Kamis, 10 Mei 2018

Maiyah lil' Alamin - Daur I No.015

Maiyah lil’Alamin

 •   •  Dibaca normal 4 menit


Tidak tega hati saya selama dua minggu ini Jamaah Maiyah saya kasih pelok (bijih) padahal ternyata mereka masih belum merdeka dari kebiasaan makan buah mangga manis dari saya.

Selusin lebih saya kasih tulisan-tulisan yang bersifat bijih pelok, yang bukan untuk dikonsumsi sebagai makanan, melainkan untuk ditanam dan menunggu waktu tidak sebentar untuk berbuah pada diri mereka masing-masing.

Selama ini memang kalau ketemu, saya langsung kasih buah mangga. Buah mangga dari kebun saya. Kebun yang saya sendiri mempersiapkan dan mengolah tanahnya. Pohon mangga yang saya sendiri yang menanamnya. Kemudian saya sendiri yang menjaganya dari hama-hama dan maling-maling. Kemudian saya memetiknya, mengulitinya, mengirisinya, meletakkannya di piring, akhirnya saya suguhkan kepada Jamaah Maiyah.

Mereka tinggal memakannya, menikmatinya dan bergembira. Andaikan para Jamaah Maiyah tak punya gigi pun mangga saya tetap bisa ‘diakses’ oleh mereka. Untuk mendapatkan mangga itu mereka tidak harus membayar, tidak harus menyewa kursi untuk duduk menikmatinya, tidak harus mendaftarkan diri dan mengemukakan identitasnya.

Tanpa syarat apa-apa. Bahkan tidak harus mencuci piring tempat mangga itu. Setelah kenyang mereka boleh langsung pulang. Boleh tidak menyapa saya. Boleh tidak berterima kasih. Juga tidak dilarang untuk bercerita kepada keluarga dan para tetangganya bahwa mangga yang tadi mereka makan adalah beli di pasar, atau dikasih orang lain yang bukan saya.

Lebih dari itu mereka tidak dihalangi untuk mengambil mangga saya sebanyak-banyaknya, tidak hanya yang dimakan di tempat. Ia tidak diawasi untuk membawa keranjang atau karung. Memasukkan mangga sebanyak-banyaknya, diangkut pergi kemudian dijual di pasar. Selama berinteraksi dengan masyarakat di pasar, para jamaah Maiyah juga sangat merdeka untuk tidak sekedar menyembunyikan asal-usul mangga jualannya itu — ia bahkan punya peluang besar untuk meng-ghibah-i saya, ngrasani, mendiskreditkan nama saya, memanipulasi, bahkan pun menjelek-jelekkan dan memfitnah.

Kreativitas dagang dan eksistensialisasi lain juga terbuka. Ambil mangga dari rumah saya dua tiga karung, kemudian dibawa ke pasar, dicampur dengan mangga yang diambil dari kebun atau rumah yang lain. Kemudian dijual dengan promosi bahwa itu adalah mangga saya.
Silahkan. Kebun saya adalah Maiyah lil’Alamin.
***

Jamaah Maiyah berdaulat penuh untuk berterima kasih atau durhaka. Untuk jujur atau curang. Untuk menyebarkan mangga dari saya dengan pemasaran akhlaqul karimah atau marketing kedhaliman. Jamaah Maiyah menggenggam kedaulatan untuk memperlakukan saya sebagaimana adanya atau semestinya, atau menganiaya saya, mendhalimi saya, mencurangi saya, memanipulasi saya atau apapun.

Kebun mangga saya tidak berpagar. Sama sekali tidak ada pagarnya. Jika ada, Malaikat dan para Nabi boleh ambil mangga kapan saja dan berapapun saja. Juga para Jin, druhun dimemonon lengeng, maling-maling, penganiaya, pemakan bangkai sesame dan siapapun. Andaikan ada yang benar-benar datang ke Maiyahan kemudian membunuh saya dan memakan bangkai saya, itu juga sama sekali bukan urusan saya.

Itu semua hanya satu dimensi kenyataan dan kemungkinan di semesta raya Maiyah lil’alamin. Saya lempar pelok-pelok Perang Terhadap Kata, Alif Ba Ta Agamaku, Gelap Menjadi Cahaya, KehancuranTanpa Ralat dan seterusnya. Itu pelok-pelok. Silahkan telan. Tidak perlu dikunyah, sebagaimana kalau makan mangga. Silahkan bawa ke pasar, karena pasar penuh oleh manipulator. Pasar adalah hutan belantara. Ambillah mangga saya, bikin oplosan juice mangga campur cyanida, solar, ingus dan air kencingmu.

