Rabu, 22 Mei 2019

Daur I No.002 Belajar Alif Ba Ta AgamaKu

 


Daur-I • 02

Belajar Alif Ba Ta Agamaku

Ya Tuhan raja diraja semesta alam, inilah dosa-dosa dalam ‘Doa Mohon Kutukan’ ku. Jika berkat kemaha-dermawanan-Mu ada bagian dari ini semua yang Engkau tak anggap sebagai dosa, itu adalah bonus rizki dari-Mu. Tetapi demi menjaga rasa aman hatiku dari kemaha-kuasaanMu, kupilih rasa dosa ini, agar bertambah linangan airmataku ke hadirat-Mu.

Pertama, ‘Doa Mohon Kutukan’ itu sama sekali bukan puisi. Itu hanya deretan kata dan kalimat dari orang yang bingung dan tidak kuat menanggung kesedihan atas keadaan bangsanya. Sama sekali tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai puisi atau karya seni. Itu hanya muntahan hati yang frustrasi.

Mudah-mudahan jangan lagi ada yang mengkategorikan aku sebagai penyair, seniman, apalagi budayawan. Namun jika ada yang terlanjur menyebutku sebagai budayawan, kudoakan Allah meningkatkan derajat sorganya di akhirat, serta menambahkan limpahan kesejahteraan dan kebahagiaan beliau sekeluarga serta ummat pengikutnya.

Tidak kusertakan doa agar Tuhan mengampuni dosa dan kesalahannya, sebab aku tidak akan pernah menuduh siapapun sebagai pelaku dosa. Selalu kuyakini orang yang bukan aku sebagai calon
penghuni sorga.

***
Kedua, kalimatku tidak tegas mengemukakan kandungan maksud atau hajatnya. Misalnya “Dengan sangat kumohon kutukanmu ya Tuhan, jika itu merupakan salah satu syarat…” — seharusnya dilengkapi menjadi: “Dengan sangat kumohon kutukanmu kepadaku ya Tuhan, jika itu merupakan salah satu syarat…”. Kata “kepadaku” kenapa tidak aku cantumkan.

Seharusnya aku tuliskan statement yang lebih tegas dan transparan kepada Tuhan bahwa aku bersedia dikutuk oleh-Nya demi kesembuhan penyakit-penyakit yang fantastis pada Negara dan Bangsaku. Komplikasi permasalahan, campur aduk segala macam racun, lipatan-lipatan problem, silang sengkarut permasalahan, yang jangankan akan disembuhkan, bahkan pun kewalahan semua ilmu manusia untuk mendata dan merumuskannya.

Seharusnya kupakai bahasa yang lebih sederhana, bahwa aku bersedia hancur demi keselamatan bangsaku.
***
Ketiga, doa itu juga sangat kecil kemungkinannya untuk didukung oleh teman-temanku maupun ummat dan masyarakat umum. Ia tidak kompatibel dengan alam pikiran kebanyakan orang dari bangsaku. Nilai-nilai yang melahirkan doa itu bukan sekedar tidak sama dengan keyakinan dan pilihan sikap hidup kebanyakan orang, terutama para pemimpin dan kaum terpelajar. Bahkan banyak yang bertentangan. Sebagian malahan amat sangat berbalikan.

Sehingga tidak terjadi akumulasi energi, tidak terdapat penghimpunan tenaga doa yang bisa menyentuh langit. Misalnya kalimat-kalimat “…merasa cukup atas kekuasaan dan kekayaan yang telah ditumpuknya…”, “…Ambillah hidupku sekarang juga, jika memang itu diperlukan…”, “…diperlukan tumbal sebatang jari-jari tanganku, maka potonglah…”, “…maka kalahkanlah aku, asalkan sesudah kemenangan itu ia…”, “…Hardiklah aku di muka bumi, perhinakan aku di atas tanah panas ini, jadikan duka deritaku ini makanan bagi kegembiraan seluruh sahabat-sahabatku dalam kehidupan…” dlsb.

Itu hampir semuanya bertentangan dengan kelaziman sikap hidup manusia modern yang mengutamakan perjuangan mencapai eksistensi, pembangunan citra, pengagungan kehidupan yang ini dengan skala prioritas kemenangan, kejayaan, kesejahteraan dan kebahagiaan dunia.

