Minggu, 29 Juli 2018

Interupsi Markesot

 
Interupsi Markesot ( Daur I - 27)

Interupsi Markesot ( Daur I - 27)

Masih tersisa empat belas tulisan lagi untuk dibacakan. Tapi rupanya Markesot sudah tidak bisa menahan diri melihat perkembangan situasi di ruangan itu bersama empat puluh orang teman-temannya.
Mendadak ia berdiri.

Markesot melepas ikat pinggangnya, yang ternyata adalah cambuk. Berjalan keliling ruang, terkadang melompat ke berbagai arah. Tertawa. Panjang. Sesekali sampai terguncang-guncang.
Kemudian terdengar suara ledakan-ledakan, memecah kesunyian di ruangan itu. Markesot meletus-letuskan dan meledak-ledakkan cambuknya.

Seperti pesta mercon. Atau deretan bunyi semacam tembakan-tembakan senjata api. Ada yang seperti suara mercon banting, tiba-tiba di sela-selanya ada ledakan agak besar. Semua bercampur aduk dengan suara tertawa Markesot.

Suara tertawa Markesot terkadang menggelikan, di saat lain mengerikan. Seperti tertawa orang yang sedang menjumpai sesuatu yang sangat lucu, tapi kemudian tiba-tiba suara tertawa itu berubah aneh, seakan berasal dari dunia yang lain yang asing sama sekali bagi yang mendengarnya.
Tertawa Markesot berganti-ganti mengungkapkan rasa lucu, kegembiraan, kesedihan, putus asa, atau campur aduk antara berbagai macam situasi jiwanya.
***
Tentu saja empat puluh orang yang berada di dalam ruangan itu kalang kabut.

Tujuh orang di antara mereka, dikagetkan oleh letusan dan ledakan bertubi-tubi itu ketika sedang duduk tertib dan khusyu’. Tetapi kekagetan itu tidak membuat mereka beranjak. Mereka hanya menggerakkan kedua tangannya untuk menutupi kedua telinganya, sambil memejamkan mata dan menundukkan kepala.

Masalahnya, tiga puluh tiga orang yang lain sedang tidur pulas ketika ledakan itu memecah kesunyian di ruangan itu. Reaksi mereka bermacam-macam ketika mendadak mereka dibangunkan oleh festival letusan dan hantaman ledakan itu.

Ada yang langsung terduduk, wajahnya kebingungan, matanya kosong menoleh ke kiri dan kanan. Ada yang dari posisi berbaringnya langsung berdiri dan memasang kuda-kuda silat seakan-akan sedang diserbu mendadak oleh Pendekar Kedung Prewangan, bertiga dengan Kiai Singorodra dan Mbah Kalibuntu.

Bahkan ada yang dari keadaan tidur, dalam hitungan sekon langsung melompat keluar ruangan dengan tangannya memutar-mutar kalung rantai besi yang diambil dari lingkaran pinggang di balik bajunya.
Sebagian dari mereka ada yang kaget oleh ledakan-ledakan, duduk dengan mata masih tertutup, sesaat kemudian tidur berbaring lagi. Yang lebih hebat lagi, beberapa orang hanya membuka matanya sejenak dengan sedikit menggerakkan kepala, kemudian tidur lagi.

Dan yang paling hebat dari empat puluh orang itu adalah mayoritas di antara mereka yang sama sekali tidak terusik oleh mercon atau tembakan, letusan atau ledakan, sekali atau berkali-kali. Mereka sangat tenang. Nyenyak tidurnya tak terusik. Telinganya kebal, gendangnya dilapisi oleh semacam plastik tebal hasil teknologi modern.
***

Padahal cukup lama bunyi tembakan dan mercon itu terdengar menyiksa ruangan. Bahkan ada saat-saat ledakan cambuk Markesot itu menggelegar seperti datang dari langit. Lebih dekat dibanding suara letusan gunung yang justru terdengar agak sayup dari kejauhan.

Terasa sekali ada ledakan yang sejatinya bukan suara ujung cambuk yang dihentakkan oleh tangan yang kokoh perkasa, melainkan ledakan kawah amarah jauh dari kedalaman jiwa Markesot. Seluruh jagat raya termuat di dalam ruh manusia. Ledakan yang khusus itu seakan-akan adalah gabungan antara kemarahan dari pusat Bumi dan halilintar sambutan persetujuan dari langit.

Ledakan pada tingkat itu mestinya terdengar dari luar ruangan rumah perkumpulan empat puluh orang itu. Tapi mungkin juga tidak sama sekali.

Itu bergantung pada sikap udara di dalam ruangan itu serta di luar rumah. Kalau udara berkemauan untuk menghantarkan suara itu, maka yang di sekitar ruang itu akan mendengarnya. Tapi kalau udara terikat oleh keputusan untuk tidak menghantarkannya ke luar rumah, dan cukup mengedarkan suara itu di dalam ruangan rumah saja, maka demikianlah yang terjadi.

Sikap dan keputusan si Udara itu untuk menghantarkan suara atau tidak di sebuah skala ruang, bergantung pada perjanjian yang dilakukannya dengan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan suara itu. Bergantung pada perjanjian, atau pada kepatuhan udara kepada ini atau itu.

Termasuk jika udara mengambil keputusan sendiri berdasarkan kedaulatannya sendiri. Letusan-letusan, ledakan-ledakan dan suara tertawa Markesot sedang menggaduhi ruangan, belum ada waktu untuk mendiskusikan tema di sekitar keputusan si Udara. Termasuk dengan siapa dan apa saja ia berkonstelasi, menyelenggarakan perundingan dan mengambil keputusan. Atau siapa yang dipatuhi oleh Udara.
***
Kegaduhan itu kemudian berakhir pada satu bunyi ledakan sangat keras, menggelegar disertai gemerincing.

Sesudah ledakan terakhir yang bergemerincing itu, Markesot berdiri di salah satu pojok ruang, bertolak pinggang. Wajahnya meringis. Kemudian tertawa lagi tapi tidak sungguh-sungguh, suara tertawa yang tidak berasal dari unit mesin yang memproduksi tertawa dari dalam diri Markesot.

Tapi akhirnya tertawa Markesot itu terputus mendadak. Markesot berwajah sangat serius. Matanya menatap ke depan. Berkeliling sorot mata itu menimpa satu per satu wajah demi wajah di ruangan itu, kemudian berhenti dan macet di tubuh-tubuh bergeletakan yang tidur sangat pulas. Dan itu adalah mayoritas di antara empat puluh sahabat-sahabat Markesot.
***

Mereka orang-orang yang sangat bahagia hidupnya. Istiqamah dalam ketenteraman. Jantungnya terus menjalankan irama secara stabil, tidak terganggu oleh peristiwa apapun di sekitar mereka.

Ritme ngorok mereka sangat mandiri. Nafas seratus persen teratur keluar masuknya. Hati mereka tenang bagai ruang hampa. Pikiran mereka tak bergeming oleh apapun saja. Secara keseluruhan jiwa mereka bagaikan pertapa. Duduk di tikar ketenteraman, mentalnya tegak teguh bagaikan pilar-pilar baja raksasa.

Andaikan ada gempa besar, didahului oleh letusan amarah gunung, kemudian banjir lahar dingin bercampur asap amat panas dari neraka yang dibocorkan ke permukaan bumi, mereka tidak berubah sedikit pun dari ketenteramannya.

Mungkin mayoritas inilah yang dimaksudkan oleh Tuhan tatkala memanggil hamba-hambaNya: “Wahai jiwa yang tenteram, kembalilah kepada Pengasuhmu dalam keadaan meridloi dan diridloi. Ayo kalian berhimpunlah ke dalam golongan-Ku dan masuklah ke dalam sorga-Ku”.
***

Sambil menatap wajah-wajah mereka dan merenungi kedalaman suasana yang beberapa jam ini tadi berlangsung, Markesot mengeluh kepada dirinya sendiri:
“Ternyata begini ini dunia. Tidak sejauh ini aku menyangka tentang remehnya manusia. Dan kehidupan yang Tuhan kehendaki ini ternyata jauh lebih bersahaja. Sampai setua ini tetap saja aku salah kuda-kuda….”

Sesungguhnya yang terjadi bukanlah Markesot menginterupsi pembacaan tulisan-tulisan dan suasana di ruangan itu, tetapi aslinya Markesot sedang menginterupsi proses pemikiran dan penghayatan hidup di dalam dirinya sendiri.

https://www.caknun.com/2016/interupsi-markesot/ 

Daur I No. 27




Sabtu, 28 Juli 2018

Pandai Kepada Diri Sendiri Daur I No.25

 
Pandai Kepada Diri Sendiri (Daur I - 25)

Pandai Kepada Diri Sendiri (Daur I - 25)

 •   •  Dibaca normal 4 menit

Kalau Yu Sumi mengerti apa itu kewajiban, terutama kewajiban kepada Tuhan, salah satu kemungkinannya adalah ia akan menjadi ahli ibadah.

Ia merasa eman kalau sedikit saja mengurangi ibadahnya. Ia tidak melewatkan satu jam semenit sedetik pun untuk beribadah. Tidak ada yang lebih mulia dari beribadah kepada Tuhan. Tidak ada yang dipuji Tuhan melebihi hamba-Nya yang mengisi siang dan malam dengan ibadah.
Akibatnya Yu Sumi akan didatangi oleh semacam ujian. Ia sangat mungkin menjadi seseorang yang karena tekun ibadahnya maka ia punya naluri untuk membandingkan dirinya dengan orang lain berdasarkan kerajinan ibadahnya.

Tahap berikutnya ia memperoleh sub-ujian bahwa ia merasa dirinya lebih dekat kepada Tuhan dibanding orang lain yang kurang beribadah, terlebih lagi dengan orang yang tidak beribadah. Rasa lebih dekat kepada Tuhan itu bisa memperanakkan rumusan atau gambaran bahwa yang rajin beribadah berderajat lebih tinggi dibanding yang tidak beribadah.

Rasa lebih tinggi itu bisa mengurangi jarak pergaulan Yu Sumi dengan orang lain yang tidak setekun ia ibadahnya. Kemudian bisa berkembang menjadi rasa meremehkan orang yang tidak beribadah, berikutnya merendahkan, berikutnya lagi bisa menjadi cibiran yang merendahkan, meskipun hanya di dalam hati. Dan kalau tidak hati-hati, Yu Sumi bisa sampai pada suatu anggapan yang berkembang menjadi pendapat yang diyakini, bahwa sesungguhnya yang lebih berhak hidup di dunia adalah orang yang tekun beribadah dan dekat dengan Tuhan.

Pandangan itu bisa memuai menjadi keputusan sosial untuk memusuhi siapa saja yang tidak beribadah. Memusuhi bisa membengkak menjadi keyakinan untuk membuang, membunuh atau memusnahkan. Tuhan adalah Maha Tuan, semua manusia adalah abdinya. Barangsiapa tidak beribadah, maka ia bukan abdi. Dan siapa saja yang bukan abdi, ia tidak berhak hidup di bumi Tuhan. Sehingga harus diusir atau disirnakan.
***

Semua ummat manusia di peradaban apapun meyakini secara mantap dan hampir absolute bahwa anak-anak manusia harus berpendidikan, berkebudayaan, harus belajar membaca dan menulis, harus mencari ilmu dan pengetahuan.

Juga Yu Sumi. Tapi yang kukatakan kepada anak cucuku dan para jm ini tak perlu dibawa-bawa ke para tetangga. Mereka tidak memerlukan pikiran seperti ini. Mereka sudah beres hidupnya, tidak ada manfaatnya semua yang kukatakan kepada anak cucu dan para jm ini.

Mungkin Yu Sumi sebaiknya berpendidikan seperti mereka. Ia harus mengerti hak dan kewajiban. Ia wajib mempelajari Islam, membaca Al-QurĂ n dan menjalankan peribadatan. Akan tetapi berdasarkan seluruh sejarah Yu Sumi, dan berlaku khusus untuk Yu Sumi, aku harus menyimpan di laci rahasiaku bahwa kewajiban-kewajiban itu kemungkinan besar malah membahayakan hidup Yu Sumi.

Sebab di samping ada peluang besar bahwa dengan itu semua Yu Sumi menjadi manusia sombong-agama dan merasa lebih tinggi derajatnya dibanding orang-orang di sekitarnya — yang juga sangat penting adalah kemungkinan bahwa sesudah ia menjadi ahli ibadah: kadar kerja kerasnya pasti berkurang.

Yu Sumi akan menjadi lebih banyak omong, sedikit kerja. Banyak omongnya pun isinya adalah muncul dari tinggi hati, merasa lebih suci, yakin lebih dekat kepadaTuhan dibanding semua orang. Mungkin sesudah menjadi ahli ibadah Yu Sumi menjadi punya masalah dengan memanjat kelapa dan membelah kayu. Di samping energinya mengecil untuk kerja keras, mungkin saja bekerja memanjatkan kelapa untuk tetangganya sangat kecil nilainya dibanding satu sujud dalam shalat.

Dan kalau karena kecerdasannya pada akhirnya Yu Sumi menjadi benar-benar pandai mengaji dan tahu banyak ilmu, mungkin ia akan diminta mengajar di sana-sini. Ia menjadi sibuk, dan akhirnya kehilangan keterampilannya untuk bekerja. Pada akhirnya ia bisa menjadi Ustadz atau Ustadzah tidak karena ilmunya melainkan karena tidak punya kemampuan untuk bekerja.

Tentu kehidupan mengandung kemungkinan tak terbatas. Namun terang benderang bahwa Yu Sumi dilindungi oleh Tuhan dengan formula eksistensinya, dengan keawamannya, dengan kebutahurufannya, dengan ketidakmampuannya atas ilmu dan kepandaian, dan mempertapakannya dalam kesibukan memanjat kelapa dan membelah batu.

Maka Tuhan tidak mentakdirkan Yu Sumi kawin dan beranak. Karena akan bisa menjadi masalah orientasi bagi anaknya. Hampir mustahil anaknya, jika ada, akan mampu dan mau memanjat kelapa dan membelah kayu, karena zaman dan lingkungannya sudah berubah.

Teknologi berkembang sangat pesat. Salah satu hasilnya adalah manusia kehilangan dirinya, manusia menjadi luntur kemanusiaannya, manusia menurun kemampuan bekerjanya. Bahkan manusia bukan hanya mewakilkan pekerjaan ini itu kepada robot dan onderdil teknologi industri. Bahkan sudah cukup lama menjadi robot dan onderdil teknologi dan obeng tang catut industri.
***

Akan tetapi Guk Urip kawin dan punya anak, sekarang bahkan sudah mulai lahir cucu-cucu. Mas Bardi juga kawin, meskipun tidak punya anak.

Siapapun yang pernah ketemu dengan Guk Urip dan Mas Bardi, langsung tahu bahwa mereka melambai. Bahkan sangat melambai. Dan itu tidak karena akulturasi, tidak karena penularan dari siapapun, tidak karena pengaruh lingkungan budaya.

Tetapi Guk Urip dan Mas Bardi tidak terlalu bodoh atas dirinya sendiri. Mereka melakukan reformasi ke dalam dirinya sendiri, jiwa maupun jasadnya.

Sama dengan apapun dalam kehidupan, sesuatu direformasi, ditemukan proporsi dan harmoninya. Ada besi yang dipotong atau disambung. Ada kayu yang digergaji atau disusun beberapa batang. Ada cairan yang ditambah atau dikurangi volumenya. Ada gas yang dipadatkan atau dikurangi kepadatannya.
Ada logam yang diambil sedikit dan logam lain diambil banyak. Ada sesuatu yang dipacu dan lainnya dikontrol. Ada laju yang di-gas dan pada momentum tertentu di-rem. Ada sesuatu yang dilampiaskan dan lainnya dikendalikan. Ada ini itu yang dihitung batas perkembangannya sementara yang lain justru dipacu kesuburannya.

Memang demikianlah kehidupan. Juga diri setiap manusia sendiri adalah bagian, bahkan yang utama, dari kehidupan. Ada sesuatu dalam diri manusia yang perlu dikendalikan, ditahan, dipuasakan, dibatasi atau bahkan mungkin dihilangkan, misalnya daging tumbuh yang tidak pada tempat dan proporsi alamiahnya.

Dan managemen diri semacam itulah yang dilakukan oleh Guk Urip dan mas Bardi. Apalagi Yu Sumi.
Kalau engkau menyangka hidup ini isi utamanya adalah hak, dan itu menjadi landasan utama dari perilakumu, menjadi hulu-ledak dari kelakuanmu, menjadi dasar pikiran untuk mengambil keputusan menuju masa depanmu — aku tidak akan mempersalahkanmu. Tidak akan membantahmu. Juga tidak mengecam atau menghardik dan mengutukmu.
Hanya dua kata yang kalau kau minta, aku bisikkan ke telingamu: “Tunggulah waktu”.

Dari cn kepada anak-cucu dan jam
27 Februari 2016

Hak Asasi Kanker dan Benalu Daur I No.24


Hak Asasi Kanker dan Benalu      (Daur I - 24)

Hak Asasi Kanker dan Benalu      (Daur I - 24)

 •   •  Dibaca normal 4 menit

Jika tiba hari Jumat, ada desakan dari dalam diri keAdaman Yu Sumi untuk ikut berjamaah shalat Jumat. Tapi itu akan membingungkan semua orang dan pasti menjadi sumber pertengkaran masyarakat. Maka ia duduk di balik rerimbunan daun-daun di belakang masjid. Ia mendengarkan khotbah dan merenung.
Penggalan kisah sederhana ini kuperuntukkan bagi anak cucuku dan para jm, karena masyarakat umum tidak memerlukan butiran kecil ilmu dan pengetahuan yang tidak istimewa. Jadi anak cucuku dan para jm simpan sendiri saja.

