Inputnya Kebenaran,Outputnya Kebaikan,Hasilnya Keindahan. Bentuk Transaksi kita dengan Sesama Manusia , Kanjeng Nabi Muhammad SAW, serta ALLAH SWT adalah CINTA
Masih tersisa empat belas tulisan lagi untuk dibacakan. Tapi rupanya
Markesot sudah tidak bisa menahan diri melihat perkembangan situasi di
ruangan itu bersama empat puluh orang teman-temannya.
Mendadak ia berdiri.
Markesot melepas ikat pinggangnya, yang ternyata adalah cambuk.
Berjalan keliling ruang, terkadang melompat ke berbagai arah. Tertawa.
Panjang. Sesekali sampai terguncang-guncang.
Kemudian terdengar suara ledakan-ledakan, memecah kesunyian di
ruangan itu. Markesot meletus-letuskan dan meledak-ledakkan cambuknya.
Seperti pesta mercon. Atau deretan bunyi semacam tembakan-tembakan
senjata api. Ada yang seperti suara mercon banting, tiba-tiba di
sela-selanya ada ledakan agak besar. Semua bercampur aduk dengan suara
tertawa Markesot.
Suara tertawa Markesot terkadang menggelikan, di saat lain
mengerikan. Seperti tertawa orang yang sedang menjumpai sesuatu yang
sangat lucu, tapi kemudian tiba-tiba suara tertawa itu berubah aneh,
seakan berasal dari dunia yang lain yang asing sama sekali bagi yang
mendengarnya.
Tertawa Markesot berganti-ganti mengungkapkan rasa lucu, kegembiraan,
kesedihan, putus asa, atau campur aduk antara berbagai macam situasi
jiwanya.
***
Tentu saja empat puluh orang yang berada di dalam ruangan itu kalang kabut.
Tujuh orang di antara mereka, dikagetkan oleh letusan dan ledakan
bertubi-tubi itu ketika sedang duduk tertib dan khusyu’. Tetapi
kekagetan itu tidak membuat mereka beranjak. Mereka hanya menggerakkan
kedua tangannya untuk menutupi kedua telinganya, sambil memejamkan mata
dan menundukkan kepala.
Masalahnya, tiga puluh tiga orang yang lain sedang tidur pulas ketika
ledakan itu memecah kesunyian di ruangan itu. Reaksi mereka
bermacam-macam ketika mendadak mereka dibangunkan oleh festival letusan
dan hantaman ledakan itu.
Ada yang langsung terduduk, wajahnya kebingungan, matanya kosong
menoleh ke kiri dan kanan. Ada yang dari posisi berbaringnya langsung
berdiri dan memasang kuda-kuda silat seakan-akan sedang diserbu mendadak
oleh Pendekar Kedung Prewangan, bertiga dengan Kiai Singorodra dan Mbah
Kalibuntu.
Bahkan ada yang dari keadaan tidur, dalam hitungan sekon langsung
melompat keluar ruangan dengan tangannya memutar-mutar kalung rantai
besi yang diambil dari lingkaran pinggang di balik bajunya.
Sebagian dari mereka ada yang kaget oleh ledakan-ledakan, duduk
dengan mata masih tertutup, sesaat kemudian tidur berbaring lagi. Yang
lebih hebat lagi, beberapa orang hanya membuka matanya sejenak dengan
sedikit menggerakkan kepala, kemudian tidur lagi.
Dan yang paling hebat dari empat puluh orang itu adalah mayoritas di
antara mereka yang sama sekali tidak terusik oleh mercon atau tembakan,
letusan atau ledakan, sekali atau berkali-kali. Mereka sangat tenang.
Nyenyak tidurnya tak terusik. Telinganya kebal, gendangnya dilapisi oleh
semacam plastik tebal hasil teknologi modern.
***
Padahal cukup lama bunyi tembakan dan mercon itu terdengar menyiksa
ruangan. Bahkan ada saat-saat ledakan cambuk Markesot itu menggelegar
seperti datang dari langit. Lebih dekat dibanding suara letusan gunung
yang justru terdengar agak sayup dari kejauhan.
Terasa sekali ada ledakan yang sejatinya bukan suara ujung cambuk
yang dihentakkan oleh tangan yang kokoh perkasa, melainkan ledakan kawah
amarah jauh dari kedalaman jiwa Markesot. Seluruh jagat raya termuat di
dalam ruh manusia. Ledakan yang khusus itu seakan-akan adalah gabungan
antara kemarahan dari pusat Bumi dan halilintar sambutan persetujuan
dari langit.
Ledakan pada tingkat itu mestinya terdengar dari luar ruangan rumah
perkumpulan empat puluh orang itu. Tapi mungkin juga tidak sama sekali.
Itu bergantung pada sikap udara di dalam ruangan itu serta di luar
rumah. Kalau udara berkemauan untuk menghantarkan suara itu, maka yang
di sekitar ruang itu akan mendengarnya. Tapi kalau udara terikat oleh
keputusan untuk tidak menghantarkannya ke luar rumah, dan cukup
mengedarkan suara itu di dalam ruangan rumah saja, maka demikianlah yang
terjadi.
Sikap dan keputusan si Udara itu untuk menghantarkan suara atau tidak
di sebuah skala ruang, bergantung pada perjanjian yang dilakukannya
dengan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan suara itu. Bergantung pada
perjanjian, atau pada kepatuhan udara kepada ini atau itu.
Termasuk jika udara mengambil keputusan sendiri berdasarkan
kedaulatannya sendiri. Letusan-letusan, ledakan-ledakan dan suara
tertawa Markesot sedang menggaduhi ruangan, belum ada waktu untuk
mendiskusikan tema di sekitar keputusan si Udara. Termasuk dengan siapa
dan apa saja ia berkonstelasi, menyelenggarakan perundingan dan
mengambil keputusan. Atau siapa yang dipatuhi oleh Udara.
***
Kegaduhan itu kemudian berakhir pada satu bunyi ledakan sangat keras, menggelegar disertai gemerincing.
Sesudah ledakan terakhir yang bergemerincing itu, Markesot berdiri di
salah satu pojok ruang, bertolak pinggang. Wajahnya meringis. Kemudian
tertawa lagi tapi tidak sungguh-sungguh, suara tertawa yang tidak
berasal dari unit mesin yang memproduksi tertawa dari dalam diri
Markesot.
Tapi akhirnya tertawa Markesot itu terputus mendadak. Markesot
berwajah sangat serius. Matanya menatap ke depan. Berkeliling sorot mata
itu menimpa satu per satu wajah demi wajah di ruangan itu, kemudian
berhenti dan macet di tubuh-tubuh bergeletakan yang tidur sangat pulas.
Dan itu adalah mayoritas di antara empat puluh sahabat-sahabat Markesot.
***
Mereka orang-orang yang sangat bahagia hidupnya. Istiqamah dalam
ketenteraman. Jantungnya terus menjalankan irama secara stabil, tidak
terganggu oleh peristiwa apapun di sekitar mereka.
Ritme ngorok mereka sangat mandiri. Nafas seratus persen teratur
keluar masuknya. Hati mereka tenang bagai ruang hampa. Pikiran mereka
tak bergeming oleh apapun saja. Secara keseluruhan jiwa mereka bagaikan
pertapa. Duduk di tikar ketenteraman, mentalnya tegak teguh bagaikan
pilar-pilar baja raksasa.
Andaikan ada gempa besar, didahului oleh letusan amarah gunung,
kemudian banjir lahar dingin bercampur asap amat panas dari neraka yang
dibocorkan ke permukaan bumi, mereka tidak berubah sedikit pun dari
ketenteramannya.
Mungkin mayoritas inilah yang dimaksudkan oleh Tuhan tatkala memanggil hamba-hambaNya: “Wahai
jiwa yang tenteram, kembalilah kepada Pengasuhmu dalam keadaan meridloi
dan diridloi. Ayo kalian berhimpunlah ke dalam golongan-Ku dan masuklah
ke dalam sorga-Ku”.
***
Sambil menatap wajah-wajah mereka dan merenungi kedalaman suasana
yang beberapa jam ini tadi berlangsung, Markesot mengeluh kepada dirinya
sendiri:
“Ternyata begini ini dunia. Tidak sejauh ini aku
menyangka tentang remehnya manusia. Dan kehidupan yang Tuhan kehendaki
ini ternyata jauh lebih bersahaja. Sampai setua ini tetap saja aku salah
kuda-kuda….”
Sesungguhnya yang terjadi bukanlah Markesot menginterupsi pembacaan
tulisan-tulisan dan suasana di ruangan itu, tetapi aslinya Markesot
sedang menginterupsi proses pemikiran dan penghayatan hidup di dalam
dirinya sendiri.
Kalau Yu Sumi mengerti apa itu kewajiban, terutama kewajiban kepada
Tuhan, salah satu kemungkinannya adalah ia akan menjadi ahli ibadah.
Ia merasa eman kalau sedikit saja mengurangi ibadahnya. Ia tidak
melewatkan satu jam semenit sedetik pun untuk beribadah. Tidak ada yang
lebih mulia dari beribadah kepada Tuhan. Tidak ada yang dipuji Tuhan
melebihi hamba-Nya yang mengisi siang dan malam dengan ibadah.
Akibatnya Yu Sumi akan didatangi oleh semacam ujian. Ia sangat
mungkin menjadi seseorang yang karena tekun ibadahnya maka ia punya
naluri untuk membandingkan dirinya dengan orang lain berdasarkan
kerajinan ibadahnya.
Tahap berikutnya ia memperoleh sub-ujian bahwa ia merasa dirinya
lebih dekat kepada Tuhan dibanding orang lain yang kurang beribadah,
terlebih lagi dengan orang yang tidak beribadah. Rasa lebih dekat kepada
Tuhan itu bisa memperanakkan rumusan atau gambaran bahwa yang rajin
beribadah berderajat lebih tinggi dibanding yang tidak beribadah.
Rasa lebih tinggi itu bisa mengurangi jarak pergaulan Yu Sumi dengan
orang lain yang tidak setekun ia ibadahnya. Kemudian bisa berkembang
menjadi rasa meremehkan orang yang tidak beribadah, berikutnya
merendahkan, berikutnya lagi bisa menjadi cibiran yang merendahkan,
meskipun hanya di dalam hati. Dan kalau tidak hati-hati, Yu Sumi bisa
sampai pada suatu anggapan yang berkembang menjadi pendapat yang
diyakini, bahwa sesungguhnya yang lebih berhak hidup di dunia adalah
orang yang tekun beribadah dan dekat dengan Tuhan.
Pandangan itu bisa memuai menjadi keputusan sosial untuk memusuhi
siapa saja yang tidak beribadah. Memusuhi bisa membengkak menjadi
keyakinan untuk membuang, membunuh atau memusnahkan. Tuhan adalah Maha
Tuan, semua manusia adalah abdinya. Barangsiapa tidak beribadah, maka ia
bukan abdi. Dan siapa saja yang bukan abdi, ia tidak berhak hidup di
bumi Tuhan. Sehingga harus diusir atau disirnakan.
***
Semua ummat manusia di peradaban apapun meyakini secara mantap dan
hampir absolute bahwa anak-anak manusia harus berpendidikan,
berkebudayaan, harus belajar membaca dan menulis, harus mencari ilmu dan
pengetahuan.
Juga Yu Sumi. Tapi yang kukatakan kepada anak cucuku dan para jm ini
tak perlu dibawa-bawa ke para tetangga. Mereka tidak memerlukan pikiran
seperti ini. Mereka sudah beres hidupnya, tidak ada manfaatnya semua
yang kukatakan kepada anak cucu dan para jm ini.
Mungkin Yu Sumi sebaiknya berpendidikan seperti mereka. Ia harus
mengerti hak dan kewajiban. Ia wajib mempelajari Islam, membaca Al-Quràn
dan menjalankan peribadatan. Akan tetapi berdasarkan seluruh sejarah Yu
Sumi, dan berlaku khusus untuk Yu Sumi, aku harus menyimpan di laci
rahasiaku bahwa kewajiban-kewajiban itu kemungkinan besar malah
membahayakan hidup Yu Sumi.
Sebab di samping ada peluang besar bahwa dengan itu semua Yu Sumi
menjadi manusia sombong-agama dan merasa lebih tinggi derajatnya
dibanding orang-orang di sekitarnya — yang juga sangat penting adalah
kemungkinan bahwa sesudah ia menjadi ahli ibadah: kadar kerja kerasnya
pasti berkurang.
Yu Sumi akan menjadi lebih banyak omong, sedikit kerja. Banyak
omongnya pun isinya adalah muncul dari tinggi hati, merasa lebih suci,
yakin lebih dekat kepadaTuhan dibanding semua orang. Mungkin sesudah
menjadi ahli ibadah Yu Sumi menjadi punya masalah dengan memanjat kelapa
dan membelah kayu. Di samping energinya mengecil untuk kerja keras,
mungkin saja bekerja memanjatkan kelapa untuk tetangganya sangat kecil
nilainya dibanding satu sujud dalam shalat.
Dan kalau karena kecerdasannya pada akhirnya Yu Sumi menjadi
benar-benar pandai mengaji dan tahu banyak ilmu, mungkin ia akan diminta
mengajar di sana-sini. Ia menjadi sibuk, dan akhirnya kehilangan
keterampilannya untuk bekerja. Pada akhirnya ia bisa menjadi Ustadz atau
Ustadzah tidak karena ilmunya melainkan karena tidak punya kemampuan
untuk bekerja.
Tentu kehidupan mengandung kemungkinan tak terbatas. Namun terang
benderang bahwa Yu Sumi dilindungi oleh Tuhan dengan formula
eksistensinya, dengan keawamannya, dengan kebutahurufannya, dengan
ketidakmampuannya atas ilmu dan kepandaian, dan mempertapakannya dalam
kesibukan memanjat kelapa dan membelah batu.
Maka Tuhan tidak mentakdirkan Yu Sumi kawin dan beranak. Karena akan
bisa menjadi masalah orientasi bagi anaknya. Hampir mustahil anaknya,
jika ada, akan mampu dan mau memanjat kelapa dan membelah kayu, karena
zaman dan lingkungannya sudah berubah.
Teknologi berkembang sangat pesat. Salah satu hasilnya adalah manusia
kehilangan dirinya, manusia menjadi luntur kemanusiaannya, manusia
menurun kemampuan bekerjanya. Bahkan manusia bukan hanya mewakilkan
pekerjaan ini itu kepada robot dan onderdil teknologi industri. Bahkan
sudah cukup lama menjadi robot dan onderdil teknologi dan obeng tang
catut industri.
***
Akan tetapi Guk Urip kawin dan punya anak, sekarang bahkan sudah
mulai lahir cucu-cucu. Mas Bardi juga kawin, meskipun tidak punya anak.
Siapapun yang pernah ketemu dengan Guk Urip dan Mas Bardi, langsung
tahu bahwa mereka melambai. Bahkan sangat melambai. Dan itu tidak karena
akulturasi, tidak karena penularan dari siapapun, tidak karena pengaruh
lingkungan budaya.
Tetapi Guk Urip dan Mas Bardi tidak terlalu bodoh atas dirinya
sendiri. Mereka melakukan reformasi ke dalam dirinya sendiri, jiwa
maupun jasadnya.
Sama dengan apapun dalam kehidupan, sesuatu direformasi, ditemukan
proporsi dan harmoninya. Ada besi yang dipotong atau disambung. Ada kayu
yang digergaji atau disusun beberapa batang. Ada cairan yang ditambah
atau dikurangi volumenya. Ada gas yang dipadatkan atau dikurangi
kepadatannya.
Ada logam yang diambil sedikit dan logam lain diambil banyak. Ada
sesuatu yang dipacu dan lainnya dikontrol. Ada laju yang di-gas dan pada
momentum tertentu di-rem. Ada sesuatu yang dilampiaskan dan lainnya
dikendalikan. Ada ini itu yang dihitung batas perkembangannya sementara
yang lain justru dipacu kesuburannya.
Memang demikianlah kehidupan. Juga diri setiap manusia sendiri adalah
bagian, bahkan yang utama, dari kehidupan. Ada sesuatu dalam diri
manusia yang perlu dikendalikan, ditahan, dipuasakan, dibatasi atau
bahkan mungkin dihilangkan, misalnya daging tumbuh yang tidak pada
tempat dan proporsi alamiahnya.
Dan managemen diri semacam itulah yang dilakukan oleh Guk Urip dan mas Bardi. Apalagi Yu Sumi.
Kalau engkau menyangka hidup ini isi utamanya adalah hak, dan itu
menjadi landasan utama dari perilakumu, menjadi hulu-ledak dari
kelakuanmu, menjadi dasar pikiran untuk mengambil keputusan menuju masa
depanmu — aku tidak akan mempersalahkanmu. Tidak akan membantahmu. Juga
tidak mengecam atau menghardik dan mengutukmu.
Hanya dua kata yang kalau kau minta, aku bisikkan ke telingamu: “Tunggulah waktu”.
Jika tiba hari Jumat, ada desakan dari dalam diri keAdaman Yu Sumi
untuk ikut berjamaah shalat Jumat. Tapi itu akan membingungkan semua
orang dan pasti menjadi sumber pertengkaran masyarakat. Maka ia duduk di
balik rerimbunan daun-daun di belakang masjid. Ia mendengarkan khotbah
dan merenung.
Penggalan kisah sederhana ini kuperuntukkan bagi anak cucuku dan para
jm, karena masyarakat umum tidak memerlukan butiran kecil ilmu dan
pengetahuan yang tidak istimewa. Jadi anak cucuku dan para jm simpan
sendiri saja.
Ketika itu belum ada khotbah yang menyebarkan kebencian dan kutukan.
Belum ada khotib yang merasa dirinya selevel dengan Tuhan sehingga tak
mungkin salah, yang pendapatnya pasti benar, dan kebenaran yang ada di
otaknya bersifat absolut. Waktu itu belum ada pemimpin agama yang
sombong dengan pandangannya, yang angkuh dengan ilmunya dan takabbur
dengan merasa pandainya.
Di zaman Yu Sumi hidup, juga Guk Urip dan Mas Bardi, belum ada
manusia yang begitu yakinnya bahwa ia dan mereka akan pasti menjadi
penghuni sorga, dan mempercayai bahwa siapapun yang tidak berpandangan
dan tidak hidup seperti mereka akan pasti menjadi penghuni neraka.
Sehingga Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi tidak pernah berjumpa dengan
manusia yang sombong karena agamanya, yang angkuh karena ibadahnya,
yang merendahkan orang lain karena imannya, yang mengutuk siapapun saja
yang bukan mereka. Mereka bertiga belum pernah mengalami pergaulan
dengan manusia yang mampu menciptakan harmoni antara ibadah kepada Allah
dengan kekejaman kepada manusia. Yang merangkai dengan mantap iman
kepada Tuhan dengan perusakan dan penghancuran atas sesama manusia.
Indah benar hidupnya Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi karena di era
mereka belum ada manusia beragama yang meyakini bahwa bumi dan alam
semesta adalah hak mereka, sehingga yang bukan mereka harus dimusnahkan.
Bahwa Tuhan menciptakan bermilyar galaksi, bertrilyun-trilyun planet
ini tidak untuk siapapun kecuali segolongan manusia, yang jumlahnya
sangat sedikit, sehingga cukup ditampung di beberapa Kecamatan di suatu
negeri kecil. Tuhan menciptakan alam semesta yang luasnya tak terukur
ini tidak untuk siapapun kecuali untuk sejumlah manusia yang hanya
memerlukan sebuah pulau kecil di bumi yang sangat kecil untuk tempat
tinggalnya.
***
Berbahagia benar Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi, yang hidup tanpa
pernah menjadi masalah bagi lingkungan masyarakatnya. Yang masyarakat
sekitarnyapun tidak pernah riuh rendah memperdebatkan diri eksistensi
mereka, karena ummat manusia pada zaman itu selalu menjalankan toleransi
tanpa menyadari adanya kata toleransi dan mereka sendiri tak pernah
mengucapkan kata toleransi dari mulutnya.
Masyarakat di mana ketiga sahabat kita hidup sangat mengerti aurat,
memahami hakekat batas, tahu persis apa yang harus dibuka dan apa yang
sebaiknya ditutupi. Apa yang sebaiknya dikendalikan dan apa yang tidak
masalah jika dilampiaskan. Mengerti apa yang harus dikontrol untuk tidak
berkembang karena daya perusakannya luar biasa atas kehidupan dan masa
depan.
Meskipun Yu Sumi aman mendengarkan khotbah Jumat dari kebun belakang
masjid, tapi sebenarnya ia menempuh jalan cukup jauh membelah desa untuk
bisa sampai ke gerumbul tempat ia bersembunyi dan nguping khotbah.
Masjid itu terletak di jalur tengah desa, yang penghuninya pada umumnya
berkultur santri. Hanya ada masjid dan musholla di jalur tengah.
Sedangkan di jalur selatan dihuni oleh para petani abangan. Dan Yu Sumi
sendiri tinggal di jalur utama. Jalur dan lingkungan yang anak-anak
sekolahan menyebut sebagai jalur masyarakat yang terbelakang, kurang
berbudaya dan belum mengenal agama.
Karena lingkungan sosialnya, hampir mustahil Yu Sumi berpeluang untuk
belajar mengaji, duduk di bangku sekolah atau belajar apapun kecuali
dari kehidupan dan perenungannya sendiri. Padahal Yu Sumi tidak pernah
mendengar apa itu perenungan, apa itu santri atau abangan. Yu Sumi tidak
punya ustadz, tidak berguru kepada kiai, tidak pernah tahu selama
hidupnya suatu benda ajaib yang bernama televisi. Jangankan lagi gadget,
internet, medsos, browsing, IT, demokrasi, Revolusi Industri ke-IV,
terlebih-lebih lagi Bank Syariat. Yu Sumi tidak punya mursyid, syekh,
guru bangsa, begawan, panembahan. Yu Sumi hanya tahu secara naluriah
bahwa ada yang maha besar dan berkuasa dalam hidupnya, ada hidup dan
kelak ada mati, ada asal-usul dan titik tujuan, entah akan ada akhirnya
atau tidak.
Yu Sumi hanya punya Tuhan. Bahkan Muhammad hanya sesekali ia dengar
nama itu dari khotbah di masjid yang ia nguping. Tetapi Yu Sumi memiliki
kecerdasan intelektual dan kewaspadaan sosial, serta tahu secara
alamiah bahwa ia tidak boleh menjadi beban bagi siapapun, tidak boleh
menjadi masalah bagi lingkungannya, meskipun tidak pernah berani
beranggapan bahwa ia harus atau bisa atau punya kemungkinan untuk
bermanfaat bagi kehidupan di mana ia menumpang.
***
Maka ia mengambil keputusan untuk memenuhi waktunya untuk bekerja.
Bekerja keras sepanjang siang dan kalau perlu tambah separo malam.
Yu Sumi sangat sedikit berbicara. Ia menyapa dan menjawab sapaan
siapapun yang ia berpapasan dan bertemu. Tetapi ia tidak pernah
berdiskusi, meminta, menuntut, membantah, berdebat, membela diri,
mempertahankan apapun. Ia bekerja saja dan bekerja saja. Sampai akhirnya
Tuhan memindahkannnya dari desa saya ke kampung baru yang hanya Tuhan
yang tahu. Entah di bumi ini, atau mungkin di planet lain, atau di luar
galaksi, atau siapa tahu tetap di sekitar desanya namun di koordinat dan
gelombang yang berbeda.
Yu Sumi bekerja keras memenuhi hidupnya, sehingga unsur lain dalam
dirinya, misalnya nafsu sex, tersingkir dan bagaikan tak ada. Sepanjang
hidup Yu Sumi aku hanya pernah melihatnya berpakaian sarung yang itu-itu
juga. Kira-kira ada dua lembar sarung, satu dua kaos dan baju. Wajahnya
tidak pernah mengekspresikan tuntutan, harapan, atau amarah dan
perlawanan. Yu Sumi madhep mantep bekerja dan bekerja.
Ia tidak pernah mendengar kata hak atau kewajiban. Dan beruntunglah dia.
Sebab kalau ia sampai tahu hak dan memahami artinya, kecerdasannya akan
memberi ucapan-ucapan yang berbahaya bagi dirinya: “Aku berhak memenuhi
nafsuku. Aku berhak kawin dengan sesama manusia apapun jenisnya, bahkan
adalah hakku juga untuk kawin dengan lembu, pohon pisang atau buah
mentimun. Aku berhak menjadi apapun sesuai dengan hak asasiku. Aku
berhak menjadi kanker, menjadi benalu, menjadi penyakit, menjadi kuman,
bakteri, virus, racun, atau apapun yang aku mau….”
Yu Sumi memakai celana atau sarung seperti lelaki. Pakai kaos,
berjalan gagah seperti Werkudoro, tangannya kokoh memegang arit, bendo,
parang dan terkadang pedang jika diperlukan. Yu Sumi memanjat kelapa
tinggi dengan langkah naik yang sangat kuat, perkasa dan tangguh. Yu
Sumi mengurai sabut kelapa dengan jari-jarinya dan memecah batok kelapa
dengan pojok jidatnya.
Sketsa sosok Yu Sumi ini kututurkan untuk anak cucuku dan para jm.
Jangan sampai dibaca oleh yang bukan kalian, sebab mungkin ini memalukan
dan bisa jadi menjadi bahan tertawaan. Sebagaimana aku, kalian tidak
cukup terpelajar, bukan cendekiawan, tidak berbudaya modern dan
metropolitan. Kita orang dusun yang telapak kaki kita terlalu dekat ke
tanah. Muatan dada kita adalah hati petani, sedang di kepala kita tidak
ada unsur intelektualitas kelas manusia modern.
Yu Sumi, yang Hawa, lebih kuat dari kebanyakan lelaki di desa saya.
Tetapi ia tidak melirik, melotot atau mengincar wanita-wanita,
gadis-gadis atau Adam-Adam yang keHawa-hawaan di desa. Yu Sumi tidak
menjadi lesbisch lesbong lesboa atau lesung. Sampai meninggalnya di usia
hampir 60 tahun Yu Sumi tidak mencintai wanita, apalagi mencintai
lelaki, tidak berpacaran, tidak nikah. Yu Sumi bekerja keras.
Yu Sumi mengisi hidupnya dengan bekerja, bekerja, bekerja dan bekerja
hingga kelelahan kemudian tertidur. Yu Sumi tidak punya kekayaan dunia.
Tidak punya pekerjaan tetap. Tidak punya warung usaha atau apapun. Yu
Sumi tidak cukup waktunya untuk memenuhi permintaan para tetangga untuk
membelah kayu, mencangkul dan nggaru nyingkal sawah, untuk melakukan
berbagai macam pekerjaan yang orang menyebutnya pekerjaan kasar dan
rendahan.
Ya Ampun ya Salam alangkah kasar orang yang menciptakan istilah
pekerjaan dan kasar. Dan alangkah tidak punya kelembutan siapa saja di
antara masyarakat yang menyebut pekerjaan Yu Sumi adalah pekerjaan
rendahan. Alangkah bodoh manusia yang menyebut Yu Sumi memanjat pohon
kelapa dan membelah kayu-kayu besar adalah pekerjaan kasar.
***
Itu pekerjaan keras. Memerlukan kekuatan dan kekerasan. Karena tidak
mungkin membelah kayu glugu dengan kelembutan. Betapa pentingnya
kekerasan dalam bagian-bagian tertentu dari kehidupan. Istilah
pekerjaan kasar berasal dari manusia yang berhati kasar, yang diam-diam
merindukan kelembutan namun tak kunjung mendapatkannya. Istilah
pekerjaan rendahan bersumber dari orang-orang yang kenyataan martabatnya
rendah, yang merindukan ketinggian derajat namun tak pernah
memperolehnya.
Yu Sumi wanita yang kuat dan keras, namun kekerasannya ia tumpahkan
ke pohon kelapa dan kayu-kayu, tidak kepada sesama wanita. Yu Sumi juga
lembut dan mendalam cintanya, namun kedalaman cinta itu ia kembalikan
secara diam-diam dan sunyi kepada sumbernya. Yu Sumi adalah hardworker
di dunia, namun di dalam dirinya ia adalah pengasih dan kekasih Tuhan,
tanpa ia puisikan, tanpa ia tasawufkan, tanpa ia romantisasikan dengan
label Agama Nusantara, Agama Pohon Kelapa, Ahlul Glugu wal Kayu atau
apapun.
Yu Sumi dikatakatain sejumlah orang di dalam hatinya, namun tak
pernah pengkatakataan itu dikatakatakan melalui mulut mereka. Yu Sumi
diejek-ejek oleh sejumlah anak-anak kecil yang melihatnya sebagai
keanehan: perempuan kok sarungan, wanita kok memanjat kelapa dan
membelah kayu-kayu. Tetapi tak usah Tuhan, Yu Sumi yang tak sekolah dan
tidak nyantri pun cukup untuk mengerti bahwa anak-anak tidak berdosa
dengan ejekan-ejekannya itu. Dan Yu Sumi tidak pernah bodoh untuk marah
kepada anak-anak itu. Sebagaimana Tuhan pun tidak menghukumi atau
menghardik anak-anak manusia yang belum ‘aqil (sanggup menggunakan akal)baligh (mampu menyampaikan kebaikan).
***
Yu Sumi sangat bermanfaat hidupnya bagi para tetangga. Yu Sumi
pekerja sangat keras, rajin, tekun dan anti-kemalasan. Masyarakat desa
tidak terpelajar tapi sepanjang hidup Yu Sumi mereka menjaga aurat.
Bahwa posisi khuntsa, kehadiran mukhannats Yu Sumi adalah aurat yang
harus mereka lindungi bersama. Tidak dibuka-buka. Tidak
didiskusipublikkan. Tidak dimedsosmedsoskan. Tidak menjadi agenda
pemikiran dan undang-undang. Tidak dilebailebaikan dengan bermacam
akrobat ilmu dan pengetahuan, tidak dilebihlebihkan dengan
pernyataan-pernyataan dan ideologi.
Dan Yu Sumi menolong masyarakat dengan mengalah secara sosial dan
mentransendensikan secara keTuhanan, meskipun untuk melakukan semua itu
Yu Sumi tidak memerlukan pengenalan tentang berbagai kata dan istilah
yang mumbul-mumbul muluk-muluk khas manusia dan peradaban modern yang
merasa dirinya pandai dan paling hebat.
Yu Sumi secara naluriah sangat mengerti satu hal. Bahwa eksistensinya
adalah rahasia Tuhan, di mana ummat manusia tidak sanggup menanggung
dengan ilmunya, tidak sanggup menyangga dengan pengetahuannya. Yu Sumi
secara sukma dan jiwa tahu bahwa ia adalah rahasia Tuhan. Pusat berkah
atau celakanya terletak pada posisi nafsu seksualnya.
Dan Yu Sumi punya harga diri kemanusiaan yang sangat tinggi, karena memang demikian Tuhan menentukan makhluk satu ini sebagai ahsanu taqwim, sebagai masterpiece
ciptaan-Nya, sehingga Tuhan memilih dan melantiknya sebagai
khalifah-Nya, sebagai wakil-Nya. Yu Sumi mengetahui itu semua karena ia
belajar dengan caranya sendiri, berdasar posisi sosialnya sendiri, serta
membatasi diri pada kerahasiaan ketentuan Tuhan yang ia pagari dengan
waspada dan seksama di tengah pemetaan sosial masyarakatnya.
Karena mengerti tingginya derajat sebagai manusia, Yu Sumi dengan
sangat radikal menumpas nafsu seksualnya. Berat pada tahun-tahun
pertama. Tapi segera Yu Sumi menemukan bahwa untuk melawan nafsu
hanyalah diperlukan satu lompatan kecil di dalam jiwa dan mentalnya.
Nafsu sex tidak seram bagi Yu Sumi. Tidak muluk-muluk dan tidak berkuasa
atas dirinya.
Yu Sumi cukup tekan knop “off” dalam maintenance mentalnya. Sampai
akhirnya sang nafsu putus asa untuk berani-berani “on” di dalam diri Yu
Sumi. Apalagi setiap kali sang nafsu mencoba nakal menggodanya, Yu Sumi
ambil nafsu itu dari dalam dirinya, dicabut, dikeluarkan, digenggam
dengan tangan kirinya, ia pelototi dan ia banting pecah berkeping-keping
di tanah terjal desa kami.
Sebelum kisah kecil tentang Yu Sumi, tolong anak cucuku dan para jm
memastikan pemahaman bahwa “empat huruf” itu tidak sama dengan
Mukhonnats, Wandu atau Banci. Sama sekali berbeda.
Banci itu keadaan, yang menjadi identitas. Sepanjang tidak ditulari
secara budaya, maka Banci Mukhonnats Wandu adalah kehendak alamiah
Tuhan. Di empat nomor tulisan ini kita belajar pengelolaannya, ke dalam
diri yang bersangkutan, maupun penanganan secara sosial.
Tetapi “gay”, “lesbi”, “bisex” dan “transgender” bukan keadaan, bukan
identitas, melainkan perbuatan atau perilaku sosial. Jadi “empat huruf”
itu tidak menjelaskan identitas, melainkan perilaku.
Tidak ada masalah kita lelaki, perempuan atau banci. Yang menjadi
masalah adalah ketika lelaki dan perempuan berhubungan seks tidak dalam
pernikahan. Apalagi berhubungan seks sesama jenis, dengan benda, dengan
hewan, batang pisang atau tiang kayu, atau beramai-ramai berjenis-jenis.
Kalau masalah yang timbul hanya terhadap hukum, moral atau norma
sosial, masih tidak terlalu mengancam kehidupan. Tapi kalau masalahnya
adalah konflik dengan kemauan Tuhan, anak cucuku dan para jm tolong
jangan anggap ringan.
***
Yu Sumi, wanita yang kelelaki-lekakian, adalah seniorku dulu di desa.
Guk Urip, lelaki yang kewanita-wanitaan, juga senior era berikutnya.
Dan Mas Bardi, lelaki gagah berbadan besar gempal tapi
kewanita-wanitaan, adalah juga senior hidupku di salah satu tempat
perantauanku.
Tuhan menginformasikan bahwa Ia menciptakan makhluknya dengan potensi
maskulinitas dan feminitas dalam kadar yang berbeda-beda. Bahkan Ia
sebut “syu’uban wa qaba’il”, yang selama ini diterjemahkan
menjadi “bersuku-suku dan berbangsa-bangsa”, meskipun ketika ayat itu
turun belum ada konsep atau perumusan tentang bangsa.
Syu’ub dan qaba’il tidak harus bermakna hanya suku atau tribe dan
bangsa atau rumpun bangsa. Penduduk negeri Benelux disebut tiga bangsa
karena negaranya pun tiga, padahal sesungguhnya mereka satu qabilah,
atau satu bangsa, atau bahkan satu suku atau sub-bangsa. Semua itu
sangat relatif. Dan bagaimana pemetaan ciptaan Tuhan itu dipahami tidak
dengan mempelajari konsep dasar dari Tuhan, tetapi disimpulkan
berdasarkan paham-paham temporer ilmu manusia. Yang besok dibatalkan
sendiri. Lusa dilanggar sendiri. Seminggu berikutnya diingkari, dibantah
dan dikutuk sendiri.
Mohon diingat oleh anak cucuku dan para jm, ini bukan tafsir, dan aku
pun tak memenuhi syarat untuk menjadi mufassir. Ini sekedar pesan
pribadi kepada kalian, yang lebih baik tak usah didengar oleh khalayak
umum, agar tidak menambahi potensi perbedaan dan pertentangan.
Demikianlah ummat manusia bermain-main dengan arca dan patung-patung
pemikiran dan khayalannya sendiri. Patung bukan satu-satunya bentuk
berhala. Justru mayoritas berhala dan pemberhalaan bertebaran di peta
pengetahuan dan pilihan ilmu kaum cendekiawan. Terutama di hamparan
hasil teknologi kebudayaannya. Abad 20-21 adalah peradaban ummat manusia
yang jumlah Latta-Uzzanya hampir tak bisa dihitung. Hampir seluruh arca
yang diberhalakan itu dikostumi dengan pakaian-pakaian agama, dijubahi
dikerudungi dengan performa kesucian Tuhan dan Nabi-Nabi.
***
Karena kemalasan berpikir, meneliti dan menganalisis, maka
kumpulan-kumpulan manusia bisa suatu hari keluar rumah dengan senjata
tajam dan acungan tangan-tangan serta teriakan pekikan yang menyebut
nama Tuhan — dengan penuh kegagahan dan keperkasaan membakar sebuah
patung, karena mereka tidak belajar untuk mengetahui bahwa arca yang
perlu dibakar sesungguhnya terletak di dalam dismanagemen berpikir
mereka sendiri.
Apa yang kutuliskan ini mutlak tidak diperlukan oleh teman-teman kita
sesama makhluk hidup yang hampir mustahil memahami bahwa letak
berhala-berhala yang mereka musuhi itu berada di dalam akal mereka
sendiri. Maka aku hantarkan nilai-nilai ini kepada anak-anak cucu-cucuku
agar jangan kelak menjadi keledai zaman yang mengulang-ulang
ketidakmengertian dan memasuki lobang-lobang ketidakpahaman sampai
ratusan kali, mungkin ribuan kali, dan seperti tak ada kemungkinan
bahwa ribuan kali itu akan tidak bertambah dan diteruskan.
Anak-anak cucu-cucuku sudah hafal bahwa letak kekufuran, kemusyrikan,
bid’ah, keterpelesetan aqidah dan kesesatan dari garis tauhid, tidaklah
berada di luar diri. Tidak di kota ataupun desa. Tidak di bunyi ataupun
sepi. Tidak di perempatan jalan atau di toko-toko besar. Tidak di
perkampungan atau gedung-gedung tinggi. Tidak di negara atau di rumpun
suku-suku hutan belantara. Tidak di dalam atau di luar masjid dan
tempat-tempat ibadah ataupun persangkaan-persangkaan ubudiyah yang lain.
Melainkan terletak di dalam akal dan hati masing-masing. Terletak di
dalam ketidaktepatan atau ketepatan tujuan utama kehidupan. Terletak di
dalam lingkup niat dan hajat. Terletak di dalam diri. Terletak di dalam
diri. Jadi ambil pedang dan obor, berlarilah menghamburlah ke dalam diri
sendiri, tebas kebatilan akalmu dengan pedang dan bakar kebodohan
pikiran diri sendiri dengan api.
***
Yu Sumi di dusunku, seorang Hawa yang keAdam-Adaman, sampai akhir
hayatnya tidak bisa menemukan kepenuhan Hawa dalam dirinya, tapi juga
hal itu tidak lantas membuatnya berprasangka bahwa dirinya adalah Adam.
Tuhan menciptakan di dalam diri Adam terdapat potensi Hawa, yakni
kelembutan, kasih sayang, keluwesan. Adam melambai hatinya kepada Hawa
dan anak-anaknya, bahkanpun kepada Qabil sesudah membunuh Habil
kakaknya. Tetapi hati melambai Adam tidak diekspresikan keluar melalui
tangan dan gerak tubuh yang melambai. Karena Adam diajari Tuhan untuk
waspada dan mengerti bahwa hidup adalah menata batas-batas.
Hawa juga memiliki unsur ke-Adam-an di dalam dirinya. Dan sebagaimana
Adam, Ibu Hawa menjaga batas bahwa ekspresi sosialnya harus
mengutamakan ke-Hawa-annya dan mengelola ke-Adam-annya untuk
konteks-konteks tertentu di dalam metode pergaulan sosial.
Semua lelaki adalah Adam yang mengandung Hawa. Semua wanita adalah
Hawa yang mengandung Adam. Keduanya dan masing-masing adalah Khalifah,
dan yang pertama-tama mereka khalifahi adalah managemen internal dirinya
sendiri, sebelum banyak omong dan menghamburkan orasi-orasi tentang
negara, demokrasi dan apapun keluar dirinya.
Lelaki bukan hanya kegagahan dan kekerasan, karena ia juga dibekali
Tuhan kelembutan dan kasih sayang. Wanita bukan hanya kelembutan dan
kasih sayang, karena Tuhan juga membekalinya dengan ketegasan dan
kekerasan. Tidak ada anti-kekerasan. Yang ada adalah anti-kekejaman.
Tulang belulang wajib keras. Daging, otak, jantung dan paru-paru wajib
lembut. Darah wajib cair.
Tidak ada radikalisme, yang ada adalah radikalitas pada batas dan
ukurannya. Kalau karena sakit tertentu kaki harus diamputasi, maka harus
diterapkan tindakan radikal memotong kaki. Kalau api menguasai cahaya
hati, maka dibutuhkan keputusan radikal untuk memadamkan api. Kekerasan
diperlukan untuk prosedur membuat anak dan mengabdi kepada sunnah
regenerasi. Tetapi kekerasan kelamin laki-laki harus diperjodohkan
dengan kelembutan hatinya kepada istri.
Managemen keAdaman dan keHawaan di dalam diri setiap manusia
memerlukan sekaligus kelembutan dan kekerasan. Kepada nafsu syahwat
harus keras dan radikal untuk mengatur batasan-batasannya. Itulah
sebabnya aku tuturkan kepada anak-anak cucu-cucuku tentang Yu Sumi, Guk
Urip dan Mas Bardi.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm 24 Februari 2016 sumber : https://www.caknun.com/2016/managemen-keadaman-dan-kehawaan/
Kekuatan besar dunia terus mempermainkan ummat manusia dengan
melemparkan hati dan pikiran mereka di sungai-sungai isu yang
berganti-ganti: Islam musuh baru sesudah komunisme, Arab Spring, Islam
teroris, provokasi terencana untuk membuat Kaum Muslimin sedunia
bermusuhan, kemudian beberapa level isu, bom pura-pura hingga tema
Wandu.
Kuharap anak-cucuku dan para jm tak usah membawa pembicaraan kita ini
ke lapangan Indonesia dan dunia. Ini bisik-bisik pribadi, aku kepada
anak cucu dan para JM. Dunia dan Indonesia sangat kuat dan berkuasa.
Maka kalian kalau bisa berupaya agar jangan sampai dikuati dan dikuasai.
Kalian harus kuat dan berkuasa atas diri dan kehidupan kalian sendiri.
Kalau bisa jangan sampai terhanyut dan tenggelam oleh tipu daya
global atau nasional apapun. Maka selalu kutuliskan secara khusus dan
berkala berbagai hal untuk itu, syukur menjadi bekal untuk tidak
terjajah oleh beribu tipu daya yang membanjiri kiri kananmu. Semata-mata
buat anak cucuku dan Jamaah Maiyah.
Sebenarnya jadwalku hari ini meneruskan ‘PR’ lanjutan tulisan
terutama perang terhadap kata dan simpul-simpul masyarakat Jin. Tetapi
alangkah menderitanya hatiku hari ini!
Hidup di dunia yang diciptakan sangat indah oleh Tuhan namun
dibusukkan dan dikumuhkan oleh peradaban ummat manusia yang penuh
ketidakadilan dan keserakahan. Dan aku tersandera untuk turut meramu
obat untuk penyakit-penyakit yang seharusnya tak perlu ada. Ikut
mencarikan jalan keluar atas persoalan-persoalan yang sesungguhnya bisa
tidak usah ada. Dipaksa berkata, menyusun kalimat, menguraikan dan
menjelaskan berbagai hal-hal yang semestinya tidak perlu ada penjelasan
apa-apa.
Hidup puluhan tahun di tepian jauh alam semesta dilepas oleh Tuhan
dengan tugas untuk mengembara mencari kunci demi kunci untuk membuka
pintu-pintu rahasia-Nya. Untuk meraba apa sesungguhnya yang dikehendaki
oleh-Nya. Mendengarkan bisikan-bisikan kesunyian untuk menemukan apa
hakekat kemauan-Nya, bagaimana alur skenario-Nya, apakah sudah mendekati
babak final skrip-Nya, ataukah masih jauh jauuuh di seberang cakrawala.
Tiba-tiba hari ini aku harus menuliskan sesuatu yang sangat merusak
keindahan yang sudah terbangun sangat lama di kedalaman jiwaku. Dunia
dipenuhi oleh sampah-sampah hasil kerusakan akhlak, oleh kemalasan dan
kegelapan berpikir, oleh barang-barang dan peristiwa-peristiwa hina
produk dari keserakahan manusia, serta oleh berbagai jenis kekonyolan,
kesempitan dan kedangkalan — yang awalnya terasa menggelikan, kemudian
menyebalkan, dan akhirnya memuakkan.
Mendadak aku diinstruksikan untuk menulis tentang Wandu. Betapa sengsaranya hatiku.
***
Wandu itu banci. Banci itu kelamin syubhat. Kemudian sebenarnya tidak
ada kelamin syubhat, tapi ditakhayuli oleh api nafsu yang menyamar
sebagai hak alamiah. Lantas diambil alih oleh akulturasi budaya di mana
manusia tidak memiliki kontrol apapun untuk memahaminya dan untuk
menghindari terjebak terkurung dan diaduk-aduk oleh hakekat pembiasaan
budaya itu.
Bahkan kemudian dilegitimasi oleh kekuasaan politik melalui legalitas
hukum. Dan sesungguhnya apa yang ditandatangani dan disebar-sebarkan
itu tidaklah ada kaitannya dengan politik dan hukum, melainkan
berhubungan dengan niat perapuhan atas suatu kelompok masyarakat atau
bangsa. Perapuhan, pemecah-belahan, pengkebirian intelektual dan mental.
Dan pangkal hajat yang tersembunyi di belakang itu semua adalah
skenario perampokan harta, penjambretan kekayaan bumi di wilayah yang
skala dan titik-titik koordinatnya sudah digambar di lembar kertas
perencanaan penjajahan.
Akhirnya hari ini semua orang di sekitarku senegara beserta beberapa
masyarakat di beberapa negara target lainnya, disibukkan oleh empat
huruf yang heboh. Empat huruf yang dibiayai oleh persatuan bangsa-bangsa
untuk disosialisasi secara khusus sejak Desember dua tahun kemarin
hingga September tahun depan. Empat huruf yang di sejumlah negara besar
di muka bumi semua orang harus berpendapat sama tentangnya.
Empat huruf yang barangsiapa tidak menyetujuinya maka ia akan dihina
dan dihardik. Empat huruf yang lebih tinggi kekuasaan nilainya dibanding
Demokrasi dan Freedom of Speech. Empat huruf yang dibela total
oleh Hak Asasi Manusia. Empat huruf yang hakekat kehadirannya bahkan
“harus dipatuhi oleh Tuhan”…. Empat huruf yang mengubah sejarah
penciptaan makhluk-makhluk dan alam semesta. Empat huruf yang menambah
lembaran catatan bahwa dulu Tuhan tidak hanya menciptakan Adam dan Hawa,
tapi juga Hawa dan Syahba, serta Adam dan Karta.
***
Ummat manusia semakin tidak percaya dan tidak merasa perlu meneliti
batas dan jarak antara sunnatullah atau ciptaan otentik alamiah dengan
gejala budaya, interaksi kultur, fenomena akulturasi dan pergesekan
pengaruh di dalam kebudayaan kolektif manusia. Tidak bisa dan tidak mau
memperhatikan dan melihat perbedaan antara setan dari luar dengan setan
dari dalam dirinya sendiri, “alladzi yuwaswisu fi shudurinnas, minal jinnati wannas”.
Tidak mampu dan tidak bersedia menemukan pilah dan garis-urai antara
ruh dengan nafsu, antara semangat hati dengan gejolak api, antara cinta
dengan kebinatangan, antara kesucian dengan pelampiasan.
Maka ummat manusia, terutama yang terpelajar, sudah tidak memerlukan
pertimbangan mendasar tentang apa yang harus dijalankan dan apa yang
wajib tidak dijalankan. Apa yang layak dijunjung dan apa yang seharusnya
dihentikan. Apa yang bermasa depan untuk dianjurkan dan diaktivasikan
secara sosial, serta apa yang tidak bisa ditumbuhkan, tidak akan memuai
menjadi pohon dan daun-daun, serta sama sekali tidak akan pernah berbuah
manfaat apapun bagi kehidupan.
Para aktivis empat huruf itu tidak menemukan apapun di dalam dirinya
kecuali segumpal benda yang berhakekat maut, segumpal sosok semu atau
sekepulan asap khoyal yang baginya itu merupakan kekayaan
tertinggi dalam hidupnya. Ia lindungi sisa kekayaan itu dengan kotak
baja hak asasi manusia. Bahkan ia takut kehilangan gumpalan asap itu
kalau beberapa saat saja ia menoleh melihat apa sebenarnya asal-usul
semua itu. Juga merasa akan kehilangan cinta semu yang berperan sangat
nyata di hati takhayulnya itu jika ia menatap cakrawala masa depan yang
jauh, tak usah masa depan dan regenerasi seluruh ummat manusia —
bahkanpun sekedar masa depan dirinya sendiri dengan pasangannya.
***
Jika aku punya hak dan boleh memilih, takkan kutuliskan hal ini. Maka
jika aku menuliskannya, tidaklah sama sekali kumaksudkan untuk para
empat huruf, bahkan juga tidak untuk masyarakat, bangsa atau ummat
manusia.
Aku menulis hanya untuk anak-anakku cucu-cucuku. Maka kubikin tidak
gamblang, tidak mudah dicerna, tidak seperti mangga yang sudah kukuliti
kuirisi dan kusuguhkan di atas meja.
Aku menyampaikan kepada anak-anak cucu-cucuku bukan buah mangga, melainkan pelok,
bijih-nya. Tidak untuk dimakan, melainkan untuk ditanam di sawah ladang
akal pikiran, untuk diperkebunkan di semesta wawasan ilmu dan
pengetahuan, untuk disirami dengan kecerdasan dan disuburkan dengan
menjaga persambungan dengan Maha Sumber Ilmu.
Ya Khuntsa.
Ya Mukhonnats.
Ya ayyuhal AlMukhnitsin.
Ya Luthy…. orang menyebut mereka Qoumu Luth, alias Luthy…. Tapi aku tak setuju sebutan itu. Mereka bukan kaum Luth, karena Nabiyullah Luth yang ma’shum tidaklah sama sekali mengajarkan kedangkalan, kesempitan, kesepenggalan dan kekonyolan itu.
Bahkan Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi, yang oleh Allah disandera
dalam cinta yang berupa ujian hakiki alami berpotensi lebih besar untsa-nya atau dzakar-nya, feminitas atau maskulinitasnya — bukanlah warga empat huruf. Dari cn kepada anak-cucu dan jm 23 Februari 2016
Bagaimana ini sebenarnya
Juntrungan berpikirnya makhluk manusia
Mengolah alam sampai puncak kecanggihan
Kemudian mereka pandangi dan nikmati
Beribu jenis pencapaian itu
Puncak-puncak teknologi
Kehebatan, kemewahan, kemudahan
Otomatisasi hampir total
Efektivisasi, efisiensi
Alam semesta di genggaman tangannya
Bumi mengecil seujung jari
Yakin ilmunya menembus langit tertinggi
Mereka resmikan pembangunan dan sofistikasi
Kemudian lupa melihat ke dalam diri
Di ruang jiwanya terdapat lubang hampa
Yang ukurannya seribu alam semesta
Di tengah keremangan malam hari
Tuhan bertanya dari balik sepi:
“Siapa engkau yang di hadapan-Ku ini?”
Makhluk manusia terperangah
Tak pernah ia bersekolah untuk memahami
Bahwa yang bertanya itu adalah dirinya sendiri
“Wahai Maha Penyedia Semesta Kenikmatan
Aku sedang menyaksikan la’ibun wa lahwun-Mu
Seluruh penghuni bumi sedang berpesta sepak bola
Tanpa seorang pun menonton-Mu di sana
Bola bergulir, menerobos, melambung
Sepenuhnya disorong oleh Qadla-Mu
Ke mana saja bola mengarah, menuju dan kembali
Semata-mata diseret oleh Qadar-Mu
Berapa derajat sudut sepatu di kakinya
Pada titik mana dari bulatan misteri bola
Yang membuat seorang manusia
Bisa memastikan gol ke gawang lawannya
Seorang Ronaldo tak sanggup memastikan
Bola penalty masuk ke lubang gawang
Yang sedemikan luasnya
Tak juga Zico, Messi, Beckham atau Baggio
Wahai Engkau tampil di mana-mana
Di setiap bagian dari lapangan dan layar teve
Anugerahkanlah mata kepada jutaan penonton
Kepada semua yang ada di lapangan
Kepada wasit, komentator dan siapapun saja
Pinjamkan mripat-Mu kepada mereka
Agar sesekali terucap nama-Mu
Dari mulut mereka”
Ya Allah ributnya manusia mempertengkarkan dunia
Sementara siang malam tak henti aku memikirkan-Mu
Tentulah bukan memikirkan Maha Dzat dan eksistensi-Mu
Melainkan menggelisahkan nasibku di hadapan-Mu
Aku gugup apakah Engkau tidak marah kepadaku
Sebab manusia makin gila dan aku tak bisa apa-apa
Aku cemas apakah pantas kuperoleh ampunan-Mu
Peradaban makin liar dan buas bukan kepalang
Dan tak satu jawaban pun yang aku bisa tawarkan
Tak sampai ridha-Mu yang kuantu-antu
Tak juga anugerah sorga yang kutunggu-tunggu
Hatiku sangat menderita membayangkan amarah-Mu
Hingga bermuka masam tatkala kita bertemu
Atau bahkan Engkau buang muka dan memunggungiku
Ya Allah kucicipi dunia dengan ujung lidahku
Tanpa pernah kuizinkan ia memasuki hatiku
Semua fatamorgana dan tipuan-tipuan itu
Kuletakkan dengan rasa jijik
Di tangan kiriku
Kutempuh kehidupan puasa sepanjang usia
Jiwaku menyepi di tengah riuh rendah itu
Lantas ketika tiba senjakala semesta
Dunia mendesakku ke penghujung penghancuran
Garda mutakhir teknologi perusakan
Fenomenologi dinamis model-model pembunuhan
Amat tajam, genius dan cerdas
Dalam hal melampiaskan pembangunan
Yang hilirnya selalu adalah kebobrokan
Ya Allah sebagaimana kebiasaan penciptaan-Mu
Andaikan segera Engkau bikin manusia hibrida baru lagi
Dengan Kun-Mu segera fayakun menunggu hari
Tidaklah akan mengagetkan jiwa ini
Bahkan sudah terasa di getaran hati
Ya Allah Engkau sertakankah aku di kerumunan itu
Sebab jika tidak, sirna peluangku
Untuk mencintai-Mu
Mungkin sekarang agak tahu aku
Kenapa Engkau tekan-tekankan padaku
Hal kesabaran itu
Kau cekokkan ke tenggorokanku
Kebuasan hidup makhluk-makhluk itu
Kau campakkan hingga ketelingsut hidupku
Di tumpukan sampah-sampah dan ludah busuk
Zaman yang memuakkan
Peradaban yang menjijikkan
Karya para ahsani taqwim
Yang meng-asfala-safilin-kan diri mereka sendiri
Kesabaran berapa Nabi
Keikhlasan berapa Rasul
Yang mesti kuhimpun dalam sesak jiwa
Agar aku sanggup tidak memuntahkannya
Agar aku tahan untuk tidak meludahkannya
Serta membuangnya ke black-hole
Di pusat kehampaan semesta
Wahai Allah Yang Maha Total berkuasa
Kenapa Engkau berendah hati kepada manusia
Sehingga makhluk-Mu ini keliru menempuh jalannya
Sebab tertipu oleh pandangan hidupnya
Serta terjebak oleh ilmu dan pengetahuannya
Wahai Maha Alif wahai Maha Ya`
Wahai Maha Segala huruf
Wahai yang Maha tak terjangkau oleh segala huruf
Wahai Maha Ya` tanpa Alif
Wahai Maha Alif tanpa Ya`
Wahai yang Alif-Mu adalah Ya`
Wahai yang Ya`-Mu adalah Alif
Wahai yang Alif-Mu adalah segalanya
Wahai yang segalanya adalah Alif-Mu
Wahai Maha Tunggal namun semuanya
Wahai semuanya namun Maha Tunggal
Kami semua manusia Makhluk-Mu
Hanyalah huruf patah-patah
Hanyalah patahan-patahan huruf
Negara dan Peradaban kami tak kunjung huruf
Alif pun tak sampai
Tetapi takabur sampai mati
Wahai Maha Pemimpin perluaslah
Samudera kesabaran di dalam jiwaku
Demi amanat-Mu untuk terus menggendong
Bumi yang semakin diliputi oleh kebusukan
Wahai Maha Sutradara Agung perdalamlah
Lubuk kesabaran di ruang terdalam dadaku
Tambahkan dan himpun sulthan-Mu
Karena instruksi cinta tak berbatas
Untuk menelan dan merahasiakan
Muatan amat berat zaman yang semakin memuakkan
Yang kalau Perwira Musytari tak Engkau kirimkan
Dan beliau Syakhlatus Syamsi tak Engkau perbantukan
Tidaklah akan mungkin tertanggungkan
Oleh jiwaku yang kerdil dan penuh kecengengan
Wahai Maha Penggenggam segala rahasia
Sesungguhnya ngeri hatiku melihat ke depan
Setapak lagi tiba di puncak kejahiliyahan
Makhluk manusia menyempurnakan
Kebutaan dan kebodohan
Tanpa kakiku boleh berlari
Atau diri ini kusembunyikan
Salah satu anakku lama sekali hilang
Diculik oleh suatu gerombolan
Kalau siang entah diapakan
Kalau malam entah dibagaimanakan
Anakku itu mutiara dari Tuhan
Intan berlian cahayanya cemerlang
Kandungan dzatnya tak alang kepalang
Ia mozaik hampir seluruh ide ciptaan
Yang kelahirannya ditetapkan oleh Tuhan
Dengan penuh kegembiraan dan multifirman
Tapi tatkala akhirnya kutemukan
Setelah 73 tahun hilang
Di langit wajahnya tak kulihat bintang
Rembulan kembar di kepala dan dadanya
Tenggelam disembunyikan oleh kegelapan
Atas dirinya ia kehilangan kepercayaan
Mengidap maradlus-sufla
Penyakit kerendahan
Sorot matanya pun penuh keanehan
Buta tapi jalang
Tangannya cacat dan kakinya pincang
Serak suaraku memanggil-manggil namanya
Rupanya ia sudah lama lupa siapa dirinya
Aku cemas dengan hati rasa ditikam
Melihatnya melangkah berjalan menuju jurang
Wahai Tuhan berilah aku perkenan
Untuk meringkusnya, memiting lehernya
Mengikat kaki dan tangannya
Kucungkil matanya untuk kugantikan
Dengan bola mata pinjaman dari-Mu
Yang kusimpan di genggaman tangan kanan
Kuseret paksa anakku tercinta
Ke jalanan yang Engkau bentangkan
Melalu tanazzul dari amr dan irodah-Mu
Yang terang benderang
Namun anakku tak melihatnya
Karena terlalu lama ia kehilangan penglihatan
Aku berdiri tawajjuh
Aku rukuk tamaniyyat
Duduk iftikar
Sujud takasyuf
Tahiyat namimah
Maunya menghadap Allah
Atau diperkenani oleh Baginda Jibril
Dahsyat kalau dimuwajjahi Kanjeng Nabi
Tapi yang datang Jin
Tidak jahat tidak kejam
Cuma nyamperin beberapa saat
Dengan senyum agak mengejek:
“Katanya beriman, kok galau?
Katanya berislam, kok sedih?
Katanya bertaqwa, kok resah gelisah?
Katanya i’tisham di tali Allah
Kok tiap hari ketakutan?”
O dasar Jin. Tidak intelektual
Tidak analitis strategis
Juga tidak lengkap ilmunya
Tidak matang pengalamannya
Nggak ngerti gimana rasanya
Hidup bersama Ashabul Khiro`
Rumah agung alam semesta Allah pemilik dan maha tuan rumahnya Aku penjaga pintu luar jauh di depan Mempersilakan makhluk siapa saja
Tak perduli jin atau setan Demi memenuhi kewajiban pengabdian Serta hak perubahan dan pertobatan Allah suruh aku tinggal di sebuah kamar Sepetak ruang remang-remang Yang harus kurahasiakan Untuk mengawasiku Tuhan taruh utusan Berdiri di pojokan Sepanjang zaman Aku duduk di kursi kewaspadaan Menghadap meja kehati-hatian Ranjangku ketidaklenaan Tapi belum pernah kugeletakkan badan Sebab jasadku tak pernah beranjak Dari tugas menjaga pintu depan Tamu-tamuku sendiri yang datang Kutemui di tepi jalan Yang mau berkunjung ke bilikku
Tak kan pernah kuizinkan Sebab mustahil siapapun bisa tahan Ditimpa tatapan wajah utusan Tuhan Yang menjaga dan mengawasi Dari pojokan ruang Sepanjang kurun dan zaman
Rumahku tak berpintu, tanpa jendela
Tak ada lubang biar sedzarrah
Tiang utama di titik pusat rumahku
Adalah keremangan menjulur ke langit
Dan menembus ke bawah gua rahasia
Tampak seperti sesosok pertapa suci
Puluhan abad lamanya ia berdiri
Telapak kakinya menyatu dengan lantai
Lantainya seakan-akan bumi
Di bawah pijakan kakinya terdapat lorong
Yang memanjang tak terukur jaraknya
Menuju induk alam dan pusat semesta
Kutemboki rumahku dengan baja
Yang tidak kutambang dari bumi
Kulapisi dengan pedang-pedang berduri
Tak bisa dimasuki oleh udara dan bakteri
Tak ada kuman, kotoran, tahinya tahi
Yang muncrat menciprat ke sana kemari
Dari mulut dan anus para pemakan bangkai
Penghuni utama zaman Ekstrem Jahiliyah ini
Aku tinggal di luar dinding rumahku sendiri Tak pernah sempat ia kumasuki Siang malam aku berputar mengelilingi Menjaganya dari wabah penyakit Serta ribuan jenis bandit dan pencuri Yang berhamburan dari seluruh penjuru negeri Adapun tiga diriku yang lain Berlari ke sana kemari tanpa henti Menyusuri semua jalanan, gunung dan sungai Menyisir cakrawala dengan hati sunyi Mengumpulkan keramaian menyampaikan sepi Diriku yang satu tak melewati tanah kecuali ditanami Diriku yang lain membawa obat darah dan hati Diriku yang lain lagi berperang, berantem, berkelahi Menghimpun kemenangan sejati Tanpa ada yang mengetahui Kecuali diriku yang tinggal di rumah rahasia kami Yang mengkristalkannya menjadi sesaji Kepada Diri Sejati
Kubuang ke besok pagi
Semua puisi yang telah kutulis ini
Sebab tamu derita kali ini
Benar-benar tak bisa kupahami
Aku tidur karena tak mengerti
Bagaimana menjawab semua ini
Aku terlempar dan terkatung-katung
Di padang tak bertepi
Terbang tanpa bobot
Ke langit misteri kuasa Ilahi
Aku berduka tak terperi
Aku menderita untuk Nevi
Bagaimana ia tempuh detik demi detik
Menjalani kelumpuhan hati mulai saat ini
Bukan soal Bu Eni Untari
Ia sudah menjelma Bidadari surgawi
Tetapi akan meledak atau lumpuhkah musik kami
Di perjalanan Maiyah ke sana kemari
Hatiku sengsara untuk Indra Sjafri
Sekadar takjil satu gol
Sesudah ribuan jenis puasa kami jalani
Sesudah bangsa kami terpuruk tak henti
Sekadar setetes air harga diri
Di depan wajah bangsa penghina kami
Ya Allah, Engkau jawab dengan teka-teki Inna shalati wa nusuki ma mahyaya wa mamati
Semau-mau-Mu wahai Ilahi Robbi
Tiga diri pengembaraku
Sering kusuruh pulang
Supaya tak jadi terasing
Dari diri pertapaku di rumah
Agar tetap hafal dedaunan sejati
Yang bukan seperti di permukaan bumi
Bebuahan dan kembang warna-warni
Yang tak kasat mata
Yang bukan makanan pancaindera
Supaya mereka memandang dengan mripat baka
Cahaya memancar tak henti-hentinya
Sampai waktu pun merunduk padanya
Juga agar jangan sampai tak eling dan tak waspada
Bahwa di bawah akar pohon suci sang pertapa
Terdapat lorong langsung ke pusat semesta
Di mana Diri Sejati bersinggasana
Yang kuabdi dengan tohpati tohnyawa
Tanpa satu sekon pun dari usiaku tersisa
Keadaan ummat manusia, masyarakat dan Negara sangat tidak
sederhana sebagaimana yang kebanyakan orang membayangkannya. Sehingga
menyangka kalau ada kerusakan-kerusakan, mereka mengharapkan ada kiat
yang sederhana, ada resep yang jelas dan padat.
Jangan berpikir bahwa keadaan ini bisa diatasi seperti kita
menyembuhkan masuk angin dengan sebotol kecil cairan obat, atau memasak
sayur dengan racikan bahan-bahan yang sederhana, tertentu dan mudah
dihitung.
Perubahan zaman dan sejarah, apalagi di Negara yang sudah kehilangan Patok Negoro-nya, dengan rakyat yang sudah tidak memiliki patrap nilai, takaran perubahannya bukan melalui resep atau kiat, apalagi yang instan.
Wahai Maha Diri Sejati
Berpuluh-puluh abad sudah berlari
Aku tak kunjung kenal diri
Diri yang selama ini coba kukenali
Selalu belum tentu diri
Bukan Engkau yang azali
Yang ternyata benar-benar kami cari
Kami tempuh peradaban tak tahu diri
Bangunan-bangunan hidup kami hanya dhonny
Sembahyang mata kuda kami sebut rohani
Universitas kami cacat tinggal sepertiga diri
Terlanjur hampir seabad bikin Negara
Melampiaskan nafsu dan menguras bumi
Membangun sistem perampokan
Atas hak milik anak cucu sendiri
Dan puncak prestasi ilmu kami
Adalah menyangka hidup berhenti pada mati
Setiba di kuburan baru mulai
Jiwa gemetar, terlambat merasa ngeri
Aduhai kami makhluk sok jagoan pemberani
Dalam bebrayan antara sesama kami manusia
Selama kerjasama dengan manusia makhluk istimewa
Meskipun didasari cinta dan dimulai dengan niat mulia
Huruf-huruf yang kami tata sangat susah menjadi kata
Kata yang kami susun gagal membangun makna
Dan makna tak berhasil sampai sebagai dirinya
Ketika makna dimaknai ia terpecah menjadi beribu makna
Tatkala seribu makna itu dipersatukan
Hasilnya tak ada yang sama dengan satupun dari seribu
Sehingga akhirnya seluas-luas ruang kehidupan
Dihabiskan manusia untuk kebencian dan perang
Dengan mesiu, pedang maupun teknologi kemunafikan
65 tahun sudah aku mencobanya tanpa putus asa
Tapi kini sebisa mungkin mulut kubungkam
Kecuali Engkau dan kekasih-Mu yang mendengarkan
Sukses perniagan dalam kehidupan bukanlah terletak pada berapa ribu
hektar manusia bercocok tanam, pada berapa ribu ton padi ia berpanen,
berapa ribu gudang beras ia menghimpun, atau berapa juta bungkus dan
piring nasi ia meniagakannya. Melainkan terletak pada apakah dengan
padi, beras dan nasi itu manusia menempuh “daur” agar fungsi nasi itu kembali ke pangkuan penerimaan dan ridlo Allah atau tidak.
Kalau melihat keadaan sehari-hari, di jalan-jalan, kampung-kampung
dan di mana saja, semuanya seakan serba normal, baik-baik saja. Orang
senyum-senyum di sana sini. Banyak wajah sengsara karena berbagai
kesulitan, tapi mereka selalu sanggup menaklukkan penderitaan di dalam
diri mereka.
Padahal harta benda Negeri ini sudah semakin bukan milik mereka lagi.
Padahal martabat kebangsaan mereka sudah semakin terkikis. Robot
Penjaga Pintu Kedaulatan sangat patuh dan rajin membukakan pintu lebar
untuk berbagai jenis Pasukan dari luar, untuk dipersilakan melakukan
penguasaan, penjajahan, penipuan, dan perampokan semau-mau mereka.
Wahai Engkau yang takkan pernah kutahu
Yang Maha Tak Bernama, yang tak siapapun
Punya arah untuk memanggil-Nya
Namun Engkau mengaku Allah kepadaku
Demi mempermudah pengejawantahan cinta dan rindu
Kalau dari sembilan puluh sembilan titipan-Mu
Hanya mampu kusampaikan seperseribu kali satu
Mohon janganlah Engkau murka karena itu
Sebab sesekali telah Engkau kuakkan rahasia dari balik tabir itu
Bahwa setiap angka berjumlah tak terhingga
Bahwa setiap jumlah niscaya Satu belaka
Sementara untuk menjadi satu pun aku tiada
Sebab aku, ia, kami, mereka, serta segala gegap gempita
Hanyalah animasi-Mu belaka
Di masa kecilku dulu Tuhan datang
Minta ditemani dan diantarkan
Bertamu ke rumah para tetangga
Satu persatu kami ketuk pintu mereka
Kini tatkala kujalani senja
Tak terhitung lagi berapa jumlahnya
Rata-rata mereka semua di seantero dunia
Menolak kedatangan kami berdua
Dari balik dinding kamar-kamar mereka
Tanpa kulihat wajah mereka bersuara
“Kami tidak punya waktu untuk sia-sia
Jangan bawa kepada kami fatamorgana
Mampuslah sendiri kalian semua
Dengan tuhan kalian yang maha esa
Bukankah tuhan itu sendiri menyatakannya
Bahwa ia menciptakan makhluk manusia
Tanpa diberi peralatan yang seksama
Untuk mampu mengenalnya
Manusia hanya merasakan gejalanya
Hanya merasakan kehadirannya
Tapi mustahil mengenal dirinya Tan kinoyo opo, tan kinoyo sopo Laisa kamitslihi syaiun Wa lam yakun lahu kufuan ahad“
Maka sejak Habil di hari-hari pertama
Hingga segala peradaban merajalela
Manusia berebut menciptakan tuhannya
Setiap orang bersama kelompoknya
Meniscayakan dan mempertahankannya
Manusia bermusuhan satu dengan lainnya
Kebencian dan pertentangan tiada habisnya
Tuhan tersenyum dan menyorong mereka
Diserap dan ditelan oleh lubang hitamnya
Sambil menyembunyikan cahaya
Di balik punggungnya
Aku gila pujian
Aku gila harta benda
Aku maniak kekayaan
Aku selalu lapar pengakuan
Dan aku sungguh mati rasa
Kalau tak memperoleh penghormatan
Aku tidur sepersepuluh waktu
Kulakoni sangat banyak jenis puasa
Sejak kanak-kanakku
Kupeluk tiga ribu manusia tiap malam
Aku menanam cinta di seantero negeri
Tanganku berlumpur sawah
Kubiarkan hidungku menghisap
Kotoran dan sampah dunia
Racun-racun kutenggak
Beribu orang menancapkan pedang
Ke dadaku, dan kubenamkan sendiri
Hidupku berkubang najis dunia
Karena tak sehari tak semalam pun
Pernah kutinggalkan penghuninya
Tetapi hatiku hampa dari kehidupan
Yang kucari adalah pujian, harta benda
Kekayaan dan penghormatan
Dari-Mu, wahai Kekasihku
Hanya dari-Mu
Kalau ada yang lain yang memujiku
Mencium tangan dan memeluk jasadku
Tentulah itu karena mereka menyangka
Ini adalah aku
Aku berlindung kepada-Mu
Wahai Maha Pengayom manusia
Aku melayang-layang di kehampaan
Animasi performa zaman
Yang bahannya adalah kebodohan
Aku terlempar ke beribu penjuru cakrawala
Dibuang dan dibenturkan ke tembok-tembok
Yang ternyata adalah kekosongan
Ummat manusia berpegangan pada tali
Padahal sebenarnya bukan tali
Orang berduyun-duyun menuju arah
Sementara barat timur utara selatan
Bukanlah arah yang bisa jadi tujuan
Aku bergandengan tangan, berangkulan
Berhimpun dengan kaum-Mu yang baru
Tetapi mereka tak kunjung mengenalku
Mereka sangka aku padahal bukan
Mereka pikir bukan padahal aku
Betapa juga mungkin memakrifati-Mu
Aku berlindung kepada-Mu
Wahai Maharaja dan Dzat perlindungan sejati
Dari silau dunia dan bias penghuninya
Yang gagal memilah-milah
Antara dzat dan benda
Antara nafsu dan cinta
Antara Tuhan, Malaikat, Dewa, Nabi
Dengan diri mereka sendiri
Antara firman-Mu yang suci
Dengan cipratan ludah mereka sendiri
Tidak ada apapun yang bisa terjadi dalam kehidupan manusia kecuali
atas tiga keputusan-Nya: memerintahkannya, mengizinkannya atau
membiarkannya, atau bahkan mendorong ketersesatannya. Masalah manusia
terletak pada pencarian yang terus-menerus untuk memahami kapan Allah
memerintahkan sesuatu atasnya, kapan mengizinkan insiatif manusia, serta
kapan membiarkan perilaku manusia meskipun sedhalim dan sekejam apapun.
Apa saja alasan dan asal-usul Allah sehingga mentakdirkan atau
memerintahkan. Apa saja kondisi perilaku manusia sehingga diizinkan
untuk melakukan sesuatu. Serta apa saja faktor-faktor yang terdapat pada
kebudayaan, politik atau peradaban manusia, yang membuat Allah
membiarkan kekejaman manusia atas sesamanya. Tentu bukan membiarkan
dalam arti meridhai kekejaman itu: itu soal irama, waktu, strategi,
penundaan atau entah apa rahasia-Nya.
Aku bersyukur Indonesia tidak mengenalku
Ia hanya sesekali berpapasan dengan bayang-bayangku
Terkadang ia menyapaku, tapi salah panggil apa dan siapa diriku
Ada saat aku ingin memperkenalkan diriku, tapi selalu ragu
Akhirnya kubatalkan, karena aku tidak menemukan bahwa ia sungguh-sungguh mau berkenalan denganku
Aku bersyukur Indonesia tidak mengenalku
Sebab aku sungguh takut kepadanya
Aku ngeri berurusan dengannya
Aku cemas kalau berada di dekatnya
Aku terlalu gerah oleh udaranya
Aku tak sanggup menghirup baunya
Aku gemetar mendengar suara hatinya
Aku tak berani ditikam oleh pedang kebutaannya
Aku mengambil jarak sangat jauh dari perangai mentalnya
Aku bersembunyi dari kegaiban akal dan logikanya
Aku resah mohon Tuhan jangan suruh aku mengurusinya
Ampunilah sebuta ini mataku atas rahasia-Mu
Maafkanlah sebebal ini hati dan pikiranku
Sungguh tak kutahu yang mengalir adalah firman
Cahaya Kau pancarkan di kegelapan malam
Ya Allah ternyata sesudah Nabi terakhir
Yang Kau lahirkan di Tanah padang pasir
Telah pula Engkau turunkan Nabi paling akhir
Di Nusantara, negeri sungai-sungai mengalir
Orang-orang menjunjungnya
Melebihi Muhammad ataupun Baginda Jibril
Orang-orang membelanya bertaruh nyawa dan harga diri
Melebihi dan mengungguli maqam-Mu sendiri
Ya Allah tetapi mustahil aku bergeser dari titik kakiku berpijak
Sepuluh kali hidup dan mati takkan membuatku berpindah kiblat
Telah kutempuh pengembaraan berabad-abad
Diterbangkan oleh syahadatain kepada-Mu dan Muhammad
Kalau ia bukan Nabi-Mu wahai asal usul segala tajalli
Takkan sampai orang mempersembahkan sepenuh diri
Sampai pun para Ulama berwirid Ya Matinu Ya Qowiy Inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati
Siapa selain utusan-Mu wahai penyuluh dan penyesat hati
Yang dicintai dengan sedia menyerahkan seluruh diri
Yang dipuja-puji sebagai Satria Pamungkas zaman ini
Satu pribadi kumpulan karakter semua Nabi-nabi
Kalau bukan duta-Mu sendiri wahai Rabbinnas wal’alam Keburukannya takkan kau ganti menjadi kebaikan
Dari Hari ke Hari yubaddilullahu sayyi`atihim hasanat Khianat dan kedhaliman Kau ubah menjadi nikmat
Bagaikan kekasih-Mu Muhammad itu sendiri
Hadir kembali blusukan ke kampung-kampung kami
Para Jamaah menyorongnya ke depan agar ngimami
Aku sembunyi sebab atas kotor hidupku ini aku tahu diri
LANJUTKAN BERSAMBUNG KE "TETES" BULAN AGUSTUS 2018
Muhammad Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) melakukan dekonstruksi pemahaman
nilai, pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara
berpikir, serta pengupayaan solusi masalah masyarakat.
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) menelusuri alam(default)nya manusia
dan kehidupan, mengijtihadi (mengkhalifahi)(mengkreatifi)(custom,
carangan) budidaya sosial (dari ulat-kepompong-kupu hingga politik dan
peradaban) agar memasuki masa depan yang segelombang dengan yang
dirancang dan diwujudkan oleh Maha Pengqadla dan Pengqadar.