Hampir sama sekali tidak mungkin ummat manusia Abad 21 yang sudah sangat puas dan bangga oleh kemegahan dan kemewahan dunia, di mana maut diyakini dan dirasakan sebagai tragedi — percaya ada makhluk di antara mereka yang bersedia dimatikan oleh Allah untuk menjadi cicilan ongkos bagi kehidupan masyarakatnya. Bersedia untuk kalah dan dikalahkan demi kemenangan bangsanya. Atau bersedia ditindih oleh penderitaan dan kesengsaraan demi keselamatan Negara dan kemakmuran rakyatnya.

Tidaklah bisa dipercaya oleh manusia bangsa-bangsa masa kini bahwa ada seseorang di antara mereka mau meniadakan dirinya sendiri, membuang eksistensinya sendiri, mempuasai karier dan kemungkinan kejayaannya sendiri — untuk disedekahkan kepada syarat rukun yang diperlukan untuk sembuhnya sakit mental, akal dan hati bangsanya dan terutama para pemimpinnya.

***
Keempat, ungkapan yang secara tidak tepat aku tuliskan sebagai doa dan kubentuk seakan-akan puisi itu — sangat mencolok mencerminkan ketidak-mengertianku atas diriku sendiri. Ketidak-tahuan atas kekecilan dan kekerdilanku.

Sehingga dengan kandungan kesombongan batin aku memimpikan keadaan-keadaan yang sedemikian ideal untuk bangsaku: “…agar pemimpin-pemimpinku mulai berpikir untuk mencari kemuliaan hidup, mencari derajat tinggi di hadapanMu, sambil merasa cukup atas kekuasaan dan kekayaan yang telah ditumpuknya…”, “…untuk membersihkan kecurangan dari kiri kananku, untuk menghalau dengki dari bumi, untuk menyuling hati manusia dari cemburu yang bodoh dan rasa iri…” dst, dst.

Betapa dungunya, betapa pungguknya doaku yang merindukan rembulan yang berupa perkenan kabul dari Tuhan. Seolah-olah sedemikian bersahajanya konsep penciptaan alam semesta dan makhluk-makhluk oleh Tuhan. Seolah-olah perikehidupan ummat manusia itu baru dimulai kemarin sore tatkala Adam diciptakan mungkin sekitar tak sampai seratus ribu tahun silam. Seakan-akan para Malaikat tak pernah punya pengalaman mengurusi makhluk-makhluk pra-Adam 18 milyar tahun sebelumnya.

Seakan-akan para Malaikat itu tidak pernah matur kepada Tuhan “untuk apa Engkau ciptakan manusia, yang toh kerjanya cuma merusak bumi dan menumpahkan darah”. Seakan-akan tidak pernah ada kreativitas yang menyangkut fenomena keaktoran Iblis. Kok tiba-tiba aku berdoa kepada Tuhan dengan cara berpikir sesederhana orang beli kacang di pasar.

Alangkah tak pahamnya aku tentang Agama dan otoritas absolut Tuhan.

***
Dan kelima, sangat memperjelas betapa aku tidak paham Agama. Apalagi Agama yang disebut Islam. Tulisan “Doa Mohon Kutukan” itu bisa disalahpahami oleh orang-orang yang sama-sama tidak paham Islam sebagaimana aku — sebagai doa konyol yang bukan hanya tidak dikabulkan oleh Tuhan, melainkan bahkan malah bisa jadi mencelakakan Negara dan Bangsa Indonesia.

Mereka bisa dengan sembrono menyimpulkan bahwa gara-gara doa terkutuk itu Bangsa kita disesatkan oleh Tuhan. Tidak kunjung ditolong untuk keluar dari masalah-masalah, malahan diperparah. Akal sehatnya diruntuhkan sehingga salah parah dalam memilih pemimpin dan senantiasa berlaku salah arah dan salah langkah. Harga diri ambruk, mental tumbang, logika hancur, semakin banyak orang yang bodoh-kwadrat: tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa mereka tidak mengerti.
Dan senyata-nyatanya aku sendirilah urutan pertama bodoh-kwadrat itu. Semoga masih ada sedikit ampunan Allah kepadaku. Sekarang saya thimik-thimik mulai belajar alif ba ta Agama sambil menatap-natap dari jauh orang-orang yang mengabar-ngabarkan sebagai Islam.

Dan ya Tuhan…lihatlah dalam sejarah ketidakpahamanku itu kemudian kutulis pula “Doa Mencabut Kutukan”…..

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
1 Pebruari 2016


https://www.caknun.com/2016/belajar-alif-ba-ta-agamaku/

Daur I No.001 Doaku Dosaku


Daur-I • 01

Doaku Dosaku

Di sebuah forum salah seorang hadirin menggugatku dengan nada sangat keras dan geram.
“Pada tahun 1994 Saudara menulis puisi yang berjudul ‘Doa Mohon Kutukan’. Anda sangat kejam dan mengambil keputusan yang sangat tidak masuk akal.”

Karena mendadak, aku sangat panik dan langsung serasa ditimpa rasa bersalah yang mendalam.
“Di mana-mana di segala zaman manusia itu kalau memohon kepada Tuhan ya rejeki, berkah atau kebahagiaan. Kok Anda memohon kutukan! Bagaimana nalarnya?”

Aku yang memang seorang penakut jadi berkeringat dingin.

“Andaikanpun yang Anda mohon itu kutukan kepada diri Anda sendiri, tetap tidak masuk akal bagi saya. Apalagi yang Anda lakukan ini menyangkut ratusan juta rakyat Indonesia yang hidupnya kebingungan tanpa ada ujungnya. Kita ini bangsa yang dahsyat sekarang menjadi konyol. Kita ini kumpulan manusia-manusia yang multitalent tapi sekarang serabutan mengerjakan hal-hal yang bertukar-tukar keahlian. Kita kaya raya tapi jadi pengemis. Kita bermental tangguh tapi sekarang cengeng dan terlalu mudah kagum sehingga gampang dikendalikan oleh orang lain. Ini semua gara-gara Anda memohon kutukan, dan sampai hari ini kita semua hidup remang-remang bahkan gelap pekat seperti terkurung di bawah kutukan langit….”

Aku benar-benar merasa ambruk. Hatiku remuk redam. Aku berteriak-teriak, memekik-mekik sampai telingaku kaget sendiri, sehingga terbangun mendadak. Terbangun, meloncat dari ranjang, posisi berdiri dengan kuda-kuda silat, seolah-olah aku pernah tahu apa-apa tentang silat.
***
Tentu saja aku tertawa geli sendiri menemukan diri berdiri dengan posisi yang tidak jelas apakah itu epigon Bruce Lee, Jacky Chan, Jet Lee, Uwais atau Wak Sampan pendekar Brudu. Untung tak ada siapapun ketika itu. Maka kutoyor kepalaku sendiri, kemudian langsung aku berlari ke kamar kerja, mencari puisi “Doa Mohon Kutukan”, yang ternyata tidak ada. Sungguh buruk dokumentasi hidupku. Pun tak terpikir untuk browsing, karena di samping aku tidak terbiasa dengan dunia internet, juga tidak pernah punya naluri untuk menyangka bahwa di dunia maya itu ada puisiku.

Akhirnya setelah kuhubungi, seorang teman menolong memberi teks puisi 1994 terkutuk itu. Aku baca berulang-ulang sambil mengutuk diriku sendiri.
Dengan sangat kumohon kutukanmu ya Tuhan, jika itu merupakan salah satu syarat agar pemimpin-pemimpinku mulai berpikir untuk mencari kemuliaan hidup, mencari derajat tinggi di hadapanMu, sambil merasa cukup atas kekuasaan dan kekayaan yang telah ditumpuknya.

Dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan, untuk membersihkan kecurangan dari kiri kananku, untuk menghalau dengki dari bumi, untuk menyuling hati manusia dari cemburu yang bodoh dan rasa iri.

Dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan, demi membayar rasa malu atas kegagalan menghentikan tumbangnya pohon-pohon nilaiMu di perkebunan dunia, serta atas ketidaksanggupan dan kepengecutan dalam upaya menanam pohon-pohonMu yang baru.
Ambillah hidupku sekarang juga, jika memang itu diperlukan untuk mengongkosi tumbuhnya ketulusan hati, kejernihan jiwa dan keadilan pikiran hamba-hambaMu di dunia.
Hardiklah aku di muka bumi, perhinakan aku di atas tanah panas ini, jadikan duka deritaku ini makanan bagai kegembiraan seluruh sahabat-sahabatku dalam kehidupan, asalkan sesudah kenyang, mereka menjadi lebih dekat denganMu.
Jika untuk mensirnakan segumpal rasa dengki di hati satu orang hambaMu diperlukan tumbal sebatang jari-jari tanganku, maka potonglah. Potonglah sepuluh batangku, kemudian tumbuhkan sepuluh berikutnya, seratus berikutnya, dan seribu berikutnya, sehingga lubuk jiwa beribu-ribu hambaMu menjadi terang benderang karena keikhlasan.
Jika untuk menyembuhkan pikiran hambaMu dari kesombongan dibutuhkan kekalahan para hambaMu yang lain, maka kalahkanlah aku, asalkan sesudah kemenangan itu ia menundukkan wajahnya di hadapanMu.
Jika untuk mengusir muatan kedunguan di balik kepandaian hambaMu diperlukan kehancuran pada hambaMu yang lain, maka hancurkan dan permalukan aku, asalkan kemudian Engkau tanamkan kesadaran fakir di hatinya.
Jika syarat untuk mendapatkan kebahagiaan bagi manusia adalah kesengsaraan manusia lainnya, maka sengsarakanlah aku.
Jika jalan mizanMu di langit dan bumi memerlukan kekalahan dan kerendahanku, maka unggulkan mereka, tinggikan derajat mereka di atasku.
Jika syarat untuk memperoleh pencahayaan dariMu adalah penyadaran akan kegelapan, maka gelapkan aku, demi pesta cahaya di ubun-ubun para hambaMu.
Demi Engkau wahai Tuhan yang aku tiada kecuali karena kemauanMu, aku berikrar dengan sungguh-sungguh bahwa bukan kejayaan dan kemenangan yang kudambakan, bukan keunggulan dan kehebatan yang kulaparkan, serta bukan kebahagiaan dan kekayaan yang kuhauskan.
Demi Engkau wahai Tuhan tambatan hatiku, aku tidak menempuh dunia, aku tidak memburu akhirat, hidupku hanyalah tanpa henti memandangMu sampai kembali hakikat tiadaku.
(1994)
Pelan-pelan kubaca kembali, kupelajari lagi, kuselami hingga huruf demi huruf. Untuk menghormati orang yang memprotesku, kuletakkan diriku sebagai orang terkutuk yang membuat doa terkutuk.
Di setiap awal langkah, apapun dalam kehidupan ini, yang kutuding dan kucari kesalahannya adalah diriku sendiri. Nanti pelan-pelan kurenungi Doa Mohon Kutukan itu. Tetapi dasar sikapku adalah bersiap mengakui bahwa doaku adalah dosaku.

Dan akhirnya, dengan rasa sedih dan penuh keprihatinan, saya temukan betapa banyak kesalahan dan kebodohanku, namun sementara supaya aku kuat menanggung beban rasa dosaku: kuambil lima saja.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
1 Pebruari 2016



https://www.caknun.com/2016/doaku-dosaku/

Minggu, 12 Mei 2019

=Daur 041 Apa Guruh Punya Mulut


Daur-II • 041

Apa Guruh Punya Mulut

Menurut Brakodin, Mbah Sot itu terlalu serius berdakwah, padahal ia bukan Da’i. Terlalu sungguh-sungguh ber-tabligh padahal ia bukan Muballigh. Terlalu menghabiskan waktu selama hidupnya untuk berusaha mengubah banyak hal dalam kehidupan masyarakat, padahal tak ada yang memintanya untuk menjadi agen perubahan. Serasa pecah kepala Mbah Sot dalam usahanya mengantarkan suatu pemahaman kepada manusia.

“Misalnya bagaimana, Pakde?”, Toling mengejar.

Brakodin menceritakan bahwa Mbah Sot pernah mengemukakan: Ketika membaca Allah memfirmankan “Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi”. [1] (At-Taghabun: 1). “Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah”. [2] (Ar-Ra’d: 13). “Malaikat-malaikat yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya”. [3] (Al-Mu`min: 7) – ada yang bertanya: Apakah benda-benda langit dan bumi itu semua makhluk hidup seperti manusia, sehingga bisa bertasbih? Apakah guruh punya mulut sehingga memuji Allah? Apakah para Malaikat masing-masing memegang tasbih sehingga tasbihan terus kepada Allah? Demikianlah “materi” di pikiran manusia mencoba memahami “ruh” ciptaan Allah.

“Saya bisa sedikit merasa, Pakde”, Jitul menyahut, “kebanyakan masyarakat memang sudah akut penyakit materialismenya. Cara melihat apa saja selalu materialistik. Pola pikirnya meteriil. Pangkal dan ujung pencariannya materi. Mereka tidak sadar menyimpulkan bahwa kehidupan adalah materi. Tidak ada wilayah lain kecuali yang mereka tahu dan pahami sebagai dan secara materi. Manusia semakin menyembah materi, sangat bekti kepada materi, Tuhannya Sang Maha Materi. Mereka penyembah berhala, bahkan mereka sendiri adalah patung berhala”.

=Daur 040 Modal Rasa Bersalah


Daur-II • 040

Modal Rasa Bersalah

Brakodin menceritakan betapa Mbah Sot selalu merasa gagal dengan hidupnya. Sebagai dirinya sendiri, maupun apalagi sebagai bagian dari kehidupan orang banyak.

Mbah Sot selalu sangat mantap mengemukakan bahwa bekal utama hidupnya adalah “rasa bersalah”.
Tentu saja kepada Tuhan maksudnya. Merasa dirinya tak pernah becus menjalani apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Tuhan mendatangkannya ke bumi.

Sampai-sampai Brakodin mengasumsikan Mbah Sot itu mungkin termasuk yang dimaksud oleh firman: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, kepada mereka malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri ini”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [1] (An-Nisa: 97).

Tega juga Pakde Brakodin.

“Ah, ya nggak segitunya, Pakde.…”, celetuk Junit.

Brakodin menjawab. “Puluhan tahun Pakdemu ini menyaksikan dan mengalami bahwa Mbah Sot kalian itu terlalu getol menyalahkan dirinya sendiri. Ia merasa telah banyak berbuat sesuatu, tetapi hasilnya tidak layak disebut sebagai suatu perbuatan.…”

“Kan katanya yang penting bukan berhasil tidaknya, melainkan ketulusan dan daya juangnya yang sungguh-sungguh?”, sambung Seger.

“Mbah Sot selalu merasa belum melakukan sesuatu yang seharusnya ia lakukan, dan selalu melakukan sesuatu yang semestinya tidak ia lakukan”.

=Daur 039 Nikmat Dalam Kekufuran




Daur-II • 039

Nikmat dalam Kekufuran

“Saya menuding diri saya sendiri. Bukan masyarakat. Kalau ingat lagi bab Kilabunnar, saya sebenarnya juga terus mencari saya ini tergolong macan, kayu bakar ataukah anjingnya neraka”

“Kita semua juga mencari itu, Cak”, respon Brakodin, “sepertinya baik juga kalau semua manusia melakukan hal yang sama”

“Yang pasti saya bukan api neraka”, kata Mbah Sot.

“Maksudnya bagaimana Cak?”

“Saya bagian yang dibakar, bukan yang membakar”

Kepada anak-anak itu Brakodin menjelaskan, bahwa apapun, beragam pandangan, saling-silang tematik dan semua yang dikemukakan oleh Mbah Sot itu bukan ajaran Agama, ataupun bagian dari syariat Islam. “Jangan tanya benar salahnya atau ada tidak adanya. Mbah Sot itu hanya berupaya untuk memaksimalkan kengeriannya sendiri kepada neraka. Itu bagian yang tajam dari Iqra` panjangnya.”

“Untuk apa memaksimalkan kengerian kepada neraka, Pakde?”, Jitul bertanya.

Sundusin yang menjawab: “Karena Allah Maha Sabar, menunda balasan-balasanNya kepada orang-orang dhalim. Dan karena para pembuat kejahatan di Negeri ini seperti tak mendapat resiko apa-apa dari Tuhan, maka banyak orang menjadi merasa nikmat dalam kekufuran”

Siapa yang mau menjadi “…orang yang menjadi lapang dadanya karena kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. [1] (An-Nahl: 106). “Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat”. [2] (An-Nahl: 107). Mbah Sot ngeri.


=Daur 038 Najis Komprehensif


Daur-II • 038

Najis Komprehensif

“Kok najis?”, tanya Brakodin.

“Tidak hanya najis”, jawab Markesot, “mungkin bisa disebut najis komprehensif, meskipun mudah-mudahan bukan najis total”, Markesot menjawab.

Markesot bercerita bahwa Kiai yang menelponnya, yang Syekh dari Mekkah kalah suci darinya di pandangan Rasulullah, adalah orang yang hampir tidak pernah putus wudlu. Kapan saja ia berhadats, selalu langsung bersuci lagi. Demikian juga seluruh unsur dalam hidupnya, makanan minumannya, asal usul keuangannya, pakaian dan silaturahminya, ucapan dan kehati-hatian pendengarannya, selalu diupayakan untuk suci, setidaknya menjauh dari hadats, dari najis, dan segala macam kotoran.

Bukan hanya kotoran jasad dan ruhani. Juga kotoran sosial, kotoran politik, kotoran kebudayaan dan peradaban, kotoran setiap petak ruang dan jengkal waktu. Kotoran jahr maupun sirr. Kotoran apapun yang menurut Allah adalah kotoran.

“Lha saya?”, Markesot melanjutkan, tapi kemudian tertawa habis-habisan sampai hendak keluar tenggorokan dari lehernya.

“Saya tidak pernah heran kenapa para makhluk suci, utamanya Kanjeng Nabi, hampir mustahil mau berdekatan denganku. Tetapi aku menangis karena tidak ada alasan bahwa saya tidak tergolong di dalam yang Allah maksudkan dalam firman-Nya ini: “Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun yang datang dari Allah. 
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. [1] (Al-Maidah: 41)

=Daur 037 Semut-semut Romantik


Daur-II • 037

Semut-semut Romantik

Brakodin kecolongan mengatakan apa yang sebenarnya sangat ia sadari untuk tidak diucapkan.
“Sayapun tidak pernah menjadi benar-benar dewasa dan matang untuk senantiasa waspada.…”, celetuk Markesot.

“Maksud Sampeyan apa Cak?”, Brakodin agak kaget.

“Kamu tadi kan lewat ketika saya shalat. Dan kamu pasti sadar dan cukup matang untuk berusaha pura-pura tidak tahu. Tapi kecolongan juga bicara bahwa saya tadi menangis….”

Brakodin salah tingkah. “Benar, Cak. Tapi kesadaran itu muncul sebelum Sampeyan datang dan tertawa terpingkal-pingkal, yang membuat saya terpecah konsentrasi”

“Nggak apa-apa. Memang saya menangis kemudian tertawa. Kamu tidak dosa, saya juga mestinya tidak salah”

“Tapi tidak mungkin saya tidak penasaran menyaksikan kenapa Sampeyan menangis sampai mengerikan seperti itu kemudian tertawa sampai tingkat agak memalukan.…”, kata Brakodin.
Markesot menirukan firman Tuhan. “Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari” [1](An-Naml: 18).

Kemudian: “maka dia tersenyum dengan tertawa karena mendengar perkataan semut itu”. [2](An-Naml: 19).

“Adegan Nabi Sulaiman dengan para semut itu sangat romantik, dan Baginda Sulaiman tersenyum. Tak ada tangis. Sedang tadi diri-sejatiku lewat, aku ngeri melihat diriku yang ini, sehingga menangis. Tapi kemudian kutertawakan sendiri diriku yang konyol dan najis ini….”.




 https://www.caknun.com/2017/semut-semut-romantik/