Ketika itu belum ada khotbah yang menyebarkan kebencian dan kutukan. Belum ada khotib yang merasa dirinya selevel dengan Tuhan sehingga tak mungkin salah, yang pendapatnya pasti benar, dan kebenaran yang ada di otaknya bersifat absolut. Waktu itu belum ada pemimpin agama yang sombong dengan pandangannya, yang angkuh dengan ilmunya dan takabbur dengan merasa pandainya.
Di zaman Yu Sumi hidup, juga Guk Urip dan Mas Bardi, belum ada manusia yang begitu yakinnya bahwa ia dan mereka akan pasti menjadi penghuni sorga, dan mempercayai bahwa siapapun yang tidak berpandangan dan tidak hidup seperti mereka akan pasti menjadi penghuni neraka.

Sehingga Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi tidak pernah berjumpa dengan manusia yang sombong karena agamanya, yang angkuh karena ibadahnya, yang merendahkan orang lain karena imannya, yang mengutuk siapapun saja yang bukan mereka. Mereka bertiga belum pernah mengalami pergaulan dengan manusia yang mampu menciptakan harmoni antara ibadah kepada Allah dengan kekejaman kepada manusia. Yang merangkai dengan mantap iman kepada Tuhan dengan perusakan dan penghancuran atas sesama manusia.

Indah benar hidupnya Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi karena di era mereka belum ada manusia beragama yang meyakini bahwa bumi dan alam semesta adalah hak mereka, sehingga yang bukan mereka harus dimusnahkan. Bahwa Tuhan menciptakan bermilyar galaksi, bertrilyun-trilyun planet ini tidak untuk siapapun kecuali segolongan manusia, yang jumlahnya sangat sedikit, sehingga cukup ditampung di beberapa Kecamatan di suatu negeri kecil. Tuhan menciptakan alam semesta yang luasnya tak terukur ini tidak untuk siapapun kecuali untuk sejumlah manusia yang hanya memerlukan sebuah pulau kecil di bumi yang sangat kecil untuk tempat tinggalnya.
***

Berbahagia benar Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi, yang hidup tanpa pernah menjadi masalah bagi lingkungan masyarakatnya. Yang masyarakat sekitarnyapun tidak pernah riuh rendah memperdebatkan diri eksistensi mereka, karena ummat manusia pada zaman itu selalu menjalankan toleransi tanpa menyadari adanya kata toleransi dan mereka sendiri tak pernah mengucapkan kata toleransi dari mulutnya.

Masyarakat di mana ketiga sahabat kita hidup sangat mengerti aurat, memahami hakekat batas, tahu persis apa yang harus dibuka dan apa yang sebaiknya ditutupi. Apa yang sebaiknya dikendalikan dan apa yang tidak masalah jika dilampiaskan. Mengerti apa yang harus dikontrol untuk tidak berkembang karena daya perusakannya luar biasa atas kehidupan dan masa depan.

Meskipun Yu Sumi aman mendengarkan khotbah Jumat dari kebun belakang masjid, tapi sebenarnya ia menempuh jalan cukup jauh membelah desa untuk bisa sampai ke gerumbul tempat ia bersembunyi dan nguping khotbah. Masjid itu terletak di jalur tengah desa, yang penghuninya pada umumnya berkultur santri. Hanya ada masjid dan musholla di jalur tengah. Sedangkan di jalur selatan dihuni oleh para petani abangan. Dan Yu Sumi sendiri tinggal di jalur utama. Jalur dan lingkungan yang anak-anak sekolahan menyebut sebagai jalur masyarakat yang terbelakang, kurang berbudaya dan belum mengenal agama.

Karena lingkungan sosialnya, hampir mustahil Yu Sumi berpeluang untuk belajar mengaji, duduk di bangku sekolah atau belajar apapun kecuali dari kehidupan dan perenungannya sendiri. Padahal Yu Sumi tidak pernah mendengar apa itu perenungan, apa itu santri atau abangan. Yu Sumi tidak punya ustadz, tidak berguru kepada kiai, tidak pernah tahu selama hidupnya suatu benda ajaib yang bernama televisi. Jangankan lagi gadget, internet, medsos, browsing, IT, demokrasi, Revolusi Industri ke-IV, terlebih-lebih lagi Bank Syariat. Yu Sumi tidak punya mursyid, syekh, guru bangsa, begawan, panembahan. Yu Sumi hanya tahu secara naluriah bahwa ada yang maha besar dan berkuasa dalam hidupnya, ada hidup dan kelak ada mati, ada asal-usul dan titik tujuan, entah akan ada akhirnya atau tidak.

Yu Sumi hanya punya Tuhan. Bahkan Muhammad hanya sesekali ia dengar nama itu dari khotbah di masjid yang ia nguping. Tetapi Yu Sumi memiliki kecerdasan intelektual dan kewaspadaan sosial, serta tahu secara alamiah bahwa ia tidak boleh menjadi beban bagi siapapun, tidak boleh menjadi masalah bagi lingkungannya, meskipun tidak pernah berani beranggapan bahwa ia harus atau bisa atau punya kemungkinan untuk bermanfaat bagi kehidupan di mana ia menumpang.
***

Maka ia mengambil keputusan untuk memenuhi waktunya untuk bekerja. Bekerja keras sepanjang siang dan kalau perlu tambah separo malam.

Yu Sumi sangat sedikit berbicara. Ia menyapa dan menjawab sapaan siapapun yang ia berpapasan dan bertemu. Tetapi ia tidak pernah berdiskusi, meminta, menuntut, membantah, berdebat, membela diri, mempertahankan apapun. Ia bekerja saja dan bekerja saja. Sampai akhirnya Tuhan memindahkannnya dari desa saya ke kampung baru yang hanya Tuhan yang tahu. Entah di bumi ini, atau mungkin di planet lain, atau di luar galaksi, atau siapa tahu tetap di sekitar desanya namun di koordinat dan gelombang yang berbeda.

Yu Sumi bekerja keras memenuhi hidupnya, sehingga unsur lain dalam dirinya, misalnya nafsu sex, tersingkir dan bagaikan tak ada. Sepanjang hidup Yu Sumi aku hanya pernah melihatnya berpakaian sarung yang itu-itu juga. Kira-kira ada dua lembar sarung, satu dua kaos dan baju. Wajahnya tidak pernah mengekspresikan tuntutan, harapan, atau amarah dan perlawanan. Yu Sumi madhep mantep bekerja dan bekerja.

Ia tidak pernah mendengar kata hak atau kewajiban. Dan beruntunglah dia. Sebab kalau ia sampai tahu hak dan memahami artinya, kecerdasannya akan memberi ucapan-ucapan yang berbahaya bagi dirinya: “Aku berhak memenuhi nafsuku. Aku berhak kawin dengan sesama manusia apapun jenisnya, bahkan adalah hakku juga untuk kawin dengan lembu, pohon pisang atau buah mentimun. Aku berhak menjadi apapun sesuai dengan hak asasiku. Aku berhak menjadi kanker, menjadi benalu, menjadi penyakit, menjadi kuman, bakteri, virus, racun, atau apapun yang aku mau….”

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
26 Februari 2016

https://www.caknun.com/2016/hak-asasi-kanker-dan-benalu/



Ahlul Glugu wal Kayu Daur I No.23

 

Ahlul Glugu wal Kayu    (Daur I- 23)

 •   •  Dibaca normal 3 menit Daur ,

Yu Sumi memakai celana atau sarung seperti lelaki. Pakai kaos, berjalan gagah seperti Werkudoro, tangannya kokoh memegang arit, bendo, parang dan terkadang pedang jika diperlukan. Yu Sumi memanjat kelapa tinggi dengan langkah naik yang sangat kuat, perkasa dan tangguh. Yu Sumi mengurai sabut kelapa dengan jari-jarinya dan memecah batok kelapa dengan pojok jidatnya.

Sketsa sosok Yu Sumi ini kututurkan untuk anak cucuku dan para jm. Jangan sampai dibaca oleh yang bukan kalian, sebab mungkin ini memalukan dan bisa jadi menjadi bahan tertawaan. Sebagaimana aku, kalian tidak cukup terpelajar, bukan cendekiawan, tidak berbudaya modern dan metropolitan. Kita orang dusun yang telapak kaki kita terlalu dekat ke tanah. Muatan dada kita adalah hati petani, sedang di kepala kita tidak ada unsur intelektualitas kelas manusia modern.

Yu Sumi, yang Hawa, lebih kuat dari kebanyakan lelaki di desa saya.
Tetapi ia tidak melirik, melotot atau mengincar wanita-wanita, gadis-gadis atau Adam-Adam yang keHawa-hawaan di desa. Yu Sumi tidak menjadi lesbisch lesbong lesboa atau lesung. Sampai meninggalnya di usia hampir 60 tahun Yu Sumi tidak mencintai wanita, apalagi mencintai lelaki, tidak berpacaran, tidak nikah. Yu Sumi bekerja keras.

Yu Sumi mengisi hidupnya dengan bekerja, bekerja, bekerja dan bekerja hingga kelelahan kemudian tertidur. Yu Sumi tidak punya kekayaan dunia. Tidak punya pekerjaan tetap. Tidak punya warung usaha atau apapun. Yu Sumi tidak cukup waktunya untuk memenuhi permintaan para tetangga untuk membelah kayu, mencangkul dan nggaru nyingkal sawah, untuk melakukan berbagai macam pekerjaan yang orang menyebutnya pekerjaan kasar dan rendahan.

Ya Ampun ya Salam alangkah kasar orang yang menciptakan istilah pekerjaan dan kasar. Dan alangkah tidak punya kelembutan siapa saja di antara masyarakat yang menyebut pekerjaan Yu Sumi adalah pekerjaan rendahan. Alangkah bodoh manusia yang menyebut Yu Sumi memanjat pohon kelapa dan membelah kayu-kayu besar adalah pekerjaan kasar.
***
Itu pekerjaan keras. Memerlukan kekuatan dan kekerasan. Karena tidak mungkin membelah kayu glugu dengan kelembutan. Betapa pentingnya kekerasan dalam  bagian-bagian tertentu dari kehidupan. Istilah pekerjaan kasar berasal dari manusia yang berhati kasar, yang diam-diam merindukan kelembutan namun tak kunjung mendapatkannya. Istilah pekerjaan rendahan bersumber dari orang-orang yang kenyataan martabatnya rendah, yang merindukan ketinggian derajat namun tak pernah memperolehnya.

Yu Sumi wanita yang kuat dan keras, namun kekerasannya ia tumpahkan ke pohon kelapa dan kayu-kayu, tidak kepada sesama wanita. Yu Sumi juga lembut dan mendalam cintanya, namun kedalaman cinta itu ia kembalikan secara diam-diam dan sunyi kepada sumbernya. Yu Sumi adalah hardworker di dunia, namun di dalam dirinya ia adalah pengasih dan kekasih Tuhan, tanpa ia puisikan, tanpa ia tasawufkan, tanpa ia romantisasikan dengan label Agama Nusantara, Agama Pohon Kelapa, Ahlul Glugu wal Kayu atau apapun.

Yu Sumi dikatakatain sejumlah orang di dalam hatinya, namun tak pernah pengkatakataan itu dikatakatakan melalui mulut mereka. Yu Sumi diejek-ejek oleh sejumlah anak-anak kecil yang melihatnya sebagai keanehan: perempuan kok sarungan, wanita kok memanjat kelapa dan membelah kayu-kayu. Tetapi tak usah Tuhan, Yu Sumi yang tak sekolah dan tidak nyantri pun cukup untuk mengerti bahwa anak-anak tidak berdosa dengan ejekan-ejekannya itu. Dan Yu Sumi tidak pernah bodoh untuk marah kepada anak-anak itu. Sebagaimana Tuhan pun tidak menghukumi atau menghardik anak-anak manusia yang belum aqil (sanggup menggunakan akal) baligh (mampu menyampaikan kebaikan).
***

Yu Sumi sangat bermanfaat hidupnya bagi para tetangga. Yu Sumi pekerja sangat keras, rajin, tekun dan anti-kemalasan. Masyarakat desa tidak terpelajar tapi sepanjang hidup Yu Sumi mereka menjaga aurat. Bahwa posisi khuntsa, kehadiran mukhannats Yu Sumi adalah aurat yang harus mereka lindungi bersama. Tidak dibuka-buka. Tidak didiskusipublikkan. Tidak dimedsosmedsoskan. Tidak menjadi agenda pemikiran dan undang-undang. Tidak dilebailebaikan dengan bermacam akrobat ilmu dan pengetahuan, tidak dilebihlebihkan dengan pernyataan-pernyataan dan ideologi.

Dan Yu Sumi menolong masyarakat dengan mengalah secara sosial dan mentransendensikan secara keTuhanan, meskipun untuk melakukan semua itu Yu Sumi tidak memerlukan pengenalan tentang berbagai kata dan istilah yang mumbul-mumbul muluk-muluk khas manusia dan peradaban modern yang merasa dirinya pandai dan paling hebat.

Yu Sumi secara naluriah sangat mengerti satu hal. Bahwa eksistensinya adalah rahasia Tuhan, di mana ummat manusia tidak sanggup menanggung dengan ilmunya, tidak sanggup menyangga dengan pengetahuannya. Yu Sumi secara sukma dan jiwa tahu bahwa ia adalah rahasia Tuhan. Pusat berkah atau celakanya terletak pada posisi nafsu seksualnya.

Dan Yu Sumi punya harga diri kemanusiaan yang sangat tinggi, karena memang demikian Tuhan menentukan makhluk satu ini sebagai ahsanu taqwim, sebagai masterpiece ciptaan-Nya, sehingga Tuhan memilih dan melantiknya sebagai khalifah-Nya, sebagai wakil-Nya. Yu Sumi mengetahui itu semua karena ia belajar dengan caranya sendiri, berdasar posisi sosialnya sendiri, serta membatasi diri pada kerahasiaan ketentuan Tuhan yang ia pagari dengan waspada dan seksama di tengah pemetaan sosial masyarakatnya.

Karena mengerti tingginya derajat sebagai manusia, Yu Sumi dengan sangat radikal menumpas nafsu seksualnya. Berat pada tahun-tahun pertama. Tapi segera Yu Sumi menemukan bahwa untuk melawan nafsu hanyalah diperlukan satu lompatan kecil di dalam jiwa dan mentalnya. Nafsu sex tidak seram bagi Yu Sumi. Tidak muluk-muluk dan tidak berkuasa atas dirinya.

Yu Sumi cukup tekan knop “off” dalam maintenance mentalnya. Sampai akhirnya sang nafsu putus asa untuk berani-berani “on” di dalam diri Yu Sumi. Apalagi setiap kali sang nafsu mencoba nakal menggodanya, Yu Sumi ambil nafsu itu dari dalam dirinya, dicabut, dikeluarkan, digenggam dengan tangan kirinya, ia pelototi dan ia banting pecah berkeping-keping di tanah terjal desa kami.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
25 Februari 2016

https://www.caknun.com/2016/ahlul-glugu-wal-kayu/


Managemen keAdaman dan keHawaan Daur I No.22

 

Managemen keAdaman dan keHawaan (Daur I - 22)

 •   •  Dibaca normal 4 menit

Sebelum kisah kecil tentang Yu Sumi, tolong anak cucuku dan para jm memastikan pemahaman bahwa “empat huruf” itu tidak sama dengan Mukhonnats, Wandu atau Banci. Sama sekali berbeda.
Banci itu keadaan, yang menjadi identitas. Sepanjang tidak ditulari secara budaya, maka Banci Mukhonnats Wandu adalah kehendak alamiah Tuhan. Di empat nomor tulisan ini kita belajar pengelolaannya, ke dalam diri yang bersangkutan, maupun penanganan secara sosial.

Tetapi “gay”, “lesbi”, “bisex” dan “transgender” bukan keadaan, bukan identitas, melainkan perbuatan atau perilaku sosial. Jadi “empat huruf” itu tidak menjelaskan identitas, melainkan perilaku.
Tidak ada masalah kita lelaki, perempuan atau banci. Yang menjadi masalah adalah ketika lelaki dan perempuan berhubungan seks tidak dalam pernikahan. Apalagi berhubungan seks sesama jenis, dengan benda, dengan hewan, batang pisang atau tiang kayu, atau beramai-ramai berjenis-jenis.
Kalau masalah yang timbul hanya terhadap hukum, moral atau norma sosial, masih tidak terlalu mengancam kehidupan. Tapi kalau masalahnya adalah konflik dengan kemauan Tuhan, anak cucuku dan para jm tolong jangan anggap ringan.
***

Yu Sumi, wanita yang kelelaki-lekakian, adalah seniorku dulu di desa. Guk Urip, lelaki yang kewanita-wanitaan, juga senior era berikutnya. Dan Mas Bardi, lelaki gagah berbadan besar gempal tapi kewanita-wanitaan, adalah juga senior hidupku di salah satu tempat perantauanku.

Tuhan menginformasikan bahwa Ia menciptakan makhluknya dengan potensi maskulinitas dan feminitas dalam kadar yang berbeda-beda. Bahkan Ia sebut “syu’uban wa qaba’il”, yang selama ini diterjemahkan menjadi “bersuku-suku dan berbangsa-bangsa”, meskipun ketika ayat itu turun belum ada konsep atau perumusan tentang bangsa.

Syu’ub dan qaba’il tidak harus bermakna hanya suku atau tribe dan bangsa atau rumpun bangsa. Penduduk negeri Benelux disebut tiga bangsa karena negaranya pun tiga, padahal sesungguhnya mereka satu qabilah, atau satu bangsa, atau bahkan satu suku atau sub-bangsa. Semua itu sangat relatif. Dan bagaimana pemetaan ciptaan Tuhan itu dipahami tidak dengan mempelajari konsep dasar dari Tuhan, tetapi disimpulkan berdasarkan paham-paham temporer ilmu manusia. Yang besok dibatalkan sendiri. Lusa dilanggar sendiri. Seminggu berikutnya diingkari, dibantah dan dikutuk sendiri.

Mohon diingat oleh anak cucuku dan para jm, ini bukan tafsir, dan aku pun tak memenuhi syarat untuk menjadi mufassir. Ini sekedar pesan pribadi kepada kalian, yang lebih baik tak usah didengar oleh khalayak umum, agar tidak menambahi potensi perbedaan dan pertentangan.

Demikianlah ummat manusia bermain-main dengan arca dan patung-patung pemikiran dan khayalannya sendiri. Patung bukan satu-satunya bentuk berhala. Justru mayoritas berhala dan pemberhalaan bertebaran di peta pengetahuan dan pilihan ilmu kaum cendekiawan. Terutama di hamparan hasil teknologi kebudayaannya. Abad 20-21 adalah peradaban ummat manusia yang jumlah Latta-Uzzanya hampir tak bisa dihitung. Hampir seluruh arca yang diberhalakan itu dikostumi dengan pakaian-pakaian agama, dijubahi dikerudungi dengan performa kesucian Tuhan dan Nabi-Nabi.
***

Karena kemalasan berpikir, meneliti dan menganalisis, maka kumpulan-kumpulan manusia bisa suatu hari keluar rumah dengan senjata tajam dan acungan tangan-tangan serta teriakan pekikan yang menyebut nama Tuhan — dengan penuh kegagahan dan keperkasaan membakar sebuah patung, karena mereka tidak belajar untuk mengetahui bahwa arca yang perlu dibakar sesungguhnya terletak di dalam dismanagemen berpikir mereka sendiri.

Apa yang kutuliskan ini mutlak tidak diperlukan oleh teman-teman kita sesama makhluk hidup yang hampir mustahil memahami bahwa letak berhala-berhala yang mereka musuhi itu berada di dalam akal mereka sendiri. Maka aku hantarkan nilai-nilai ini kepada anak-anak cucu-cucuku agar jangan kelak menjadi keledai zaman yang mengulang-ulang ketidakmengertian dan memasuki lobang-lobang ketidakpahaman sampai ratusan kali, mungkin ribuan kali, dan seperti tak  ada kemungkinan bahwa ribuan kali itu akan tidak bertambah dan diteruskan.

Anak-anak cucu-cucuku sudah hafal bahwa letak kekufuran, kemusyrikan, bid’ah, keterpelesetan aqidah dan kesesatan dari garis tauhid, tidaklah berada di luar diri. Tidak di kota ataupun desa. Tidak di bunyi ataupun sepi. Tidak di perempatan jalan atau di toko-toko besar. Tidak di perkampungan atau gedung-gedung tinggi. Tidak di negara atau di rumpun suku-suku hutan belantara. Tidak di dalam atau di luar masjid dan tempat-tempat ibadah ataupun persangkaan-persangkaan ubudiyah yang lain.

Melainkan terletak di dalam akal dan hati masing-masing. Terletak di dalam ketidaktepatan atau ketepatan tujuan utama kehidupan. Terletak di dalam lingkup niat dan hajat. Terletak di dalam diri. Terletak di dalam diri. Jadi ambil pedang dan obor, berlarilah menghamburlah ke dalam diri sendiri, tebas kebatilan akalmu dengan pedang dan bakar kebodohan pikiran diri sendiri dengan api.
***
Yu Sumi di dusunku, seorang Hawa yang keAdam-Adaman, sampai akhir hayatnya tidak bisa menemukan kepenuhan Hawa dalam dirinya, tapi juga hal itu tidak lantas membuatnya berprasangka bahwa dirinya adalah Adam.

Tuhan menciptakan di dalam diri Adam terdapat potensi Hawa, yakni kelembutan, kasih sayang, keluwesan. Adam melambai hatinya kepada Hawa dan anak-anaknya, bahkanpun kepada Qabil sesudah membunuh Habil kakaknya. Tetapi hati melambai Adam tidak diekspresikan keluar melalui tangan dan gerak tubuh yang melambai. Karena Adam diajari Tuhan untuk waspada dan mengerti bahwa hidup adalah menata batas-batas.

Hawa juga memiliki unsur ke-Adam-an di dalam dirinya. Dan sebagaimana Adam, Ibu Hawa menjaga batas bahwa ekspresi sosialnya harus mengutamakan ke-Hawa-annya dan mengelola ke-Adam-annya untuk konteks-konteks tertentu di dalam metode pergaulan sosial.

Semua lelaki adalah Adam yang mengandung Hawa. Semua wanita adalah Hawa yang mengandung Adam. Keduanya dan masing-masing adalah Khalifah, dan yang pertama-tama mereka khalifahi adalah managemen internal dirinya sendiri, sebelum banyak omong dan menghamburkan orasi-orasi tentang negara, demokrasi dan apapun keluar dirinya.

Lelaki bukan hanya kegagahan dan kekerasan, karena ia juga dibekali Tuhan kelembutan dan kasih sayang. Wanita bukan hanya kelembutan dan kasih sayang, karena Tuhan juga membekalinya dengan ketegasan dan kekerasan. Tidak ada anti-kekerasan. Yang ada adalah anti-kekejaman. Tulang belulang wajib keras. Daging, otak, jantung dan paru-paru wajib lembut. Darah wajib cair.

Tidak ada radikalisme, yang ada adalah radikalitas pada batas dan ukurannya. Kalau karena sakit tertentu kaki harus diamputasi, maka harus diterapkan tindakan radikal memotong kaki. Kalau api menguasai cahaya hati, maka dibutuhkan keputusan radikal untuk memadamkan api. Kekerasan diperlukan untuk prosedur membuat anak dan mengabdi kepada sunnah regenerasi. Tetapi kekerasan kelamin laki-laki harus diperjodohkan dengan kelembutan hatinya kepada istri.

Managemen keAdaman dan keHawaan di dalam diri setiap manusia memerlukan sekaligus kelembutan dan kekerasan. Kepada nafsu syahwat harus keras dan radikal untuk mengatur batasan-batasannya. Itulah sebabnya aku tuturkan kepada anak-anak cucu-cucuku tentang Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
24 Februari 2016
sumber : https://www.caknun.com/2016/managemen-keadaman-dan-kehawaan/




Empat Huruf Mengatasi Demokrasi dan Tuhan Daur I No.21

 

Empat Huruf Yang Mengatasi Demokrasi dan Tuhan  (Daur I - 21)

 •   •  Dibaca normal 4 menit

Kekuatan besar dunia terus mempermainkan ummat manusia dengan melemparkan hati dan pikiran mereka di sungai-sungai isu yang berganti-ganti: Islam musuh baru sesudah komunisme, Arab Spring, Islam teroris, provokasi terencana untuk membuat Kaum Muslimin sedunia bermusuhan, kemudian beberapa level isu, bom pura-pura hingga tema Wandu.

Kuharap anak-cucuku dan para jm tak usah membawa pembicaraan kita ini ke lapangan Indonesia dan dunia. Ini bisik-bisik pribadi, aku kepada anak cucu dan para JM. Dunia dan Indonesia sangat kuat dan berkuasa. Maka kalian kalau bisa berupaya agar jangan sampai dikuati dan dikuasai. Kalian harus kuat dan berkuasa atas diri dan kehidupan kalian sendiri.
Kalau bisa jangan sampai terhanyut dan tenggelam oleh tipu daya global atau nasional apapun. Maka selalu kutuliskan secara khusus dan berkala berbagai hal untuk itu, syukur menjadi bekal untuk tidak terjajah oleh beribu tipu daya yang membanjiri kiri kananmu. Semata-mata buat anak cucuku dan Jamaah Maiyah.

Sebenarnya jadwalku hari ini meneruskan ‘PR’ lanjutan tulisan terutama perang terhadap kata dan simpul-simpul masyarakat Jin. Tetapi alangkah menderitanya hatiku hari ini!
Hidup di dunia yang diciptakan sangat indah oleh Tuhan namun dibusukkan dan dikumuhkan oleh peradaban ummat manusia yang penuh ketidakadilan dan keserakahan. Dan aku tersandera untuk turut meramu obat untuk penyakit-penyakit yang seharusnya tak perlu ada. Ikut mencarikan jalan keluar atas persoalan-persoalan yang sesungguhnya bisa tidak usah ada. Dipaksa berkata, menyusun kalimat, menguraikan dan menjelaskan berbagai hal-hal yang semestinya tidak perlu ada penjelasan apa-apa.
Hidup puluhan tahun di tepian jauh alam semesta dilepas oleh Tuhan dengan tugas untuk mengembara mencari kunci demi kunci untuk membuka pintu-pintu rahasia-Nya. Untuk meraba apa sesungguhnya yang dikehendaki oleh-Nya. Mendengarkan bisikan-bisikan kesunyian untuk menemukan apa hakekat kemauan-Nya, bagaimana alur skenario-Nya, apakah sudah mendekati babak final skrip-Nya, ataukah masih jauh jauuuh di seberang cakrawala.

Tiba-tiba hari ini aku harus menuliskan sesuatu yang sangat merusak keindahan yang sudah terbangun sangat lama di kedalaman jiwaku. Dunia dipenuhi oleh sampah-sampah hasil kerusakan akhlak, oleh kemalasan dan kegelapan berpikir, oleh barang-barang dan peristiwa-peristiwa hina produk dari keserakahan manusia, serta oleh berbagai jenis kekonyolan, kesempitan dan kedangkalan — yang awalnya terasa menggelikan, kemudian menyebalkan, dan akhirnya memuakkan.
Mendadak aku diinstruksikan untuk menulis tentang Wandu. Betapa sengsaranya hatiku.
***

Wandu itu banci. Banci itu kelamin syubhat. Kemudian sebenarnya tidak ada kelamin syubhat, tapi ditakhayuli oleh api nafsu yang menyamar sebagai hak alamiah. Lantas diambil alih oleh akulturasi budaya di mana manusia tidak memiliki kontrol apapun untuk memahaminya dan untuk menghindari terjebak terkurung dan diaduk-aduk oleh hakekat pembiasaan budaya itu.
Bahkan kemudian dilegitimasi oleh kekuasaan politik melalui legalitas hukum. Dan sesungguhnya apa yang ditandatangani dan disebar-sebarkan itu tidaklah ada kaitannya dengan politik dan hukum, melainkan berhubungan dengan niat perapuhan atas suatu kelompok masyarakat atau bangsa. Perapuhan, pemecah-belahan, pengkebirian intelektual dan mental. Dan pangkal hajat yang tersembunyi di belakang itu semua adalah skenario perampokan harta, penjambretan kekayaan bumi di wilayah yang skala dan titik-titik koordinatnya sudah digambar di lembar kertas perencanaan penjajahan.
Akhirnya hari ini semua orang di sekitarku senegara beserta beberapa masyarakat di beberapa negara target lainnya, disibukkan oleh empat huruf yang heboh. Empat huruf yang dibiayai oleh persatuan bangsa-bangsa untuk disosialisasi secara khusus sejak Desember dua tahun kemarin hingga September tahun depan. Empat huruf yang di sejumlah negara besar di muka bumi semua orang harus berpendapat sama tentangnya.
Empat huruf yang barangsiapa tidak menyetujuinya maka ia akan dihina dan dihardik. Empat huruf yang lebih tinggi kekuasaan nilainya dibanding Demokrasi dan Freedom of Speech. Empat huruf yang dibela total oleh Hak Asasi Manusia. Empat huruf yang hakekat kehadirannya bahkan “harus dipatuhi oleh Tuhan”…. Empat huruf yang mengubah sejarah penciptaan makhluk-makhluk dan alam semesta. Empat huruf yang menambah lembaran catatan bahwa dulu Tuhan tidak hanya menciptakan Adam dan Hawa, tapi juga Hawa dan Syahba, serta Adam dan Karta.
***
Ummat manusia semakin tidak percaya dan tidak merasa perlu meneliti batas dan jarak antara sunnatullah atau ciptaan otentik alamiah dengan gejala budaya, interaksi kultur, fenomena akulturasi dan pergesekan pengaruh di dalam kebudayaan kolektif manusia. Tidak bisa dan tidak mau memperhatikan dan melihat perbedaan antara setan dari luar dengan setan dari dalam dirinya sendiri, “alladzi yuwaswisu fi shudurinnas, minal jinnati wannas”. Tidak mampu dan tidak bersedia menemukan pilah dan garis-urai antara ruh dengan nafsu, antara semangat hati dengan gejolak api, antara cinta dengan kebinatangan, antara kesucian dengan pelampiasan.

Maka ummat manusia, terutama yang terpelajar, sudah tidak memerlukan pertimbangan mendasar tentang apa yang harus dijalankan dan apa yang wajib tidak dijalankan. Apa yang layak dijunjung dan apa yang seharusnya dihentikan. Apa yang bermasa depan untuk dianjurkan dan diaktivasikan secara sosial, serta apa yang tidak bisa ditumbuhkan, tidak akan memuai menjadi pohon dan daun-daun, serta sama sekali tidak akan pernah berbuah manfaat apapun bagi kehidupan.

Para aktivis empat huruf itu tidak menemukan apapun di dalam dirinya kecuali segumpal benda yang berhakekat maut, segumpal sosok semu atau sekepulan asap khoyal yang baginya itu merupakan kekayaan tertinggi dalam hidupnya. Ia lindungi sisa kekayaan itu dengan kotak baja hak asasi manusia. Bahkan ia takut kehilangan gumpalan asap itu kalau beberapa saat saja ia menoleh melihat apa sebenarnya asal-usul semua itu. Juga merasa akan kehilangan cinta semu yang berperan sangat nyata di hati takhayulnya itu jika ia menatap cakrawala masa depan yang jauh, tak usah masa depan dan regenerasi seluruh ummat manusia — bahkanpun sekedar masa depan dirinya sendiri dengan pasangannya.
***
Jika aku punya hak dan boleh memilih, takkan kutuliskan hal ini. Maka jika aku menuliskannya, tidaklah sama sekali kumaksudkan untuk para empat huruf, bahkan juga tidak untuk masyarakat, bangsa atau ummat manusia.

Aku menulis hanya untuk anak-anakku cucu-cucuku. Maka kubikin tidak gamblang, tidak mudah dicerna, tidak seperti mangga yang sudah kukuliti kuirisi dan kusuguhkan di atas meja.
Aku menyampaikan kepada anak-anak cucu-cucuku bukan buah mangga, melainkan pelok, bijih-nya. Tidak untuk dimakan, melainkan untuk ditanam di sawah ladang akal pikiran, untuk diperkebunkan di semesta wawasan ilmu dan pengetahuan, untuk disirami dengan kecerdasan dan disuburkan dengan menjaga persambungan dengan Maha Sumber Ilmu.

Ya Khuntsa.

Ya Mukhonnats.

Ya ayyuhal AlMukhnitsin.

Ya Luthy…. orang menyebut mereka Qoumu Luth, alias Luthy…. Tapi aku tak setuju sebutan itu. Mereka bukan kaum Luth, karena Nabiyullah Luth yang ma’shum tidaklah sama sekali mengajarkan kedangkalan, kesempitan, kesepenggalan dan kekonyolan itu.

Bahkan Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi, yang oleh Allah disandera dalam cinta yang berupa ujian hakiki alami berpotensi lebih besar untsa-nya atau dzakar-nya, feminitas atau maskulinitasnya — bukanlah warga empat huruf.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
23 Februari 2016


Sabtu, 21 Juli 2018

Tetes Bulan Juli 2018







Yang di Hadapan-Ku Ini

(Makhluk Manusia, 11)

 •   •  Dibaca normal 1 menit

tetes-emha-ainun-nadjib-caknun-mbahnun-yang-dihadapanku-ini-sinaubarengjoss
Yang dihadapan-ku ini
Bagaimana ini sebenarnya
Juntrungan berpikirnya makhluk manusia
Mengolah alam sampai puncak kecanggihan
Kemudian mereka pandangi dan nikmati
Beribu jenis pencapaian itu
Puncak-puncak teknologi
Kehebatan, kemewahan, kemudahan
Otomatisasi hampir total
Efektivisasi, efisiensi
Alam semesta di genggaman tangannya
Bumi mengecil seujung jari
Yakin ilmunya menembus langit tertinggi
Mereka resmikan pembangunan dan sofistikasi
Kemudian lupa melihat ke dalam diri
Di ruang jiwanya terdapat lubang hampa
Yang ukurannya seribu alam semesta
Di tengah keremangan malam hari
Tuhan bertanya dari balik sepi:
“Siapa engkau yang di hadapan-Ku ini?”
Makhluk manusia terperangah
Tak pernah ia bersekolah untuk memahami
Bahwa yang bertanya itu adalah dirinya sendiri

Idulfithri 1439-H

https://www.caknun.com/2018/yang-di-hadapan-ku-ini/ 
=======================================

Sesekali Terucap Nama-Mu

(Makhluk Manusia, 12)

 •   •  Dibaca normal 1 menit

tetes-emha-ainun-nadjib-caknun-mbahnun-sesekali-terucap-namamu-sinaubarengjoss
Sesekali Terucap Nama-Mu






Buang Muka dan Memunggungiku

(Makhluk Manusia, 13)

 •   •  Dibaca normal 1 menit

tetes-emha-ainun-nadjib-caknun-mbahnun-buang-muka-dan-memunggungiku-sinaubarengjoss
Buang Muka Dan Memunggungiku






Sertakan Aku di Kerumunan Itu

(Makhluk Manusia, 14)
 •   •  Dibaca normal 1 menit

tetes-emha-ainun-nadjib-caknun-mbahnun-sertakan-aku-di-kerumunan-itu-sinaubarengjoss
Sertakan Aku di Kerumunan Itu






Ke Pusat Kehampaan Semesta

(Makhluk Manusia, 15)

 •   •  Dibaca normal 1 menit

tetes-kepusat-kehampaan-semesta-makhluk-manusia15-caknun-mbahnun-juli2018-idulfitri-1439h-sinaubarengjoss
TETES, Ke Pusat Kehampaan Semesta







Alif Pun Tak Sampai

(Makhluk Manusia, 16)

 •   •  Dibaca normal 1 menit

tetes-alifpun-tak-sampai-idulfitri1539h-emha-ainun-nadjib-caknun-mbahnun-makhlukmanusia16-sinaubarengjoss
TETES, Alif Pun Tak Sampai







Doa Ketabahan

(Makhluk Manusia, 17)

