Daur

 DAUR DAN TADABBUR DAUR khusus DI BLOGS TERSENDIRI

KUNJUNGI  klik!

https://daurcaknun.blogspot.com/

 

Menyambut DAUR

Hari ini genap delapan hari, rubrik baru DAUR telah hadir menjumpai jamaah Maiyah. Rubrik ini secara khusus lahir untuk mengantarkan tulisan-tulisan baru Cak Nun kepada jamaah Maiyah dengan kekhasan pendekatan dan pola yang dimilikinya. Setiap hari Cak Nun menyempatkan diri menulis DAUR dan secara berkala mengirimkannya kepada CAKNUN.COM.

Nama DAUR pun Cak Nun sendiri yang memberikannya. Dalam bahasa Arab, ‘daur’ berarti lingkaran atau bulatan. Tetapi dalam pemahaman kekinian Maiyah, contoh daur itu seperti terungkap dalam ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun’. Kita dari Allah dan menuju (bukan kembali) ke Allah. Bukan ‘kembali’ karena kembali tidak dimungkinkan secara waktu, sebab kita tidak bisa mundur ke belakang dalam waktu.
 Yang terjadi adalah kita maju terus dan karena yang dituju dan keberangkatan awalnya sama maka terbentuklah lingkaran. Jadi, daur berisi lurusan-lurusan yang ternyata membentuk lingkaran. Atau lingkaran yang ternyata adalah tersusun atas lurusan-lurusan. Keduanya saling mengandung.

Sebagaimana Semar adalah Betoro Ismoyo di kahyangan sekaligus adalah juga Ki Lurah Bodronoyo di bumi yang mengasuh pendowo. Kelangsungan hidup di alam semesta ini pun sebenarnya mengikuti dan berada dalam batas rute ‘dari’ ke ‘menuju’ dan berpuncak membentuk bulatan.

Kehadiran DAUR ini penting kita catat, karena sudah cukup lama Cak Nun tidak menulis untuk media masa seperti yang beliau lakukan sejak era 70-an hingga awal 90-an, beberapa waktu saja sesudah Reformasi Mei 1998, dan setelah itu praktis Cak Nun memutuskan untuk menarik diri dari media massa nasional.

Jika kita memiliki buku-buku karya Cak Nun seperti Secangkir Kopi Jon Pakir, Markesot Bertutur, Opini Plesetan (Oples), Slilit Sang Kiai, Kiai Sudrun Gugat, Titik Nadir Demokrasi, Bola-Bola Kultural, Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai, dan puluhan buku-buku lainnya, isi buku-buku tersebut merupakan kumpulan dari esai-esai yang tersebar di media massa nasional, belum lagi serakan ratusan esai lainnya yang masih dikumpulkan untuk menjadi buku.

 Bahkan saat ini, buku-buku karya Cak Nun pada medio 80-an, kembali dicetak ulang dan diterbitkan. Itu menandakan bahwa esai-esai Cak Nun pada era 80-an masih sangat relevan untuk digunakan memotret kondisi saat ini. Karya-karya Cak Nun yang puluhan tahun lalu itu, masih sangat kompatibel untuk menyikapi kondisi zaman. Era terus berjalan, kepemerintahan terus berganti, zaman terus bergulir, namun yang mengasyikan dari itu semua adalah kita masih ditemani oleh tulisan-tulisan Cak Nun dari tahun 80-an yang masih terus up to date untuk saat ini.

Dan di awal tahun 2016 ini, Jamaah Maiyah layak berbahagia dan beruntung karena di tengah kekeringan zaman dan kefrustasian hidup sekarang ini, Cak Nun berkenan menulis kembali khusus untuk Jamaah Maiyah — kendatipun masyarakat luas tetap bisa pula menikmatinya — yang secara ekslusif disuguhkan langsung melalui rubrik DAUR di CAKNUN.COM ini. Tulisan-tulisan yang sama sekali baru dan tidak dipublikasikan di media massa manapun.

Sebagaimana sifat daur seperti disinggung di awal, yang unik dari tulisan-tulisan Cak Nun pada rubrik DAUR ini adalah alur tulisannya yang tidak mematuhi pola redaksional yang dikenal umum. Sangat beda, bahkan bertentangan dengan tulisan-tulisan beliau yang biasa kita nikmati di media masa atau buku-buku sebelumnya, yang dulu memang disuguhkan sebagai masakan yang sudah jadi, sehingga pembaca tinggal menikmatinya.

 Tulisan-tulisan pada rubrik DAUR tidak berdiri sendiri-sendiri, ia adalah sebuah alur sebagaimana ritme ilmu Maiyah, random, pencolotan, sengaja ditekateki di sejumlah terminal pikiran. Tujuannya adalah melatih Jamaah Maiyah untuk mencari, menemukan, dan merangkai sendiri keseluruhan yang disampaikan kepada mereka dengan kedaulatan masing-masing. Bahkan banyak tulisan harus bermuatan ‘tantangan untuk mencari’, bukan barang jadi.

