Minggu, 12 Mei 2019

=Daur 036 Remote Tangis dan Tawa



Daur-II • 036

Remote Tangis dan Tawa

Brakodin menyaksikan paradoks pada ekspresi Markesot. Tak sengaja lewat tengah malam ia lewat dan menyaksikan bagaimana Markesot menangis mengguguk-guguk sesudah shalat. Duduk iftirasy, mengangkat kedua tangannya, sambil menangis. Kemudian bersujud dan tetap menangis. Sesudah itu hampir ia tertelungkup dan terus menangis.

Tentu saja Brakodin menjaga diri untuk tidak mengganggunya. Nanti kalau mereka duduk berdua, pasti Brakodin berlagak tidak pernah menyaksikan orang tua menangis cengeng itu. Dan ternyata setelah beberapa lama Markesot benar-benar muncul kepadanya, ketika ia melamun di pojok ruang – Brakodin kaget karena dilihatnya wajah Markesot sangat cerah.

Bahkan tersenyum-senyum. Kemudian duduk di depan Brakodin. Menatap wajahnya. Dan tiba-tiba ia menutupi mukanya dengan kedua tangannya, lantas tertawa. Tertawa terpingkal-pingkal dan berkepanjangan. Brakodin tidak mengerti apa yang terjadi pada Markesot, meskipun ia sudah sangat terbiasa dengan keanehan-keanehannya.

Di tengah tertawanya yang kelihatannya sangat menyeretnya sehingga susah berhenti, Markesot berkata: “Dan Dialah yang menjadikan manusia tertawa dan menangis…” [1] (An-Najm: 43).

“Benar-benar Tuhan tidak main-main dengan setiap kata yang difirmankan-Nya. Sudah setua ini saya baru mengalami secara tunai kebenaran ayat-Nya itu….”
“Ada apa ini, Cak?”, Brakodin bertanya.
“Ada tertawa, ada menangis”, jawab Markesot, “Tuhan me-remote saya sehingga menangis dan tertawa, bukannya saya mau menangis dan tertawa”
“Kan tadi Sampeyan nangis sesudah shalat….”. Eh, kecolongan.

=Daur 035 Kesucian dan Sajadah Cinta


Daur-II • 035

Kesucian dan Sajadah Cinta

Brakodin mengisahkan ada seorang Syekh, seorang Imam, cucu seorang Imam besar, di Kota Suci, yang kalau mengalami sesuatu yang penting sehingga beliau memerlukan nasehat Rasulullah saw, beliau minta tolong kepada Kiai yang menghubungi Mbah Sot itu untuk beristikharah, memohon petunjuk Allah, melalui kekasih-Nya.

Kalau Syekh beristikharah, sangat jarang dikabulkan untuk berjumpa dengan Rasulullah. Entah bagaimana menjelaskannya, kalau ia minta tolong kepada Kiai ini, maka hajat untuk mendapatkan nasehat itu dikabulkan. Sepertinya begitu mudahnya Kiai ini bertamu kepada Rasulullah, disambut dan dijawab pertanyaannya.

Tentu kita semua berpikir itu soal tingkat kekhusyukan dan kadar kesucian. Semua parameter rohaniah berhimpun di dalam peristiwa terkuaknya hijab antara seseorang dengan Kanjeng Nabi: kehalalan hidup, kesucian hati, kekhusyukan ibadah, kezuhudan, totalitas tauhid, keikhlasan untuk tiada, butiran terdalam dan paling inti dari hakiki tauhid.

Tidak ada zarrah yang tak halal di setiap butir darah Kiai. Tidak ada sedebu riba yang mengotori daging tulang darah syaraf otot Kiai. Tidak ada langkah kaki dan gerak tangan Kiai yang bukan ibadah kepada Allah. Tidak ada desiran hati dan pergerakan pikiran yang tidak merupakan getaran cinta dan kerinduan kepada Allah dan Rasul kekasih-Nya.

Sajadah cinta itu telah digelar: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. [1] (Al-Kahfi: 110).




=Daur 034 Hakekat Ilmu Itu Meliputi

 

Daur-II • 034

Hakekat Ilmu Itu Meliputi

“Sebagaimana dunia adalah bagian yang paling hina dari akhirat”, lanjut Sundusin, “bumi adalah bagian yang paling pragmatis dari langit atau semesta. Kesementaraan dunia adalah bagian yang paling awam dan rendah kualitasnya dibanding keabadian akhirat”

“Kenapa semua Ulama, semua khazanah ilmu, bahkan firman-firman Tuhan, termasuk dalam kalimat-kalimat yang diajarkan untuk kita lantunkan sebagai doa-doa, menyebut dunia dan akhirat seakan-akan itu adalah dua hal?”, Seger berburu pengetahuan.

“Yang bisa kita jangkau dengan penalaran akal: mungkin jawabannya adalah, karena Tuhan menciptakan manusia dengan keterbatasan dan kekurangan, sehingga komunikasi dan informasi dari Tuhan pun dituturkan sebatas atau disesuaikan dengan kekurangan bahasa manusia juga”
 
 Ndusin menjawab dengan tersenyum, “Pakde tidak mungkin bisa menyalahkan, karena tidak berada pada posisi untuk mampu membenarkan. Pertemuan dengan Rasulullah mestinya bisa beribu macam bentuknya, sistemnya, formulanya. Bisa seperti pertemuan kita sekarang ini, bisa ada rasa mengalami ketemu, ada seperti mimpi, atau bisa tiba-tiba saja sudah ada hal-hal yang bisa kita ungkapkan seakan-akan sebelumnya terjadi perjumpaan. Mana saya tahu. Sesungguhnya hakekat ilmu itu ‘meliputi’, tetapi dalam hal ini kita sangat ‘diliputi’. “Dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu[1] (At-Thalaq: 12)

“Sesungguhnya ilmu Tuhanmu meliputi segala manusia” [2] (Al-Isra`: 60). Jadi, jangan mengharapkan kebenaran dari Pakde”.

=Daur 033 Bagian Paling Kasar


Daur-II • 033

Bagian Paling Kasar

“Apakah Mbah Sot pernah berjumpa dengan Kanjeng Nabi, entah sesudah shalat, ketika bertapa, menyepi. ‘uzlah, atau saat-saat lain?”, Toling ikut penasaran.

“Pakdemu Sundusin yang kami sepakati untuk menjawab pertanyaan semacam itu”, Tarmihim menjawab dengan tersenyum, “kalau Pakdemu Brakodin spesialis hantu atau Jin….”
“Pakdemu Tarmihim sering mengalami perjumpaan-perjumpaan spiritual seperti itu”, Brakodin menanggapi, “cuma ketemunya dengan Abu Jahal, tentara-tentaranya Fir’aun atau yang sering ketemu Demit….”

Sundusin akhirnya merespon: “Jangankan kalian menanyakan hal itu kepada saya. Sedangkan Rasulullah sendiri saja diperintahkan oleh Allah agar menyatakan: ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’[1] (Al-A’raf: 188).

“Apakah pertemuan dengan Kanjeng Nabi itu pertemuan objektif ataukah subjektif?”, Seger mengejar.
“Pertemuan jasad atau ruh?”, Jitul tak mau kalah.
“Mbah Sot kalian pernah mengatakan dulu sekali bahwa kita terjebak berpikir mendikotomikan antara jasmani dengan rohani, sehingga memilah juga antara dunia dengan akherat”
“Mestinya bagaimana, Pakde?”, Junit mengejar juga.
“Kata Mbah Sot, jasad adalah bagian yang paling kasar, dangkal, dan sederhana dari ruh….”.

=Daur 032 Menyamar Sebagai Rasulullah


Daur-II • 032

Menyamar sebagai Rasulullah

Sebenarnya anak-anak muda itu, terutama Seger, selalu mencari peluang agar pembicaraan mereka tidak menghindari “perang malam hari”. Pakde Brakodin, Sundusin maupun Tarmihim kelihatannya agak menghindar. Sementara Junit lebih tertarik pada pertanyaan lain: “Apa yang harus kita miliki untuk memahami dan meyakini bahwa Kiai itu benar-benar bertemu dengan Rasulullah?”

Tarmihim cenderung menanggapi sisi yang ini, dan tertawa: “Itu pertanyaan yang sama dengan kejadian Sultan Yogya: bagaimana rakyat Yogya meyakini bahwa beliau bikin Sabda Raja adalah berdasarkan wahyu dari Tuhan? Terserah apakah wahyu itu disebut wangsit, ndaru, pulung, atau apapun”.

“Kalau kita tidak percaya Sultan memperoleh wahyu dari Tuhan, sedangkan lebah-lebahpun diwahyui”, Sundusin menambahkan, “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia’[1] (An-Nahl: 68), “tetapi kalau percaya, susah juga mencari landasannya, meskipun sejarah Raja-Raja di masa silam memang selalu mengandung indikator wahyu”

“Tidak ada makhluk apapun yang bisa menyamar menjadi Rasulullah”, kata Ndusin, “jadi kalau seseorang ditemui oleh beliau, berarti itu ya memang beliau”

“Bagaimana Kiai itu tahu bahwa yang ia berjumpa adalah Rasulullah?”, Junit penasaran.
“Kan semua orang sudah pernah membaca atau mendengar ciri-ciri beliau secara jasad, gerak-gerik beliau, yang terasa dari pancaran wajah beliau, termasuk tutur kata beliau”.




 https://www.caknun.com/2017/menyamar-sebagai-rasulullah/



=Daur 031 Ilmu "Kayaknya"


Daur-II • 031

Ilmu “Kayaknya

Secara khusus mereka merencanakan rembug mendalam dan tuntas tentang “perang malam hari”. Tetapi hari itu Tarmihim mencairkannya dengan mengingatkan anak-anak itu bahwa di antara orang-orang tua itu, justru Sundusin yang sedikit punya latar belakang pembelajaran Islam dan Al-Qur`an. Memang bukan santri beneran, tapi sekurang-kurangnya di kampungnya dulu ia bagian dari komunitas Langgar alias Surau, atau yang sekarang disebut Musholla. Jam terbang Iqra`nya lumayan.

Di Negeri ini, tempat Ibadah yang besar disebut Masjid, yang kecil disebut Musholla. Padahal, pertama, fungsinya sama. Kedua, kalau diisengi lewat arti harfiahnya: Masjid itu tempat bersujud, sedangkan Musholla itu tempat shalat. Kalau berpikir denotatif, lebih lengkap shalat dibanding hanya sujud. Artinya, Musholla lebih sempurna dibanding Masjid.

Untunglah sejak awal tempat ibadah itu disebut Masjid. Dan lagi masyarakat Negeri ini dalam banyak hal memang lebih nyaman hidup dalam konotasi daripada denotasi. Dalam kebudayaan informasi dan media, pembuat berita maupun pembacanya terbiasa menggunakan kata “sepertinya”, “kayaknya”, “terkesan”: konotatif semua.

Kalau memasuki ranah pemahaman yang lebih serius: banyak Ummat Islam yang secara tak sengaja atau setengah sadar menyamakan antara tafsir atas ayat Qur`an dengan ayat itu sendiri. Banyak tokoh atau aktivis yang sangat yakin dengan kalimat “Ini kita harus kembali ke Al-Qur`an”. Padahal yang ia maksud Al-Qur`an di situ adalah penafsirannya. Mereka tidak bisa menemukan jarak nilai antara ayat Al-Qur`an dengan lapisan pemahaman atas ayat itu di memori otak mereka.

Beribu-ribu orang memaknai “Alif Lam Mim[1] (Al-Baqarah: 1), dan menyangka Alif-Lam-Mim adalah pemahamannya itu.


=Daur 030 Struktur Kehinaan


Daur-II • 030

Struktur Kehinaan

“Jadi di neraka ada anjing to?”, Jitul bertanya sambil tertawa.

“Itu pertanyaan materialistik”, kata Junit, “saya kira Mbah Markesot sekedar menggambar semacam peta dan struktur kehinaan di neraka. Tidak ada manfaatnya kita mencari kebenaran obyektif tentang isi neraka dan bagaimana mekanismenya. Semua penjelasan Allah di firman-firmanNya tentang neraka juga hanya kunci penggambaran atau pintu imajinasi. Andaikan ada banyak penggambaran yang lain tentang neraka dan surga, tidak perlu dijadikan madzhab”

“Mbah Sot kalian juga menyebut Waqudunnar dan Asadunnar”, Brakodin memotong, “kayu bakar dan macan neraka. Jangan pula naif bertanya apa ada macan di neraka. Mbah Sot hanya coba menggambar dengan batas literasi ilmu manusia, betapa dahsyatnya kerjasama antara ketiganya itu menciptakan fitnah-fitnah besar di dunia, membangun kehancuran dengan kejahatan dan kebodohan.…”

Diam-diam Junit mencorat-coret: [1] (Ali ‘Imron: 10), [3] (Al-Jinn: 15), [3] (Al-Baqarah: 24),  dan [4] (At-Tahrim: 6).

“Kalau Asadunnar, penjelasannya gimana Pakde?”, Seger bertanya.
“Mbah Sot membayangkan ada penghuni neraka yang gagah seperti macan dan derajatnya mungkin tinggi dibanding penghuni lainnya”, jawab Brakodin, “yakni manusia yang kufur kepada Allah dengan terang-terangan, tidak menutup-nutupinya, tidak bersikap munafik, pura-pura Muslim padahal tujuannya adalah kepentingan dunia, sebagaimana yang tergambar dari kategori Kilabunnar. Fitnah-fitnah kekuasaan dunia disebar oleh Asadunnar, dimakan dengan lahap oleh kebodohan Waqudunnar, dan dijilat-jilat secara sangat menjijikkan oleh tidak sedikit Kaum Muslimin sendiri yang sebenarnya adalah Kilabunnar”.