 •   •  Dibaca normal 1 menit







Marodlussufla

(Makhluk Manusia, 18)
 •   •  Dibaca normal 1 menit







Ashabul Khiro`

(Makhluk Manusia, 19)
 •   •  Dibaca normal 1 menit







Berdiri di Pojokan

(Makhluk Manusia, 20)
 •   •  Dibaca normal 1 menit







Rumah Tak Berpintu

(Makhluk Manusia, 21)

 •   •  Dibaca normal 1 menit


Rumahku tak berpintu, tanpa jendela
Tak ada lubang biar sedzarrah
Tiang utama di titik pusat rumahku
Adalah keremangan menjulur ke langit
Dan menembus ke bawah gua rahasia
Tampak seperti sesosok pertapa suci
Puluhan abad lamanya ia berdiri
Telapak kakinya menyatu dengan lantai
Lantainya seakan-akan bumi
Di bawah pijakan kakinya terdapat lorong
Yang memanjang tak terukur jaraknya
Menuju induk alam dan pusat semesta
Kutemboki rumahku dengan baja
Yang tidak kutambang dari bumi
Kulapisi dengan pedang-pedang berduri
Tak bisa dimasuki oleh udara dan bakteri
Tak ada kuman, kotoran, tahinya tahi
Yang muncrat menciprat ke sana kemari
Dari mulut dan anus para pemakan bangkai
Penghuni utama zaman Ekstrem Jahiliyah ini

Idulfithri 1439-H

https://www.caknun.com/2018/rumah-tak-berpintu/
============================================== 

Di Luar Dinding

(Makhluk Manusia, 22)
 •   •  Dibaca normal 1 menit








Semau-mau Ilahi Rabbi

(Makhluk Manusia, 23)

 •   •  Dibaca normal 1 menit

Kubuang ke besok pagi
Semua puisi yang telah kutulis ini
Sebab tamu derita kali ini
Benar-benar tak bisa kupahami
Aku tidur karena tak mengerti
Bagaimana menjawab semua ini
Aku terlempar dan terkatung-katung
Di padang tak bertepi
Terbang tanpa bobot
Ke langit misteri kuasa Ilahi
Aku berduka tak terperi
Aku menderita untuk Nevi
Bagaimana ia tempuh detik demi detik
Menjalani kelumpuhan hati mulai saat ini
Bukan soal Bu Eni Untari
Ia sudah menjelma Bidadari surgawi
Tetapi akan meledak atau lumpuhkah musik kami
Di perjalanan Maiyah ke sana kemari
Hatiku sengsara untuk Indra Sjafri
Sekadar takjil satu gol
Sesudah ribuan jenis puasa kami jalani
Sesudah bangsa kami terpuruk tak henti
Sekadar setetes air harga diri
Di depan wajah bangsa penghina kami
Ya Allah, Engkau jawab dengan teka-teki
Inna shalati wa nusuki ma mahyaya wa mamati
Semau-mau-Mu wahai Ilahi Robbi

Idulfithri 1439-H

https://www.caknun.com/2018/semau-mau-ilahi-rabbi/
===========================================

Tohpati Tohnyawa

(Makhluk Manusia, 24)
 •   •  Dibaca normal 1 menit

Tiga diri pengembaraku
Sering kusuruh pulang
Supaya tak jadi terasing
Dari diri pertapaku di rumah
Agar tetap hafal dedaunan sejati
Yang bukan seperti di permukaan bumi
Bebuahan dan kembang warna-warni
Yang tak kasat mata
Yang bukan makanan pancaindera
Supaya mereka memandang dengan mripat baka
Cahaya memancar tak henti-hentinya
Sampai waktu pun merunduk padanya
Juga agar jangan sampai tak eling dan tak waspada
Bahwa di bawah akar pohon suci sang pertapa
Terdapat lorong langsung ke pusat semesta
Di mana Diri Sejati bersinggasana
Yang kuabdi dengan tohpati tohnyawa
Tanpa satu sekon pun dari usiaku tersisa

Idulfithri 1439-H

https://www.caknun.com/2018/tohpati-tohnyawa/
=================================================

Bukan dengan Resep atau Kiat, Apalagi Instan

 •   •  Dibaca normal 1 menit

Keadaan ummat manusia, masyarakat dan Negara sangat tidak sederhana sebagaimana yang kebanyakan orang membayangkannya. Sehingga menyangka kalau ada kerusakan-kerusakan, mereka mengharapkan ada kiat yang sederhana, ada resep yang jelas dan padat.
Jangan berpikir bahwa keadaan ini bisa diatasi seperti kita menyembuhkan masuk angin dengan sebotol kecil cairan obat, atau memasak sayur dengan racikan bahan-bahan yang sederhana, tertentu dan mudah dihitung.
Perubahan zaman dan sejarah, apalagi di Negara yang sudah kehilangan Patok Negoro-nya, dengan rakyat yang sudah tidak memiliki patrap nilai, takaran perubahannya bukan melalui resep atau kiat, apalagi yang instan.

https://www.caknun.com/2018/bukan-dengan-resep-atau-kiat-apalagi-instan/ 

==============================================

Berhenti Pada Mati

(Makhluk Manusia, 25)

 •   •  Dibaca normal 1 menit







Kecuali Engkau yang Mendengarkan

(Makhluk Manusia, 26)
 •   •  Dibaca normal 1 menit







Kutelan dengan Samuderaku

(Makhluk Manusia, 27)

 •   •  Dibaca normal 1 menit













Menempuh Daur

 •   •  Dibaca normal 1 menit





Sorga Sudah Sangat Dekat

(Makhluk Manusia, 28)

 •   •  Dibaca normal 1 menit

Tengah malam aku ditimbali
Diculik ke tempat tersembunyi
Sebagaimana demikian setiap kali
Ruang waktu yang tak kumengerti

Sang Paduka membisikkan
Bahwa sorga sudah sangat dekat
Tapi akhirat masih lama
Jangan pandang dengan matematika

“Kalau memang perjalananmu
Adalah menempuh rindu dan derita
Siangkan malammu, malamkan siangmu
Agar Kuperkenankan jadi manusia berikutnya”

Idulfithri 1439-H

https://www.caknun.com/2018/sorga-sudah-sangat-dekat/
====================================== 

Sudah Bukan Milik Mereka Lagi

 •   •  Dibaca normal 1 menit

Kalau melihat keadaan sehari-hari, di jalan-jalan, kampung-kampung dan di mana saja, semuanya seakan serba normal, baik-baik saja. Orang senyum-senyum di sana sini. Banyak wajah sengsara karena berbagai kesulitan, tapi mereka selalu sanggup menaklukkan penderitaan di dalam diri mereka.
Padahal harta benda Negeri ini sudah semakin bukan milik mereka lagi. Padahal martabat kebangsaan mereka sudah semakin terkikis. Robot Penjaga Pintu Kedaulatan sangat patuh dan rajin membukakan pintu lebar untuk berbagai jenis Pasukan dari luar, untuk dipersilakan melakukan penguasaan, penjajahan, penipuan, dan perampokan semau-mau mereka.




Satu Tak Terhingga

(Makhluk Manusia, 29)
 •   •  Dibaca normal 1 menit


Wahai Engkau yang takkan pernah kutahu
Yang Maha Tak Bernama, yang tak siapapun
Punya arah untuk memanggil-Nya
Namun Engkau mengaku Allah kepadaku
Demi mempermudah pengejawantahan cinta dan rindu
Kalau dari sembilan puluh sembilan titipan-Mu
Hanya mampu kusampaikan seperseribu kali satu
Mohon janganlah Engkau murka karena itu
Sebab sesekali telah Engkau kuakkan rahasia dari balik tabir itu
Bahwa setiap angka berjumlah tak terhingga
Bahwa setiap jumlah niscaya Satu belaka
Sementara untuk menjadi satu pun aku tiada
Sebab aku, ia, kami, mereka, serta segala gegap gempita
Hanyalah animasi-Mu belaka

Idulfithri 1439-H

https://www.caknun.com/2018/satu-tak-terhingga/
==========================================

Dari Balik Dinding Kamar

(Makhluk Manusia, 30)
 •   •  Dibaca normal 1 menit

Di masa kecilku dulu Tuhan datang
Minta ditemani dan diantarkan
Bertamu ke rumah para tetangga
Satu persatu kami ketuk pintu mereka
Kini tatkala kujalani senja
Tak terhitung lagi berapa jumlahnya
Rata-rata mereka semua di seantero dunia
Menolak kedatangan kami berdua
Dari balik dinding kamar-kamar mereka
Tanpa kulihat wajah mereka bersuara

“Kami tidak punya waktu untuk sia-sia
Jangan bawa kepada kami fatamorgana
Mampuslah sendiri kalian semua
Dengan tuhan kalian yang maha esa
Bukankah tuhan itu sendiri menyatakannya
Bahwa ia menciptakan makhluk manusia
Tanpa diberi peralatan yang seksama
Untuk mampu mengenalnya
Manusia hanya merasakan gejalanya
Hanya merasakan kehadirannya
Tapi mustahil mengenal dirinya
Tan kinoyo opo, tan kinoyo sopo
Laisa kamitslihi syaiun
Wa lam yakun lahu kufuan ahad

Maka sejak Habil di hari-hari pertama
Hingga segala peradaban merajalela
Manusia berebut menciptakan tuhannya
Setiap orang bersama kelompoknya
Meniscayakan dan mempertahankannya
Manusia bermusuhan satu dengan lainnya
Kebencian dan pertentangan tiada habisnya
Tuhan tersenyum dan menyorong mereka
Diserap dan ditelan oleh lubang hitamnya
Sambil menyembunyikan cahaya
Di balik punggungnya

Idulfithri 1439-H

https://www.caknun.com/2018/dari-balik-dinding-kamar/
======================================== 

Aku Gila

(Makhluk Manusia, 31)
 •   •  Dibaca normal 1 menit  
 
Aku gila pujian
Aku gila harta benda
Aku maniak kekayaan
Aku selalu lapar pengakuan
Dan aku sungguh mati rasa
Kalau tak memperoleh penghormatan
Aku tidur sepersepuluh waktu
Kulakoni sangat banyak jenis puasa
Sejak kanak-kanakku
Kupeluk tiga ribu manusia tiap malam
Aku menanam cinta di seantero negeri
Tanganku berlumpur sawah
Kubiarkan hidungku menghisap
Kotoran dan sampah dunia
Racun-racun kutenggak
Beribu orang menancapkan pedang
Ke dadaku, dan kubenamkan sendiri
Hidupku berkubang najis dunia
Karena tak sehari tak semalam pun
Pernah kutinggalkan penghuninya
Tetapi hatiku hampa dari kehidupan
Yang kucari adalah pujian, harta benda
Kekayaan dan penghormatan
Dari-Mu, wahai Kekasihku
Hanya dari-Mu
Kalau ada yang lain yang memujiku
Mencium tangan dan memeluk jasadku
Tentulah itu karena mereka menyangka
Ini adalah aku

Idulfithri 1439-H

https://www.caknun.com/2018/aku-gila/
===================================== 

Tak Kunjung Mengenalku

(Makhluk Manusia, 32)
 •   •  Dibaca normal 1 menit

Aku berlindung kepada-Mu
Wahai Maha Pengayom manusia
Aku melayang-layang di kehampaan
Animasi performa zaman
Yang bahannya adalah kebodohan
Aku terlempar ke beribu penjuru cakrawala
Dibuang dan dibenturkan ke tembok-tembok
Yang ternyata adalah kekosongan
Ummat manusia berpegangan pada tali
Padahal sebenarnya bukan tali
Orang berduyun-duyun menuju arah
Sementara barat timur utara selatan
Bukanlah arah yang bisa jadi tujuan
Aku bergandengan tangan, berangkulan
Berhimpun dengan kaum-Mu yang baru
Tetapi mereka tak kunjung mengenalku
Mereka sangka aku padahal bukan
Mereka pikir bukan padahal aku
Betapa juga mungkin memakrifati-Mu
Aku berlindung kepada-Mu
Wahai Maharaja dan Dzat perlindungan sejati
Dari silau dunia dan bias penghuninya
Yang gagal memilah-milah
Antara dzat dan benda
Antara nafsu dan cinta
Antara Tuhan, Malaikat, Dewa, Nabi
Dengan diri mereka sendiri
Antara firman-Mu yang suci
Dengan cipratan ludah mereka sendiri

Idulfithri 1439-H

https://www.caknun.com/2018/tak-kunjung-mengenalku/
==========================================

Rahasia Keputusan-Nya

 •   •  Dibaca normal 1 menit

Tidak ada apapun yang bisa terjadi dalam kehidupan manusia kecuali atas tiga keputusan-Nya: memerintahkannya, mengizinkannya atau membiarkannya, atau bahkan mendorong ketersesatannya. Masalah manusia terletak pada pencarian yang terus-menerus untuk memahami kapan Allah memerintahkan sesuatu atasnya, kapan mengizinkan insiatif manusia, serta kapan membiarkan perilaku manusia meskipun sedhalim dan sekejam apapun.
Apa saja alasan dan asal-usul Allah sehingga mentakdirkan atau memerintahkan. Apa saja kondisi perilaku manusia sehingga diizinkan untuk melakukan sesuatu. Serta apa saja faktor-faktor yang terdapat pada kebudayaan, politik atau peradaban manusia, yang membuat Allah membiarkan kekejaman manusia atas sesamanya. Tentu bukan membiarkan dalam arti meridhai kekejaman itu: itu soal irama, waktu, strategi, penundaan atau entah apa rahasia-Nya.

https://www.caknun.com/2018/rahasia-keputusan-nya/

=============================================

Bersyukur dan Takut

 •   •  Dibaca normal 1 menit
emha-ainun-nadjib-bresyukur -dan-takut-tetes-29-juli2018
Bersyukur dan takut
Aku bersyukur Indonesia tidak mengenalku
Ia hanya sesekali berpapasan dengan bayang-bayangku
Terkadang ia menyapaku, tapi salah panggil apa dan siapa diriku
Ada saat aku ingin memperkenalkan diriku, tapi selalu ragu
Akhirnya kubatalkan, karena aku tidak menemukan bahwa ia sungguh-sungguh mau berkenalan denganku
Aku bersyukur Indonesia tidak mengenalku
Sebab aku sungguh takut kepadanya
Aku ngeri berurusan dengannya
Aku cemas kalau berada di dekatnya
Aku terlalu gerah oleh udaranya
Aku tak sanggup menghirup baunya
Aku gemetar mendengar suara hatinya
Aku tak berani ditikam oleh pedang kebutaannya
Aku mengambil jarak sangat jauh dari perangai mentalnya
Aku bersembunyi dari kegaiban akal dan logikanya
Aku resah mohon Tuhan jangan suruh aku mengurusinya

#SGKN201901

 https://www.caknun.com/2018/bersyukur-dan-takut/
===================================================  

Nabi Paling Akhir

 •   •  Dibaca normal 1 menit

nabi-paling-akhir-emha-ainun-nadjib-tetes-30-juli-2018
Nabi Paling Akhir
Ampunilah sebuta ini mataku atas rahasia-Mu
Maafkanlah sebebal ini hati dan pikiranku
Sungguh tak kutahu yang mengalir adalah firman
Cahaya Kau pancarkan di kegelapan malam

Ya Allah ternyata sesudah Nabi terakhir
Yang Kau lahirkan di Tanah padang pasir
Telah pula Engkau turunkan Nabi paling akhir
Di Nusantara, negeri sungai-sungai mengalir

Orang-orang menjunjungnya
Melebihi Muhammad ataupun Baginda Jibril
Orang-orang membelanya bertaruh nyawa dan harga diri
Melebihi dan mengungguli maqam-Mu sendiri

Ya Allah tetapi mustahil aku bergeser dari titik kakiku berpijak
Sepuluh kali hidup dan mati takkan membuatku berpindah kiblat
Telah kutempuh pengembaraan berabad-abad
Diterbangkan oleh syahadatain kepada-Mu dan Muhammad

#SGKN201901, 02

https://www.caknun.com/2018/nabi-paling-akhir/
===================================== 

Satria Pamungkas

 •   •  Dibaca normal 1 menit

emha-ainun-najib-caknun-mbahnun-satria-pamungkas-tetet-31-juli-2018-sinaubarengjoss
Satria Pamungkas
Kalau ia bukan Nabi-Mu wahai asal usul segala tajalli
Takkan sampai orang mempersembahkan sepenuh diri
Sampai pun para Ulama berwirid Ya Matinu Ya Qowiy
Inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati

Siapa selain utusan-Mu wahai penyuluh dan penyesat hati
Yang dicintai dengan sedia menyerahkan seluruh diri
Yang dipuja-puji sebagai Satria Pamungkas zaman ini
Satu pribadi kumpulan karakter semua Nabi-nabi

Kalau bukan duta-Mu sendiri wahai Rabbinnas wal’alam
Keburukannya takkan kau ganti menjadi kebaikan
Dari Hari ke Hari yubaddilullahu sayyi`atihim hasanat
Khianat dan kedhaliman Kau ubah menjadi nikmat

Bagaikan kekasih-Mu Muhammad itu sendiri
Hadir kembali blusukan ke kampung-kampung kami
Para Jamaah menyorongnya ke depan agar ngimami
Aku sembunyi sebab atas kotor hidupku ini aku tahu diri

#SGKN201901, 03

https://www.caknun.com/2018/satria-pamungkas/ 
=========================================


 LANJUTKAN
BERSAMBUNG KE "TETES" BULAN AGUSTUS 2018


emha-ainun-najib-caknun-mbahnun

  • Muhammad Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) melakukan dekonstruksi pemahaman nilai, pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi masalah masyarakat.



  • Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) menelusuri alam(default)nya manusia dan kehidupan, mengijtihadi (mengkhalifahi)(mengkreatifi)(custom, carangan) budidaya sosial (dari ulat-kepompong-kupu hingga politik dan peradaban) agar memasuki masa depan yang segelombang dengan yang dirancang dan diwujudkan oleh Maha Pengqadla dan Pengqadar.


 ===============================================

Posting & Share by Yaddie Jossmart