Untuk menjaga otentisitas tulisan-tulisan karya Cak Nun atau Emha Ainun Nadjib, segala bentuk penyebaran/penggandaan/publikasi ulang baik melalui media cetak maupun online diharuskan melalui prosedur perizinan manajemen Progress (via email redaksi [at] caknun.com) selaku pihak yang bertanggungjawab untuk mempublikasikan karya-karya Cak Nun atau Emha Ainun Nadjib.
Semoga rubrik DAUR dapat menemani proses perjalanan hidup Anda, menjadi bekal perjalanan dalam pencarian yang Anda lakukan. Terima kasih dan selamat membaca.
Salam,
Redaktur Maiyah

https://www.caknun.com/2016/menyambut-daur/ 




Mensyukuri Seratus Daur

Tidak terasa, sejak edisi pertama #Daur pada tanggal 3 Februari 2016, pendaran ilmu dari Cak Nun melalui tulisan-tulisan anyar di website ini tidak terasa sudah berlangsung tiga bulan lebih. Betapa nikmatnya kita sebagai jamaah maiyah, selain mendapatkan banyak sekali butiran-butiran ilmu dari Allah yang tidak ada habisnya pada setiap Maiyahan, asupan ilmu dari Cak Nun melalui #Daur yang setiap hari terbit ini menjadi pelengkap ilmu yang bisa dijadikan bekal kehidupan.

Jika sebelumnya kita menikmati tulisan-tulisan lawas Cak Nun yang sebelumnya dipublikasi di media massa atau dicetak oleh beberapa penerbit, maka #Daur yang setiap hari terbit secara kontinyu ini merupakan tulisan-tulisan yang benar-benar gress, fresh from the oven, belum pernah dipublikasikan di media manapun sebelumnya.

Tepat di hari Kamis ini, #Daur memasuki edisi ke seratus. Sejak awal, Cak Nun sudah memberitahu bahwa apa yang disajikan dalam #Daur ini bukanlah sebuah ilmu yang sudah matang, melainkan layaknya sebuah pelok mangga yang tidak bisa kita telan secara langsung. Ada beberapa tulisan yang mungkin dalam rentang satu kali baca sudah dapat langsung dipahami. Ada juga tulisan yang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa dipahami dan diambil nilai-nilainya untuk menjadi pegangan hidup.

Melalui #Daur ini, Cak Nun secara konsisten memberikan pelok, memberikan kepada kita kepingan-kepingan puzzle untuk dikuak, disusun, dipasangkan satu sama lain, dipelajari, dan direnungkan. Satu contoh, sebuah kalimat penutup dari #Daur seri ketujuh; “Indonesia adalah salah satu dari sekian anak asuhmu”. Satu kalimat yang tentu saja bisa ditafsirkan oleh jamaah maiyah dengan versinya masing-masing. Tetapi dari kalimat ini, jelas sekali Cak Nun ingin menyampaikan bahwa Indonesia ini merupakan satu pihak yang tidak layak menjadi faktor primer dalam kehidupan jamaah maiyah saat ini. Bukan berarti kemudian kita menyatakan bahwa Indonesia itu tidak penting. Tetapi, di Maiyah sudah dibiasakan bahwa adakalanya Indonesia diposisikan untuk dipegang di tangan kanan, ada juga saatnya Indonesia diletakkan di tangan kiri. Bahkan ada saatnya Indonesia dimasukkan ke dalam saku celana bagian belakang.

Dengan cara berpikir seperti ini, jamaah maiyah secara tidak langsung sudah terlatih untuk menentukan berapa persen tenaga dan pikirannya yang memang harus dikeluarkan untuk memikirkan Indonesia. Toh pada kenyataannya jamaah maiyah tidak memiliki kewajiban apa-apa terhadap Indonesia.
***
Sebagaimana niat #Daur sejak awal (Tajuk: Menyambut DAUR), #Daur bukan merupakan kumpulan tulisan berseri yang tersambung antara satu dengan yang lainnya. Melainkan berupa kepingan-kepingan puzzle yang berserakan, yang dimaksudkan untuk jamaah maiyah menyusunnya secara mandiri. Bisa saja bagi sebagian jamaah maiyah, ada yang menyusunnya secara berurutan untuk menemukan pola dan kepingan kunci ilmu di setiap tulisannya. Dan bisa jadi pula ada yang menyusunnya secara acak untuk kemudian menemukan polanya sendiri dalam mengambil nilai yang tersimpan dari #Daur ini.

Dalam #Daur edisi 15, Maiyah Lil ‘Alamiin misalnya, Cak Nun secara eksplisit mengungkapkan kasih sayangnya kepada jamaah maiyah yang begitu mendalam. Tulisan-tulisan yang digambarkan oleh Cak Nun berupa pelok ini merupakan sebuah bekal bagi jamaah maiyah dan generasi selanjutnya. Bagi masyarakat mainstream saat ini, sudah pasti tulisan-tulisan dalam rubrik #Daur ini lebih sulit lagi dipahami, sehingga memang Cak Nun secara gamblang mengkhususkan dalam bahwa #Daur ini merupakan sajian spesial yang hanya dihidangkan kepada jamaah maiyah dan anak cucu.

Dalam #Daur edisi 15 itu, Cak Nun menegaskan sebuah pedoman yang bisa dikatakan sebagai aturan main untuk membaca rubrik #Daur ini. Dengan catatan sebagaimana engkau membaca Al Qur`an: jangan menyangka bahwa untuk mempelajari Sapi, engkau membaca dan memperdalam Surah Al-Baqarah? Mengira bahwa Surah Al-Fil adalah bab pelajaran sekolah tentang Gajah? An-Naml adalah bahan-bahan biologis tentang Semut?

Apabila kita menggunakan pisau bedah bernama Tafsir untuk menjelajahi ruangan-ruangan ilmu dalam #Daur ini, bisa dipastikan kita akan menemukan kegagalan dalam memahami tulisan-tulisan dan ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya. Bahkan mungkin kita akan frustasi sendiri dan mempertanyakan apa maksud Cak Nun menuliskan tulisan itu. Tetapi, di beberapa#Daur, Cak Nun sangat jelas memberikan satu metode untuk memudahkan kita memasuki ruang-ruang ilmu dalam rubrik #Daur ini, metode itu bernama Tadabbur.

Dalam #Daur edisi 62; Revolusi Tlethong, Cak Nun dengan gaya tulisannya yang khas menjelaskan perbedaan antara Tadabbur dan Tafakkur. Orang yang bertafakkur memerlukan beberapa syarat yang belum tentu bisa dipenuhi oleh banyak orang; seperti orang pandai, cendekiawan, dan sejumlah orang istimewa. Sedangkan untuk bertadabbur, semua orang bisa melakukannya karena tidak memiliki syarat yang njlimet.

Karena dalam Tadabbur, yang diutamakan adalah mencari manfaat yang sebaik-baiknya dari apa yang ditadabburi. Paralel dengan #Daur, tema Tadabbur juga menjadi bingkai dan landasan Maiyahan ke depan. Ini dalam rangka mengupayakan agar sebanyak mungkin orang melakukan Tadabbur Qur`an dalam hidupnya. Harus disebarkan kesadaran tentang pembiasaan tadabbur. Supaya orang tidak berabad-abad merasa jauh dari Tuhan, merasa awam dalam beragama, merasa tidak mengerti Kitab Suci Tuhan.

Coba diperhatikan judul-judul dalam rubrik #Daur, seperti; Empat Huruf Yang Mengatasi Demokrasi dan Tuhan. Sebuah tema yang diangkat ketika masyarakat diresahkan dengan isu LGBT. Apakah dalam tulisan tersebut Cak Nun membahas tuntas tentang bahaya LGBT, tentang maraknya LGBT yang semakin meluas di Indonesia, tentang bahaya penyakit seks menular yang ditimbulkan? Tentu saja tidak. Dalam tulisan tersebut dan edisi-edisi setelahnya Cak Nun mengemas dengan apik dan dipenuhi butiran-butiran nilai yang sangat dalam untuk dijadikan pegangan bagi jamaah maiyah dalam menyikapi isu LGBT saat itu.

Dan masih banyak lagi judul-judul #Daur yang secara pemilihan kata akan diduga sebagai tulisan untuk merespon isu yang sedang dibahas oleh masyarakat saat ini. Tetapi ternyata, setelah dibaca dan dipahami, ilmu yang terkuak justru lebih luas dari yang diduga sebelumnya.

Beberapa tulisan lain yang juga kemudian memunculkan kembali tokoh-tokoh lama dalam tulisan Cak Nun, seperti Markesot dan Kiai Sudrun menjadi daya tarik tersendiri bagi jamaah maiyah untuk kemudian setiap hari selalu menantikan edisi #Daur terbaru. Jamaah maiyah senantiasa menantikan kejutan ilmu apalagi yang dihadirkan oleh Cak Nun dalam tulisan terbarunya.

Pada akhirnya, istiqomah, kesetiaan dan konsistensi merupakan satu nilai yang juga Cak Nun berikan kepada jamaah maiyah. Dalam kondisi apapun, sesibuk apapun di tengah jadwal padat bersama

KiaiKanjeng, Cak Nun tidak pernah merasa lelah dan tidak pernah terbesit keinginan sedikitpun istirahat berpikir mengambil jeda sejenak meninggalkan maiyah. Kesetiaan Cak Nun yang sudah teruji puluhan tahun lamanya, kali ini beliau simulasikan dalam bentuk konsistensi#Daur yang setiap hari dirilis. (RED)

https://www.caknun.com/2016/mensyukuri-seratus-daur/




Tidak ada komentar:

Posting Komentar