tetap sanggup menerbitkan cahaya dari dalam dirimu.

Meskipun engkau terbata-bata di jalanan yang sangat terjal, engkau tetap mampu menata kuda-kuda langkahmu sehingga keterjalan jalan itu bergabung ke dalam harmoni tangguhnya langkah-langkahmu.
Meskipun engkau ditimpa, ditindih, dihajar dan seakan-akan dihancurkan oleh beribu beban dan permasalahan, tetapi engkau justru menjadi anak-anak cucu-cucuku yang mengubah jalanan itu menjadi rata bagi semua orang. Beban-beban itu menjadi tenaga masa depan yang dinikmati semua orang.

Dahsyatnya permasalahan yang memerangimu itu menjadi bahan bakar yang kau sebar ke seantero bumi sehingga digunakan oleh semua orang untuk bangkit dan tegak membangun hari-hari esoknya.
Sudah semakin banyak jumlah anak-anak cucu-cucuku yang kulihat sanggup mengubah kegelapan menjadi cahaya, beban menjadi tenaga, tindihan menjadi penyangga, derita menjadi gembira.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
Yogya 13 Pebruari 2016

Sumber: https://www.caknun.com/2016/gelap-jadi-cahaya-beban-jadi-penyangga/



Mempelajari Cinta Dan Belajar Mencintai - Daur I No. 012

Mempelajari Cinta Dan Belajar Mencintai

 •   •  Dibaca normal 3 menit


Setengah mati engkau membanting tulang mencari nafkah untuk keluargamu. Mulia sudah engkau di hadapan Tuhanmu. Jadi kenapa engkau datang kepadaku?

Yang ada padaku hanya cinta.

Engkau bilang bahwa engkau mencari dan menunggu solusi atas masalah-masalah. Mu’min sudah engkau ini. Hamba Tuhan yang memperjuangkan keamanan. Keamanan diri dan keluargamu dari masalah-masalah. Dan kelak kau perjuangkan juga keamanan ummatmu, masyarakat dan bangsamu, keamanan dari kemiskinan, keamanan dari kehancuran martabat, keamanan dari batas kemerdekaan di hadapan Tuhan.

Tapi kenapa engkau datang kepadaku? Yang tergeletak di meja tamuku tidak hanya cinta, tetapi lebih abstrak dan bikin pecah kepala: cinta sejati.

Tentu saja itu terlalu muluk. Engkau mendambakan penyelesaian praktis, aku hanya mampu siapkan siksaan.

Itupun dilematis. Kalau engkau sebut ‘cinta’ saja, itu sudah terlalu dipersempit, dibiaskan, disalahsangkakan, terlalu dipasti-pastikan atau dipadat-padatkan, atau sebaliknya ia terlampau dimitologisasikan, dikhayal-khayalkan, didramatisir atau dilebai-lebaikan, berujung di perkawinan tahayul, perceraian LGBT.

Sedemikian rupa sehingga kalau engkau coba mengkritisinya, membenahinya, mengukur jarak antara denotasi dengan konotasinya, hasilnya tidak lain kecuali menambah pembiasannya, bahkan melahirkan kemungkinan-kemungkinan salah sangka baru, yang memecah belah hati antara manusia.
***
Sementara ketika setengah terpaksa aku pakai istilah yang agak mewah, yakni cinta sejati, aku meyakini engkau akan menemukan ia lebih memerdekakan penafsiran dan penghayatan.

Daripada engkau menggenggam dunia tanpa cakrawala, kelak engkau akan tahu bahwa yang lebih nyata adalah meraih cakrawala meskipun tak mendapatkan dunia.

Akal yang paling minimalpun mengerti atau sekurang-kurangnya memiliki naluri untuk peka bahwa sudah pasti dunia ini akan meninggalkanmu dan engkau sendiri pasti meninggalkannya. Untuk pergi atau pindah ke mana?

Ke suatu wilayah yang untuk sementara kita sebut cakrawala.

Sekurang-kurangnya ia terbiarkan abstrak, tidak mudah diterap-terapkan, tidak gampang dipakai-pakai. Ia lebih cenderung dekat ke ‘tiada’, dan saya lebih memilih itu, daripada terlanjur mengambil ‘nyata’ yang ternyata belum pernah benar-benar nyata.

Lebih serasa hidup dengan ‘tidak’ yang benar-benar ‘tidak’, daripada ‘ya’ tetapi pada hakikinya tidak ‘ya’. Ibarat orang dalam Agama, saya memilih posisi “la ilaha”, posisi tidak atau belum menemukan (ada dan berperan-Nya) Tuhan, daripada terlalu bermantap-mantap “illallah” padahal pada kenyataannya ternyata bukan Tuhan yang disembah, sehingga masih dan tetap sanggup membenci, menyakiti atau bahkan membunuh sesama manusia.
***

Terkadang aku terdorong untuk menjelaskan cinta sejati itu misalnya melalu pembedaan sangat mendasar antara ‘cinta’ dengan ‘mencintai’.

Cinta itu suatu keadaan di dalam jiwa manusia. Suatu situasi yang bergulung-gulung di batas kedalaman jiwamu. Sedangkan mencintai adalah keputusan social. Mencintai adalah perilaku, langkah perbuatan kepada yang bukan dirimu. Bentuknya tidak lagi seperti yang ada di dalam dirimu. Ia sebuah dinamika aplikasi keluar diri, bisa berupa benda, barang, jasa, pertolongan, kemurahan, dan apapun sebagaimana peristiwa sosial di antara sesame manusia.

Engkau bisa mencintai meskipun tanpa cinta. Karena perbuatan mencintai bisa engkau ambil energinya dari nilai-nilai sosialitas yang bermacam-macam. Bisa kasih sayang kemanusiaan, bisa kenikmatan bebrayan, bisa toleransi, empati, simpati, partisipasi dan apapun. Atau engkau ambil landasan dari Tuhan: aku tetap mencintainya, menjalankan kebaikan kepadanya, meskipun di dalam dirimu sudah tak tersisa rasa cinta yang eksklusif kepadanya.
***

Engkau bisa memasuki kedalaman makna cinta dan mencintai dengan berpindah-pindah pintu untuk memasukinya. Engkau bisa menyelami lubuk-lucuk cinta dan mencintai dengan merangsang terbukanya berbagai pori-pori nilai untuk engkau buka dan masuki.

Cinta itu suatu potensi, suatu keadaan, sebuah situasi batin, mungkin berujud ruang yang membutuhkan waktu, atau bisa jadi ia terasa sebagai energi atau teralami sebagai semacam frekwensi. Seluruh kemungkinan itu terletak di dalam diri manusia, ia ada dalam kesunyian dirinya, ia belum fakta bagi selain dirinya.

Adapun ‘mencintai’ adalah sikap sosial. Keputusan dari dalam diri ke luar diri dan untuk yang bukan dirinya sendiri. Apabila ‘cinta’ diaplikasi menjadi tindakan ‘mencintai’, maka begitu ia mensosial: wujudnya, bentuknya, formulanya, prosedurnya, nada dan iramanya, sudah ‘bukan’ cinta itu sendiri. Sang cinta ada di balik itu semua.

Mencintai itu wajahnya seakan tak ada hubungannya dengan cinta, karena ia bisa berupa kerja keras membanting tulang di pasar dan jalanan untuk keluarga. Ia bisa berujud kepengasuhan dalam keluarga, kepemimpinan dalam bermasyarakat, kearifan mengurusi kesejahteraan rakyat.

Bahkan bisa berwujud undang-undang, kreativitas teknologi, serta apapun saja yang dikenal oleh manusia sehari-hari tanpa mereka pernah menyadari bahwa itu semua bersumber dari keputusan dan tindakan mencintai.
***

Ada kalanya suatu masalah diselesaikan tidak dengan berhadapan dengan masalah itu. Bisa juga dengan berpindah konsentrasi, memikirkan atau melakukan sesuatu yang lain sama sekali dan tak ada kaitannya dengan masalah itu.

Semakin engkau berkenalan dengan sifat-sifat kehidupan yang hampir tak terbatas keluasannya dan tak terukur kedalamannya, semakin engkau lincah dan kreatif untuk tidak berhenti mengurung diri atau dikurung oleh ruang sempit masalah yang sedang merundungmu.

Nanti, di tengah-tengah istirahat dari gegap gempita perjuangan duniamu, di tengah riuh rendah peperangan melawan masalah-masalahmu, engkau duduk bahkan tergeletak dengan nafas terengah-engah.

Tiba-tiba, semoga, engkau di sapa oleh ‘cinta ilahiyah’, ia tiba-tiba saja hadir seakan sebuah sosok yang terbaring di sisimu. Ia menerbangkanmu dari dunia yang hampir bikin pecah kepalamu. Engkau dibawa menyelam ke lubuk ‘uluhiyah’ atau melebar meluas ke semesta ‘rububiyah’, di mana segala fakta pemuaian, pertumbuhan, harmoni, pernikahan-pernikahan pada inti universalitasnya, dan apapun saja yang merupakan indikator persatuan, penyatuan, kebersatuan, kemenyatuan, manunggal, nyawiji, dan apapun saja kumpulan huruf-huruf yang dibangun dan disusun untuk nilai dan makna — datang mendaftarkan diri mereka masing-masing, satu persatu dan bersama-sama, kepada ilmu dan pengetahuanmu.


Dari cn kepada anak-cucu dan jm
12 Pebruari 2016


Sumber : https://www.caknun.com/2016/mempelajari-cinta-dan-belajar-mencintai/



Simpul-Simpul Masyarakat Jin - Daur I No.011


Simpul-Simpul Masyarakat Jin

 •   •  Dibaca normal 3 menit


Aku sudah menyiksamu dengan menghamparkan kebuntuan, kesulitan, kemustahilan, beban-beban berat untuk pikiran, bahkan masih kuincar banyak tema lain untuk melumpuhkan hatimu.

Masih kusiapkan “pekerjaan rumah” tentang mempelajari cinta dan belajar mencinta, tentang beda antara dunia dengan cakrawala, bagaimana membangun dunia tidak berbatas tembok tapi berdinding cakrawala, tentang betapa aku engkau dan siapa saja tidak akan bisa bersembunyi dari waktu.

Engkau hidup di sebuah peradaban dengan budaya komunikasi yang sangat heboh dan riuh rendah dengan kata dan kata dan kalimat dan kalimat. Padahal engkau dan semuanya sudah, sedang dan akan semakin punya masalah dengan setiap kata.

Ada konflik dan pertentangan serius antara pikiranmu dengan setiap kata. Ada peperangan yang tak pernah engkau sadari dan tak pernah engkau cari solusinya di dalam hubunganmu dengan setiap kata. Setiap kata. Setiap kata dari beratus-ratus ribu kata. Setiap kalimat dari beribu-ribu kalimat.

Negaramu semakin hancur oleh satu kata dibantu oleh beberapa kata. Masyarakatmu ambruk oleh sejumlah kata. Harga dirimu dan semuanya luntur dan berproses untuk menjadi musnah oleh tidak dipertahankannya sejumlah kata. Engkau dan kalian semua diperdaya oleh kata, oleh pejabat-pejabat pemerintahan dan para pengklaim otoritas Negara yang cukup menggunakan sekumpulan kata.

Martabat dan hartamu digerogoti, digangsir, dirongrong, dikikis semakin habis oleh saudara-saudaramu sendiri yang memperbudak dirinya menjadi petugas-petugas kata, kalimat, idiom, ungkapan dan aransemen pemahaman.

Engkau dan semua berada di ambang kemusnahan harta tanah air dan bisa jadi dirimu sendiri dan semuanya. Harta dirampok, martabat diinjak-injak dan dimakamkan, tinggal tubuh dan nyawa bergentayangan. Nyawapun nanti tak berguna, tatkala engkau dan semuanya sudah berfungsi penuh sebagai robot-robot, sebagai budak-budak, pekathik-pekathik, hamba-hamba sahaya yang tuhanmu bukan Tuhan.

Jadi sebaiknya hari ini aku bercerita kepadamu tentang Jin.
***
Beberapa saat engkau mengambil jarak dari dirimu sendiri, dari Negerimu, dari masyarakatmu, dari seluruh kosmos kehidupan sehari-harimu. Bahkan mengambil jarak dari keyakinan imanmu yang sudah diubah oleh muatan-muatannya yang dijejalkan oleh kenyataan-kenyataan dunia yang mengepungmu.
Senang sekali hatiku malam itu sekumpulan Jin datang bertamu. Baru pertama kali ini mereka bertandang khusus secara agak resmi. Ada geli-geli dan lucunya, tapi mengasyikkan dan menimbulkan kegairahan khusus.

Aku tidak jarang bertemu dengan para Jin ini itu, dari berbagai simpul, area, kelompok, bahkan sekte. Berpapasan di suatu lintasan. Terkadang bersapaan atau mengobrol barang beberapa kalimat, menanyakan keadaan masing-masing. Sesekali saling berbagai pengalaman dan data-data.

Sebelum aku teruskan jangan lupa Kitab Suci anutan hidupmu menyebut manusia selalu belakangan sesudah Jin. “…yang mengipas-ngipas hati manusia, dari Jin dan manusia….” Bahkan dasar, asal mula dan sangkan-paran kehidupan manusia ini pun bersama-sama masyarakat Jin terikat oleh batas pengabdian “…tidak Aku ciptakan Jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku….”

Sesekali luangkan waktu pergi sowanlah kepada Baginda Nabi Rasul Sulaiman, sambil melirik-lirik museum Kraton beliau yang ketapel Bapak beliau terdapat di dalamnya. Juga seruling terindah Baginda Daud, yang kalau beliau meniupnya, maka seluruh makhluk langit dan bumi memberhentikan waktu dan melapangkan sepi senyap untuk mendengarkan dan menikmatinya.

Sampai-sampai junjunganmu kekasihmu Muhammad saw menyesali kenapa suara seruling itu mendadak berhenti, tatkala beliau berjalan lewat di sebuah perkampungan. “Kemana perginya suara seruling kakekku Daud….” Kiranya cukuplah seandainya kelak sorga hanya berisi tanah dan air dan sawah dan ladang, asalkan terdengar suara seruling leluhur kita bersama itu.
***

Bertamulah ke rumah istana Baginda Sulaiman, ajak sahabatmu yang memiliki ilmu dan pengetahuan — yang bukan sebagaimana yang dipahami oleh umum dan awam — tentang alam, tentang ruang, waktu, gelombang dan zarrah, dari bongkahan gunung hingga yang paling nano.

Atau kalau sebagaimana aku, engkau merasa tidak pantas untuk diperkenankan oleh Allah bertatap muka dengan Baginda Raja Diraja itu, maka cukuplah engkau duduk, jongkok, atau berjalan lalu-lalang di seputar halaman Istana beliau. Siapa tahu beliau sedang bercengkerama dengan hewan-hewan kecil, dengan semut dan berbagai serangga.

Atau siapa tahu beliau sedang bermain memperagakan silat jurus-jurus puncak dengan Garuda, Macan dan Naga. Lihat di sebelah sana Baginda Sulaiman sedang berbicara khusus kepada Naga yang meringkuk melingkarkan panjang tubuhnya di hadapan beliau. Entah apa yang beliau katakan kepada Naga itu sambil bertolak pinggang. Dan lihat itu Baginda kemudian mendatangi Garuda yang sakit-sakitan, Baginda mengelus-elusnya, memijit-mijit bagian tertentu dari kaki, cakar dan paruhnya, kemudian meniupkan hawa entah apa ke seluruh badannya.

Engkau harus lincah dan sanggup pada kilatan waktu yang sama dan sangat singkat: melihat ke berbagai arah. Kalau perlu ke seluruh arah. Pandang itu hasil kerja Asif bin Barkhiyah, yang mengalahkan Ifrith pendekar kelas utama masyarakat Jin. Ifrith memerlukan interval waktu antara Baginda Sulaiman duduk di kursi singgasana hingga beliau berdiri. Sementara Asif memerlukan waktu cukup sepersekian sekon lebih singkat dari sekedipan mripat beliau, untuk memindahkan Istana Ratu Bulqis.
***

Ah, tapi itu sekedar bahan jadul untuk sangu kalau-kalau diperlukan di tengah perjalananmu. Kau butuh mengembara dengan semangat jiwamu, tidak berhenti di dunia dan meresmikan dalam pikiranmu bahwa dunia ini hilir atau terminal akhir dari hidupmu. Engkau butuh berjalan jauh mendekat ke cakrawala.

Jadi apa hajat sekumpulan Jin itu bertamu?


Dari cn kepada anak-cucu dan jm
11 Pebruari 2016


https://www.caknun.com/2016/simpul-simpul-masyarakat-jin/



Daftar Daur Pertama 2016




JUDUL  DAFTAR DAUR PERTAMA