Bahkan sebagian jamah Maiyah adalah kaum Jin, yang bertamu ke Kadipiro. Dan saya menunggu saat menceritakan itu semua di tulisan entah keberapa nanti. Sebab Maiyah lebih mudah dipahami dengan teori dan ilmu Jin. Maiyah tidak bisa dipahami oleh manusia-manusia pasar, penghuni hutan belantara, makhluk-makhluk yang skala hidupnya hanya sebatas kepentingan subyektifnya sendiri, yang Hati-nya tidak Telanjang, yang Perusak dijunjung sebagai Pendamai, yang rajin ber-Doa dengan modal Dosa, yang merasa punya Cinta tapi tak pernah belajar Mencintai.

Bukankah semua pelok-pelok itu sudah saya sodorkan kepadamu? Dengan catatan sebagaimana engkau membaca AlQuran: jangan menyangka bahwa untuk mempelajari Sapi engkau membaca dan memperdalam Surah Al-Baqarah? Mengira bahwa Surah Al-Fil adalah bab pelajaran sekolah tentang Gajah? An-Naml adalah bahan-bahan biologis tentang Semut?
***


Jika tulisan adalah buah, sejak akhir 1960-an saya berkebun mangga, manggis, salak, blimbing, apel dan bermacam buah yang lain. Itu salah satu bagian dari perjalanan panjang saya, jika ada Jin yang memahami maksud “jawaban semua pertanyaanmu terdapat dalam sejarah hidup saya”.

Bebuahan macam-macam yang saya sebar-sebar melalui hampir 70 buku dan ribuan tulisan lain dalam berbagai macam bentuk itu hanya buah. Sangat jarang ada yang berpikir bahwa di belakang buah itu ada pohon, daun, bunga, dahan, ranting, akar, tanah, kebun, pulau, hak dan kewajiban atas tanah, komposisi tanah, sebab musabab kebun bisa diperkebunkan, dan beribu hal lagi.

Berdasar pengalaman itu, yang di dalamnya ada persoalan-persoalan Indonesia dan dunia, ada Orla Orba Reformasi semu, ada Arab Spring, ada Huntingtonisme, ada pseudo-Demokrasi, ada materialisme, individualisme, kapitalisme, industrialisme, ada jembatan-jembatan ambrol dan pembangunan kereta cepat, ada semuanya dan semuanya — maka akhirnya saya bikin pagar-pagar di kebun-kebun saya.

“Saya” untuk masyarakat, publik, Indonesia dan dunia, saya ganti “aku”. Saya persilahkan hanya kepada anak-anak cucu-cucu saya dan para Jamaah Maiyah kapan saja memasuki kebun-kebun saya. Saya menulis hanya untuk kalian, tidak sebagaimana peruntukkan ribuan tulisan saya sebelumnya. Kalau “saya”, berarti engkau mungkin temanku yang kuterima mengobrol di halaman rumah atau di beranda. Tapi “aku” adalah saudara kesayangan yang saya persilahkan masuk ke dalam rumah saya, bahkan sesekali saya ajak masuk bilik pribadi saya.

Kalau ummat manusia, bangsa Indonesia atau Ummat Islam, hubungannya dengan saya adalah sebagai konsumen, minta yang cocok-cocok dan yang enak-enak. Jamaah Maiyah juga berhak minta yang cocok dan yang enak, tapi bagi saya lebih dari itu. Jamaah Maiyah adalah pejuang, pemeluk teguh nilai-nilai, pembalajar yang tekun, pencari kebenaran Allah yang sungguh-sungguh.

Tetapi sesudah “saya” tidak maksimal manfaatnya, kemudian “aku”ku kepada Jamaah Maiyah malah membuatmu muntah-muntah karena kalian terbiasa oleh “saya” — maka sudah saya lihat di depan nanti audiens atau tujuan ibadah saya bukanlah ummat manusia di dunia, bukan bangsa Indonesia, bukan Ummat Islam dan Jamaah Maiyah, melainkan Tuhan dan Kanjeng Nabi. Saya tunggu hingga tulisan ke 40 nanti.

Adapun anak cucuku adalah bagian dari diriku sendiri yang beribadah kepada Tuhan dan bercinta dengan Kanjeng Nabi.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
17 Pebruari 2016

sumber : https://www.caknun.com/2016/maiyah-lilalamin/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar