Inputnya Kebenaran,Outputnya Kebaikan,Hasilnya Keindahan. Bentuk Transaksi kita dengan Sesama Manusia , Kanjeng Nabi Muhammad SAW, serta ALLAH SWT adalah CINTA
Indonesia dikuasai oleh setiap Pemerintahnya hanya pada sejumlah hardware, lalu lintas materialisme serta kejiwaan sebagian manusianya.
Tetapi selebihnya berada di tangan Allah, para Malaikat-Nya, yang diremehkan oleh kebanyakan manusia modern. Di bawah payung syafaat Rasul-Nya, yang ditertawakan oleh penduduk Zaman Now. Serta sejumlah petugas, penjaga, peronda, yang manusia makin tidak bisa melihatnya. Atau paling jauh merasakannya secara samar-samar.
Parameter-parameter dunia banyak sekali kecélé. Min haitsu la yahtasib. Bahkanpun jatuhnya setetes embun.
Kadang bosan melihat orang yang menang perlombaan lima tahunan, lantas gugup dan cemas jangan sampai tidak menang pada lima tahun berikutnya. Sehingga melakukan apapun benar salah baik buruk halal haram hina jahat, agar jangan sampai kalah.
Tiap hari saya berjumpa dengan orang yang sepanjang hidupnya tak pernah kalah, istiqamah menghindari menang, dan menjaga jangan sampai ada orang yang merasa dikalahkan olehnya.
Gempa sangat menakutkan semua orang. Peta potensi gempa di tanah air sangat menggelisahkan semua penduduk Indonesia. Dan tatkala terjadi di suatu wilayah, ia berkembang menjadi mengerikan dan sangat menyedihkan.
Tapi kalau gempa disebut bencana, siapa pelakunya? Siapa yang mencelakakan manusia? Siapa yang mendholimi, menyakiti dan menyelenggarakan pembunuhan massal di bumi? Kenapa?
Para Ilmuwan semakin canggih mempelajari gempa, tetapi tidak pernah mempelajari bencana.
Di tiga wilayah mekanisme (sunnah) alam menyelenggarakan gempa yang menjadi bencana bagi manusia. Ini ada rute nalarnya untuk kita pahami.
Kemudian di wilayah lain ada manusia menyelenggarakan gempa atas dirinya sendiri, yang menjadi bencana bagi bangunan yang ditempatinya.
Ini sukar ditemukan alur logisnya untuk memahami, kecuali bingkainya adalah keanehan jiwa.
Andaikan “giliran” berikutnya Tuhan yang menyelenggarakan sesuatu (shoihatan wahidah, teriakan keras atau wamakarallah), pilihan kita hanya tawakkal.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah)
Kalau kentongan di gardu desa ditabuh per 1X, tanda ada pembunuhan. Per 2X Maling. Per 3X Rumah kebakaran. Per 4X banjir bandang, lindu atau bencana alam lainnya. Per 5X ada pencurian Lembu, Kerbau atau hewan lain. Kalau Doro Muluk, 1.7.1 keadaan aman.
Siapa saja yang dekat Gardu atau Cakruk, kalau mendengar teriakan “Banjir bandaaang…banjir bandaaaang…”, atau “Maliiing…maliiing…”, langsung menabuh kentongan. Tidak perlu konfirmasi, check and recheck. Sebab, momentum sangat penting dalam situasi darurat untuk secepatnya penduduk mengantisipasi atau menyelamatkan diri.
Di zaman modern yang berperadaban rasional, jangan langsung tabuh kentongan. Sebab kalau ternyata teriakan itu bohong, penabuh kentongan akan dikenai pasal penyebaran hoax atau ujaran kebencian. Siapa yang mempasalkan penabuh kentongan? Bisa jadi si peneriak “Banjir bandaaaaang…” itu sendiri.
Setiap orang punya kekonyolannya sendiri-sendiri: itu bagian dari keindahan ciptaan Tuhan.
Wajar juga bahwa ada manusia tidak pantas menempati suatu tempat, tidak proporsional, tidak ekspert, tidak berkelayakan dari sudut apapun.
Yang tidak wajar, bahkan ajaib, di Indonesia: adalah orang konyol tapi dipuji, orang tidak layak tapi dipuja, orang tidak mampu tapi dinabikan, pembohong dimalaikatkan, the wrong man in the wrong place tapi dijunjung sebagai Imam Mahdi, titisan Allah dan Ratu Adil.
Sungguh bangsa ini sedang mengalami bencana sejarah.
Di antara semesta alam yang Engkau ciptakan, apakah termasuk Media Maya?
Aku tidak percaya itu bagian dari ciptaan-Mu, wahai Maha Pengasih.
Ataukah itu adalah akibat liar dari kemerdekaan yang Engkau hamparkan bagi manusia?
Ataukah Engkau sengaja memperlihatkan segala yang tersembunyi dari
manusia? Kebusukan hati, kekejaman perasaan, akal yang sepotong-
sepotong, pikiran yang terkeping-keping, ketidak-seimbangan mental dan
kerendahan jiwa.
Wahai Maha Penyayang, sungguh hamba berlindung kepada-Mu dari Media Maya.
Cobalah uji di mesin akalmu dan laboratorium pengalamanmu.
Bahwa yang berlangsung di Negeri ini bukan soal Capres siapa, parpol
apa, pihak mana, agama dan golongan sini atau sana, preman atau Ulama,
intelektual atau pengusaha, Harimau atau Naga.
Melainkan hakikinya adalah :
Orang-orang culas di atas mempermainkan orang-orang polos di bawah.
Orang-orang serakah di atas menipu orang-orang naif di bawah.
Orang-orang takabur di atas merendahkan orang-orang lugu di bawah.
Orang-orang munafik di atas memperdaya orang-orang sederhana di bawah.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/yang-di-atas-dan-yang-di-bawah/ ================================
Pada 7.10.2018 saya shalat hajat dengan mewiridkan 3 firman-Nya.
Mohon agar Nur Muhammad jangan diuji untuk tidak menang dan mengungguli Ghor al-Mutakabbir.
Ini soal martabat ahsanu taqwim, dzurriyatul Adam, ahlu baitillah wa baldatihi. Bukankah semua bilang “menghina satu manusia adalah menghina seluruh ummat manusia”?
Kalau tak maqbul, hatiku pasti terguncang, berubah pandangan hidupku, sehingga banyak hal mungkin akan kuhancurkan. Apalagi si mutakabbir itu sampai pernah sesumbar “Yesus pun akan saya tendang pantatnya”.
Ternyata Allah memperkenankan, meskipun hanya di sejengkal waktu, tabbat yadahu, wa ja’alnal aghlala fi ‘unuqilladzina kafaru. Rear naked choke, bahkan cukup di dagunya, tak perlu dicekik lehernya. Remeh dan receh.
Setelah itu ricuh, karena diricuhi martabatnya: Nur “qotilu fisabilillah alladzina yuqotilunakum”. Si mutakabbir untung karena tak sampai “tohpati”. Kemudian, ayo silakan para rasis kasih hukuman.
Mohon izin, tak siapapun perlu memahami ini, asal mengistiqamahi-Nya. Toh terdengar suara dari langit: “He, jangan GR. Allah memenangkan Nur Muhammad belum tentu karena shalat dan doa mu”.
(Mbah Nun) https://www.caknun.com/2018/kemenangan-nur-muhammad/ ================
Sebelum 17 Agustus 1945, seluruh tanah dan air Nusantara adalah hak milik 140 lebih Raja dan Sultan di seluruh Nusantara.
Sekarang, ketika Nusantara menjadi NKRI, siapa pemilik dan pemegang
saham Indonesia? Siapa pemilik konstitusional tanah, air, daratan dan
lautan beserta isinya?
Apakah para Raja dan Sultan tetap pemilik sah-nya, ataukah kehilangan
haknya, yang sejak berabad-abad sebelumnya ada di tangan mereka?
Kalau tahu jawaban konstitusionalnya, berpeluang memenuhi salah satu syarat jadi Presiden.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/hak-milik-raja-dan-sultan/
=================
Proklamator Kemerdekaan Indonesia menyatakan: “Hal-hal yang
mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara
seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Mengemislah agar rakyat mengangkutmu naik ke kursi Presiden, asalkan
terlebih dulu menjelaskan kepada rakyat Indonesia kapan pemindahan itu
dilaksanakan? Dari siapa ke siapa? Semoga jangan ada yang menjawab:
pemindahan dari Penjajah Belanda ke NKRI.
Pak Capres, mohon penjelasan. Di dalam teks Proklamasi 1945 itu,
andaikan pemindahan yang dimaksud antara lain adalah harta
berkarun-karun dari Keraton-Keraton dan Kesultanan-Kesultanan yang
diserahkan kepada NKRI:
Kira-kira ukurannya sepadan dengan berapa juta ton emas?
Berapa ratus gudang raksasa penuh USD atau UBz atau apapun?
Berapa ratus Brankas berisi tumpukan Surat-Surat, umpamanya satu lembar bermuatan tanda kepemilikan atas 2,4 juta kilogram emas?
Juga bermacam-macam bentuk kekayaan NKRI lainnya di awal kemerdekaan
itu: bisakah Pak Capres ungkap teks perjanjian, aturan, sistem
kewenangan atau pasal-pasal yang melindungi kekayaan NKRI itu?
Supaya rakyat tahu bangsa Indonesia ini kaya ataukah miskin?
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/berkarun-karun-kekayaan-nkri/ ==================
Para Capres tolonglah jelaskan ini kepada rakyat.
Belanda sampai hari ini tidak mengakui Kemerdekaan RI. Bagi Belanda,
Indonesia tidak pernah merdeka, atau tidak perlu merdeka, karena sudah
selalu merdeka.
Belanda tidak pernah merasa menjajah Indonesia. Mereka hanya
berdagang. Bertransaksi dan sewa tanah kepada Raja dan Sultan. Indonesia
tidak berada pada posisi untuk memerdekakan diri dari Belanda.
Atau kita tak perduli itu. Juga anggap salah satu kemungkinannya
adalah pemindahan kekuasaan dari Jepang, yang tidak ke Sekutu tapi ke
NKRI.
Tapi mohon para Capres jelaskan: kemerdekaan Indonesia sekarang ini ada
di tangan siapa? Apa maksudnya bahwa bangsa Indonesia berdaulat atas
NKRI? Siapa yang berkuasa atas berlangsungnya NKRI? Siapa yang menyusun
program 70 atau 100 tahun ke masa depan NKRI?
Pemerintah? Mohon uraikan penjelasan logisnya bahwa sekumpulan orang
yang digaji oleh rakyat, justru berkuasa atas rakyat dan Negaranya?
Bagaimana mungkin pihak yang dibayar berkuasa atas yang membayar.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/yang-digaji-berkuasa-atas-yang-menggaji/ =====================
Bapak-bapak Capres Sampeyan mau jadi Presiden itu maksudnya Kepala
Negara atau Kepala Pemerintahan? Apa sudah dipertimbangkan dengan matang
sejak dini?
Kalau yang resmi mencalonkan dan disahkan oleh Panitia jelas hanya
empat, bagaimana kalau “pingsut” atau undian cara lainnya untuk berbagi
menjadi Kepala Negara beserta Wakilnya, serta Kepala Pemerintahan dengan
Wakilnya.
Toh tidak ada kemungkinan selain Bapak berempat.
Juga menghemat anggaran keuangan nasionalnya. Hemat energi ratusan
juta rakyat Indonesia. Termasuk pasti lebih aman dari potensi benturan,
kekisruhan sosial dan macam-macam kemungkinan retak-retak kebangsaan
kita.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/hemat-energi-nasional/ ======================
Salah satu pertimbangan mendasar kalau mau Nyapres: jangan mau lho
Pak kelak jadi Presiden Gunggungan alias Bombongan. Dulu di SD saya
punya teman Gunggungan: asal kita bilang dia ganteng, dia mau kita suruh
mengejar tahi di aliran air sungai. Bahkan sangat bersemangat dan
bangga.
Nanti Bapak dibombong bahwa pidato Bapak sangat bagus, bahwa Sampeyan
Presiden Istimewa se-Dunia, bawahan-bawahan Sampeyan dilulu : ada yang
Menteri Keuangan Terbaik se-Asia, 1 dari 50 Wanita Paling Berpengaruh
se-Asia Pasifik, dan macam-macam lagi. Sampeyan hanya pakai Cd dan kaos
singletpun dikasih tepuk tangan “Anggun benar jas dan dasi Bapak”.
Begitulah salah satu cara efektif yang dipakai oleh para Sekutu
Penjajah untuk “morotin” Negara Bapak, untuk menipu, memperdaya dan
menjebak.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/presiden-bombongan/ ======================
Andaikan Allah terasa seperti gelembung, maka Ia Maha Gelembung. Di
dalamnya terdapat lapisan gelembung-gelembung, hingga yang paling mikro.
Di lubuk jiwaku, gelembung terkecil, yang ulang-alik bergeser-geser dari sudut ke pusat hatiku: namanya Indonesia.
Ada rasa gelembung Tuhan. Ada gelembung Tanah Air. Kemudian gelembung
Rakyat. Lantas gelembung Negara. Dan yang terkecil adalah gelembung
Pemerintah.
Hampir semua orang terpenjara dalam kesibukan gelembung ke-5, malas
mempelajari 4. Padahal 5 selalu memunggungi 1, memperkosa 2 dan menyiksa
3.
Adapun alamatku di 1-2-3, menyalurkan kasih sayang dari 1 ke 2 dan 3.
Aku cemas melihat 4 semakin ditenggelamkan oleh lumpur kebodohan dan
kemalasan, sementara 5 merasa dirinya 4.
Tapi baiklah. Tak apa, ya Allah, asalkan tonggak baru 2019 adalah manifestasi dari biyadiKal khoir-Mu: ”tu`til mulka man tasya wa tunzi’ul mulka min man tasya`”
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/lapisan-gelembung-gelembung/ =====================
Kalau urusannya bukan kekhusyukan hati dan konsentrasi ilmu untuk
menguak masa depan yang terbaik bagi rakyat Indonesia. Kalau fokus
perjuangan Pak Capres dan Pak Cawapres adalah menang Pilpres dan pesaing
harus kalah, maka jangan tanggung-tanggung menghalalkan segala cara
untuk mencapai puncak karier.
Tidak hanya Machiavelisme, Firaunisme, Sengkunisme yang bisa dipakai.
Tidak hanya Iblis, Setan, Dajjal atau Emha Ainun Nadjib yang bisa
dijadikan peluru untuk menembak lawan.Tetapi wacana-wacana dari para
Nabi, bahkan firman-firman Allah pun bisa dieksploitasi dan dimanipulasi
untuk mencapai kemenangan.
Mudah saja. “Katakan, Dialah Allah Satu”, bisa dipakai oleh nomer urut satu. “Telah datang kebenaran, maka runtuhlah kebathilan”, bisa dipakai oleh nomer urut dua. “Tanda orang munafik ada tiga: kalau bicara, dusta. Kalau janji, ingkar. Kalau dipercaya, khianat”, bisa dipakai oleh kedua-duanya.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/halalkanlah-segala-cara/ =================
Pak Capres dan Pak Cawapres, Tanah Air dan Negara yang Anda sangat
gencar ingin menang, kemudian Panjenengan berdua diupah oleh rakyat
untuk mengelolanya ini tergolong gaib atau ajaib.
Banyak sekali aturannya yang melanggar kelaziman aturan yang dikenal
di manapun di dunia. Ibarat Turnamen, peserta yang belum tuntas di Babak
Penyisihan bisa loncat masuk Semifinal. Belum lolos di Semifinal,
langsung masuk Final. Sehingga dari Babak Penyisihan yang belum ia
selesaikan, dalam waktu singkat ia menjadi Juara.
Peserta lain membiayai Turnamen sehingga menjadi kontingen. Di
Perempat Final ia hanya menjadi Runner-up tapi bisa lompat naik bersaing
memperebutkan Medali Emas. Sejumlah pemain lain kena kartu merah tapi
tetap boleh melanjutkan pertandingan. Belum lagi Wasit dan Hakim
Garisnya, tidak mengabdi kepada sportivitas, melainkan menghamba kepada
salah satu Kesebelasan milik Klub yang merangkap jadi Panitia Turnamen.
Bapak-bapak ini menjadi Capres dan Cawapres, apakah karena juga
memiliki potensi keajaiban dan kegaiban yang kompatibel dengan Turnamen
yang Bapak ikuti?
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/turnamen-ajaib/
Tahukah Pak Capres dan Pak Cawapres bahwa sebagian rakyat, sebagaimana lazimnya manusia, memiliki sifat Nifaq, Safir atau Saib.
Hari ini membela mati-matian, besok ketika Sampeyan kalah, langsung
mereka berbalik membela mati-matian musuh Sampeyan yang menang.
Sekarang musuh Sampeyan dikutuk, dihina, difitnah habis-habisan.
Besok kalau Sampeyan kalah, balik mengutuk Sampeyan dan menjilat musuh
Sampeyan.
Nifaq sifatnya, Munafiq orangnya. Safir artinya tak punya malu. Saib itu hidup tanpa harga diri.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/nifaq-dan-safir-alias-saib/ ==================
Para Capres dan Cawapres hendaklah berhati-hati terhadap perilaku rakyatnya
Rakyat yang mengangkat pendusta menjadi pemimpinnya, adalah rakyat yang pemurah.
Rakyat yang setelah terang-benderang didustai pemimpinnya tetap mempercayainya, adalah rakyat yang arif bijaksana.
Rakyat yang sesudah tiga kali dibohongi tapi tetap memuja pemimpinnya, adalah rakyat yang dianugerahi keajaiban oleh Tuhan.
Dan rakyat yang dibohongi sampai lebih 60 kali namun tetap mengangkatnya jadi pemimpin, adalah rakyat yang kejam dan tega.
Kejam karena tidak menolong pemimpinnya dari kehancuran. Tega karena membiarkan Tuhan yang bertindak dengan neraka-Nya.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/rakyat-yang-kejam/ =======================
Pak Capres dan Pak Cawapres, sebenarnya kita ini kaya atau miskin,
pada ukuran harta benda? Kalau kaya, seberapa kaya. Kalau miskin,
seberapa miskin. Adakah Staf Bapak yang kita minta tolong untuk membuka
catatannya, angka-angka dan jumlahnya, jenis-jenis dan wujudnya?
Dulu sebelum menjadi Indonesia, semua tanah adalah milik para Raja
dan Sultan. Sesudah merdeka, bagaimana bunyi pasal-pasal yang mengatur
kepemilikan baru itu? Sekarang ini, seberapa tanah Indonesia yang masih
menjadi milik rakyat Indonesia?
Kalau para Raja dan Sultan itu di tahun kemerdekaan menyumbangkan
kepada Indonesia harta benda berlimpah-limpah, apa saja macam-macam
bentuknya? Berapa jumlahnya? Di mana saja kekayaan itu disimpan? Siapa
yang punya legalitas untuk mengambilnya? Bagaimana konstitusi Indonesia
mengatur semua itu?
Mungkinkah jumlah kekayaan itu dipakai untuk mengentaskan bangsa kita dari jurang utang dan kemiskinan?
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/kekayaan-tanah-air/ ======================
Jangan buka lapisan tabir-tabir siluman, rongga-rongga remang, sampai yang gelap pekat di belakang Pilpres2019.
Ada banyak makhluk raksasa gaib, dua Iblis besar, setan-setan besar
yang mengerikan dan setan-setan kecil yang menjijikkan, dari luar maupun
dalam negeri.
Kemunafikan, kejahatan, kekejaman, kehinaan dan brutalisme sudah
terjadi sejak generasi kedua Adam Hawa, tapi imajinasi manusia tak
pernah membayangkan bahwa makhluk Tuhan bisa berbuat sampai semunafik
itu, sejahat itu, sekejam itu, sehina itu dan sebrutal itu.
Anda takkan tahan. Hatimu tak sanggup. Otakmu bisa retak-retak. Tenaga batinmu eman-eman untuk kau sia-siakan memikirkan itu.
Maka jangan buka tabir itu.
Anda tekun bekerja saja, hidup mesra dengan keluarga. Hal Pilpres
kirim ke Tuhan saja, terserah Ia akan suruh Jin Ifrith, Asif bin
Barkhiyah, Panembahan Khidlir atau Panglima Izrail.
Anda sendiri kasih waktu satu dua jam saja pas hari-H. Datang ke TPS, masuk bilik, lakukan mau Anda secara bebas dan rahasia.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/menanggung-pilpres-2019/ ===========================
Kalau memang pemimpin, kesadaran primernya adalah belajar kepada rakyat.
Rakyat bukanlah bawahan Presidennya. Desa bukanlah anak buahnya Negara.
Rakyat adalah majikannya Presiden. Negara adalah rumah milik rakyat. Desa adalah seniornya Negara.
Sejak berabad silam, desa sudah mawa cara tapi sampai hari ini negara belum mawa tata.
Para pemimpin, para pejabat, yang tidak belajar kepada rakyat desa: biasanya menjadi pelacurnya Yuyu Kangkang, atau digendak Buto, bahkan tidak sekadar dodot iro bedhah ing pinggir. Malahan menelanjangi diri sendiri dan martabat bangsanya, kemudian mèlèt-mèlèt kepada Buto.
Kalau tidak paham ini, berarti tidak pernah belajar kepada rakyat.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/melet-melet-kepada-buto/ ================
Bapak Capres dan Cawapres, ada di antara rakyat yang berposisi begini:
Kalau tak pilih GO, jangan pikir pro-ZL. Cuma kapok sama GO, tapi tak berarti mantap pada ZL.
Ini Negara belum meruangi hak-hak otentik rakyatnya untuk menentukan
pemimpinya secara murni berdasarkan nurani dan perhitungan akal
sehatnya.
Ada ABCDEF hingga WXYZ, bahkan ada HONOCOROKO hingga DOTOSOWOLO,
belum lagi ALIFBATA sampai HAMZAHYA. Tapi kami hanya diberi hak
0,00001%, dibatasi hanya dikasih pilihan GO atau ZL.
Ini belum Demokrasi. Jangankan lagi demokrasi yang mengakui eksistensi dan hak alam, hewan, para Nabi, Malaikat dan Tuhan.
Apalagi proses hingga diajukan GO dan ZL tidak berdasarkan kualitas, tapi tawar-menawar kapitalisme politik.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/kapitalisme-politik/ ==========================
Pernah ketika makan bersama dengan teman-teman serombongan teater,
tiba-tiba saya tersedak sehingga seluruh makanan di mulut saya nyemprot
menimpa wajah teman yang duduk tepat di depan saya.
Kotoran saya menimpa wajahnya, harga diri pribadinya, martabat kemanusiaannya.
Dengan frustrasi saya minta maaf berulang-ulang. Sambil langsung saya
loncat dari kursi, berlari melingkar, nyabet saputangan dari saku, saya
usap wajahnya. Kemudian saya cium pipinya kiri kanan dan saya peluk
badannya.
Syukur teman itu sangat arif, lapang dada dan berjiwa besar untuk
memaafkan saya. Tetapi saya tidak pernah merasa cukup untuk minta maaf.
Dalam sehari itu saya minta maaf lebih 10 kali. Pada waktu- waktu
berikutnya permintaan maaf terus saya ulang-ulang. Eksistensi saya
sebagai manusia sudah cacat, saya tak akan berani menjabat jadi apapun
di kalangan manusia.
Rasa-dosa saya abadi : tak kan pernah terbayar meskipun sampai Akherat.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/tak-berani-menjabat/ ===================
Kalau ditanya “Presidennya siapa?”, tidak sukar menjawabnya :”Monggo mau milih siapa. Bebas dan rahasia”.
Tapi kalau pertanyaannya “Presiden itu apa?”, agak tidak mudah menjawabnya.
Presiden itu apa? Kepala Negara? Kepala Pemerintahan? Pengambil
Keputusan? Pelaksana Keputusan? Orang nomer satu? Pemimpin? Penguasa?
Panglima? Direktur? Pemegang Amanat? Khalifah? Raja? Sulthon? Dedengkot?
Benggolan? Mbahureksa? Messiah? Ratu Adil? Satria Piningit? Rais? Imam?
Ro’un? Amir? Za’im? Waliyyul Amri? Qutb? ‘Amid? Qoid? Mursyid? Mas`ul?
Dalil?
Sedemikian kaya dan luas cakrawala nilai-nilai Kepemimpinan, sehingga kabur, dan akhirnya tak dipedulikan.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/presiden-itu-apa/ ====================
Mustahil Pak Capres dan Pak Cawapres tidak mengerti.
Bahwa di abad Globalisasi, yang merupakan sistem penjajahan
tercanggih dan terkomplit sekarang ini–beberapa Negara dominan di muka
bumi tidak menghendaki:
Bangsa Indonesia pandai bernegara.
Dewasa dan mandiri berbangsa.
Berdaulat dalam kecerdasannya sebagai manusia dan masyarakat.
Waspada dalam menetapkan niat dan tujuan pembangunannya.
Berwawasan luas dan komprehensif secara ruang, serta akurat dan strategis secara waktu, dalam menyusun masa depan.
Para penguasa Dunia, baik dalam posisi bekerjasama maupun bersaing,
sama-sama membuntu jalan sejarah agar jangan sampai Indonesia memiliki
pemimpin yang benar-benar pemimpin.
Itulah cara paling efektif untuk menggerogoti kekayaan dan menghancurkan mental bangsa ini sampai waktu tak terbatas.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/pemimpin-yang-benar-benar-pemimpin/ ================
Pak Capres dan Pak Cawapres adalah “Muta’allimul-ghoib”, penembus
penyibak penguak dan pembelajar kegaiban atau kegelapan. Itu kalau
mengacu pada sifat Allah “Alimul Ghoib”, Yang Maha Tahu Kegaiban.
Manusia pembelajar kegaiban adalah yang bergerak dari tidak tahu menuju tahu.
Capres Cawapres adalah orang nomer satu yang wajib bergerak dari
tidak mengerti menuju mengerti segala urusan rakyat, Negara dan tanah
airnya.
Itu syarat pertama dari 14 prinsip kepemimpinan kalau belajar kepada sebagian Asma Allah.
Misalnya, jangan sampai kita menjadi bangsa yang terlaknat di hari
esok, gara-gara tak tahu diri, tidak ngerti bersyukur dan berterima
kasih.
Maka Capres Cawapres menginformasikan berapa jumlah biaya yang
ditraktirkan oleh Kraton Ngayogyakarta 1945-1947 kepada NKRI untuk
melaksanakan Pemerintahan, dengan seluruh keperluan birokrasi dan
administrasinya.
Juga didetail hibah harta itu berupa apa saja. Termasuk Sultan
Hamengkubuwono IX pasang badan menjamin eksistensi keuangan dan
penghidupan NKRI di depan PBB dan lembaga-lembaga internasional lain
yang mempersyaratkannya?
Pun lengkapi dengan data tentang hadiah Aceh kepada Indonesia, sehingga bersama Yogyakarta ia menjadi Daerah Istimewa.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/yogya-mentraktir-nkri/ =================
Mohon Pak Capres dan Pak Cawapres menunda sejenak untuk berpikir menjadi “Malik” (Raja), sebelum berlatih “Rahman” dan “Rahim” kepada rakyat.
Contoh kecil: cobalah cintai dan sayangi Yogya dan Aceh.
Kata “istimewa” pada nama Yogya dan Aceh, itu kemesraan persaudaraan
nasional kah, atau simbolisme kebudayaan, ataukah idiom konstitusi?
Sebab beda-beda substansinya, hakekat dan syariatnya, manfaat dan resikonya.
Kalau itu soal persaudaraan dan budaya, maka tidak ada legalitas
formalnya. Tapi kalau keistimewaan itu formal-konstitusional, bagaimana
rumusan tata-kuasanya?
Para Capres dan Cawapres mohon membenahi pengertian kita semua
tentang itu. Misalnya kalau Yogya dan Aceh itu istimewa, kenapa disebut
Propinsi. Kalau propinsi, kenapa istimewa. Bagaimana prinsip otoritas
dan struktur kewenangannya, kewajiban dan haknya di antara Pemerintah
Pusat dengan Daerah Istimewa?
Secara “roso” (bukan rasa bukan rōsã), apakah Yogya dan Aceh itu bawahan Jakarta, ataukah semacam orangtuanya Indonesia.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/berlatih-rahman-rahim/ ===================
Cacat demokrasi, juga di Indonesia, ada banyak, tapi saya sebut tiga
saja, agar yang tidak disetujui oleh para pelaku demokrasi ada tiga
juga.
Pertama, demokrasi dilaksanakan tanpa perundingan dengan Tuhan.
Kedua, tidak melibatkan penduduk yang lain di bumi,
misalnya tumbuh-tumbuhan, hewan, berbagai bangsa Jin, energi-energi
hidup makhluk-makhluk Tuhan lainnya yang juga punya hak yang sama atas
bumi.
Ketiga, rakyat tidak berdaulat untuk memilih
langsung Presidennya. Malah dimandatkan kepada sekumpulan orang yang
paling ambisius, serakah, tidak tahu malu dan lamis: untuk menentukan satu dua orang yang rakyat dipaksa memilih salah satunya.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/cacat-demokrasi/ ============
Bangsa Indonesia ini sudah 73 tahun berdemokrasi, masih saja memilih “Siapa”.
Memang sih formalnya yang dipilih adalah “Siapa”, tetapi pertimbangan
para pemilihnya mestinya bukan “Siapa”-nya, melainkan “Apa”-nya,
“Bagaimana”-nya, “Kapan”-nya, “Kenapa”-nya, “Di Mana”-nya. Seperti
terminologi jurnalistik lah.
Misalnya, apa yang pernah dilakukan olehnya selama ini, rekor
pengabdian kerakyatannya seberapa. Dan apa yang akan ia lakukan kalau
jadi pemimpin, programnya mathuk atau tidak dengan keperluan mendasar rakyatnya.
Bagaimana ia melakukannya, pola managerialnya, strategi besar
nasionalnya, budaya komunikasinya, akhlak penerapannya. Sampai kapan
perencanaannya, berpikir lima tahun sebatas jatah jabatannya ataukah
sejauh mungkin ke depan, karena Pemerintah lima tahunan harus mengacu
kepada program jangka panjang Negaranya. Sebab Negara tidak ada rencana
untuk berakhir atau bubar.
Kenapa kok begitu skala prioritasnya, kenapa kok ajur-ajer
pengabdian kepada rakyat dinomor-satukan dan eksistensi dan citra diri
dinomor-terakhirkan. Di mana saja ia meletakkan kaki dan kegiatannya
mencerminkan integritas kepemimpinannya.
Tetapi bangsa Indonesia tidak diberi informasi tentang itu semua.
Satu-satunya yang diketahui oleh rakyat adalah “Siapa” Capres dan
Cawapresnya.
(Mbah Nun bersama Masyarakat Maiyah) https://www.caknun.com/2018/demokrasi-kok-milih-siapa/ =============================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar