Rabu, 09 Mei 2018

Tetes



Tetes. Apakah tetes itu? Tetes adalah pola aliran, ia hadir setelah grojokan dan sebelum guyuran. Tetes di dalam tulisan Mbah Nun hadir setelah guyuran daur dan sebelum khasanah, atau daur lagi. Meskipun pendek, tetes sangat penting. Kadang-kadang ia menjadi semacam garis bawah bagi guyuran daur sebelumnya, atau ancang-ancang bagi khasanah setelahnya.


Tetes yang diunggah pada tanggal 4 Januari 2018 berjudul ‘Hati Kotoran, Begini lengkapnya: Kalau hatimu hati kotoran, maka politik akan berpesta pora menyempurnakan kotormu. Bahkan masjid, firman, berita akhlakul karimah, atau apapun saja–belum tentu mengubah kotormu menjadi tidak kotor.
Dalam konteks tulisan ini semuanya bertumpu pada hati. Hati adalah modal kita yang diberikan oleh Allah untuk melihat fenomena-fenomena di sekitar kita. Sebuah kebenaran mampu ditangkap jika hati kita bersih. Abdul Uzzay ibn Abdul Mutthalib atau Abu Lahab, Abul Hakam Amr ibn Hisyam atau Abu Jahal, dan orang-orang Arab penentang dakwah Nabi itu menyerang Nabi alasan utamanya bukan meragukan kebenaran risalah tetapi mereka takut kekuasaan, kenyamanan yang sekarang sedang mereka nikmati tidak lagi dapat mereka nikmati. Urusan kebenaran itu tertutupi oleh politik. Ahlakul karimah yang tulus oleh orang lain juga dicurigai sebagai urusan politik.

Politik dengan modal hati yang kotor itu hanya mempertimbangkan yang tampak, yang menguntungkan bagi kepentingan dirinya. Masa lalu leluhur dan masa depan anak cucu yang tidak tampak tidak menjadi pertimbangan keputusan bagi manusia politik semacam ini. Manusia semacam ini menganggap akan selamanya hidup dunia. Ia menganggap bumi ini adalah tempat yang sempurna bagi manusia, tidak ada tempat lain yang lebih indah dibanding bumi. Maka segala usaha dilakukan agar hidup selama mungkin di bumi. Segala upaya dilakukan agar ia menguasai sebanyak mungkin isi bumi. Di dalam kehidupannya tetap ada masjid, tetap ada baju koko, peci, sajadah, tetapi itu semua menempel dalam rangka untuk meraup hasil bumi sebanyak-banyaknya itu.
Tetes berikutnya berjudul ‘Hati Masjid’. Begini: Kalau hatimu hati masjid, maka segala kotoran politik, kotoran akhlak, kotoran rohani dan kotoran apapun saja yang dikandung oleh kehidupan–akan mental darimu.

Jika hatimu masjid, hatimu adalah tempat bersujud kepada Allah, selalu menghubung dengan yang menghendaki kita ada maka segala hal yang berupa kotoran dunia tidak mampu membuat diri kita terayu. Jika hatinya adalah hati masjid, hati yang terhubung maka branding, pencitraan kita hanya kepada Allah. Para politikus sekarang melakukan personal branding dengan biaya yang tidak sedikit. Personal branding mempertimbangkan bagaimana orang-orang mengenal dirinya, citra yang ditangkap oleh orang lain terhadap dirinya. Maka foto harus dipilih sebagus mungkin, di baliho tidak boleh ada noda sedikit pun, bahwa wajah hitam itu sebuah aib maka harus diputihkan. Berbuat baik tidak cukup berbuat baik. Sebuah kebaikan, kepintaran, amal saleh tidak akan berarti bagi dirinya, jika tidak terakumulasi sebagai modal politik. Maka kebaikan itu harus difoto dan diviralkan.

Manusia berhati masjid merasa melihat Allah dan dilihat oleh Allah dalam segala tindak-tanduknya, tidak peduli orang mau memandang apa, karena pandangan manusia sungguh-sunguh terbatas.
Mbah Nun telah menulis buku berjudul Seribu Masjid Satu Jumlahnya, Tahajjud Cinta Seorang Hamba. Buku ini menghimpun puisi Mbah Nun tentang masjid, sembahyang, bersujud dan lain-lain.
Tentang bagaimana masjid telah diterangkan oleh Mbah Nun dalam puisinya yang berjudul “Seribu Masjid Satu Jumlahnya”, puisi ini ditulis Mbah Nun pada tahun 1987. Masjid dalam puisi itu ada dua macamnya, pertama badan dan kedua ruh. Yang satu tegak berdiri di atas tanah berbentuk susunan batu bata, yang satunya bersemayam di dalam hati. Keduanya penting dan harus seimbang. Di dalam masjid badan, fisik tadi kita bisa masuk bersimpuh untuk mengunjungi masjid dalam ruh.

Masjid ruh itu bisa kita bawa ke mana-mana, ia mengabadi dan tidak bisa ditikam oleh pisau, tidak bisa ditembak menggunakan peluru, bahkan politik tak mampu memenjarakannya. Masjid ruh dapat kita bawa ke kantor, ke sekolah, ke tempat kerja. Ia, masjid ruh itu bisa menjiwai perilaku kita, menjadi pertimbangan segala keputusan kita di manapun dan saat menjadi apapun.


Puisi ini ditandai menggunakan penomoran dan jumlahnya ada sembilan nomor. Pada nomor kedelapan berbunyi begini: Bahkan seribu masjid, sejuta masjid /Niscaya hanya satu belaka jumlahnya /Sebab tujuh samudra gerakan sejarah /Bergetar dalam satu ukhwwah Islamiyyah.

Kita disatukan dalam satu masjid ruh tadi, ruh yang terhubung dengan sang Pencipta, khaliq. Sesekali kita bertengkar tentang bid’ah, tentang rakaat pada tarawih, qunut, itu masalah internal keluarga kita. Tetapi kesadaran tentang satu masjid harus menjadikan kita kembali satu barisan. Alasan nabi mengumpulkan ummat bukan karena sekeluarga, satu setatus sosial, tetapi karena satu tauhid, satu masjid yang tidak hanya masjid badan tetapi juga masjid ruh.

 Satu Masjid Kita
 •   •  Dibaca normal 3 menit




Tidak ada komentar:

Posting Komentar